Pemberdayaan Wanita Nelayan

Tanggal : 22 Desember 2006
sumber : http://www.bunghatta.info/tulisan.php?dw.169


Wanita nelayan adalah suatu istilah untuk wanita yang hidup di lingkungan keluarga nelayan, baik sebagai istri maupun anak dari nelayan pria. Kaum wanita di keluarga nelayan umumnya terlibat dalam aktivitas mencari nafkah untuk keluarganya. Selama ini wanita nelayan bekerja menjadi pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, pembersih perahu yang baru mendarat, pengumpul nener, membuat/memperbaiki jaring, pedagang ikan dan membuka warung. Namun peran wanita di lingkungan nelayan ini belum dianggap berarti, sebagai penghasil pendapatan keluarga pun dianggap income tambahan. Selain itu wanita nelayan pun menanggung resiko tinggi akibat tingginya kecelakaan kerja di usaha penangkapan ikan laut ini.

Pengalaman menunjukan bahwa pemberdayaan wanita nelayan adalam pembangunan kelautan dan perikanan sulit dikembangkan, hal ini disebabkan karena kurangnya IPTEK dan kemiskinan yang selalu mengukung mereka. Beberapa masalah dalam integrasi wanita nelayan dalam pembangunan kelautan dan perikanan antara lain, keadaan pendidikan yang umumnya sangat rendah, tenaga wanita sering tidak dinilai, masih adanya nilai-nilai sosial budaya masyarakat sebagai penghambat berperan sertanya wanita nelayan secara aktif, sedangkan beban kerja wanita dalam keluarga cukup tinggi.

Kerusakan lingkungan pesisir banyak diakibatkan oleh sedemikian pesatnya pengelolaan sumber daya alam yang mengabaikan prinsip kelestarian alam yang berkelanjutan. Akibat tebang habis hutan mangrove untuk dikonversi menjadi kawasan lainnya, seperti kawasan budidaya, pariwisata dan pemukiman, menyebabkan banyak kawasan yang terkikis oleh abrasi air laut. Selain itu hilangnya tempat pemijahan dan asuhan biota laut ini pun mengurangi keberadaan biota-biota tertentu seperti udang dan ikan, yang tadinya dapat ditangkap dekat pesisir, sehingga timbul kelangkaan di kawasan tersebut.

Kerusakan ini mengakibatkan nelayan harus pergi melaut untuk menangkap ikan atau hewan lainnya semakin jauh dan semakin lama. Kondisi ini menambah beban berat kepada keluarga yang ditinggalkannya. Dapat dikatakan bahwa kaum wanitalah yang pertama-tama akan merasakan dampak dari adanya masalah lingkungan hidup.

Dalam rangka mengantisipasi keadaan tersebut di atas maka perlu diupayakan program Pemberdayaan wanita nelayan Program ini pada hakekatnya diarahkan untuk mengembangkan dan mematangkan berbagai potensi yang ada pada diri mereka sehingga dapat terlibat dalam penyelenggaraan pembangunan perikanan secara sejajar dengan kaum prianya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001).

Salah satu cara pemberdayaan wanita ini melalui jalur pendidikan dan pelatihan. Pendidikan di sini dapat berupa pendidikan formal melalui jalur sekolah untuk generasi muda nelayannya, selain itu melalui pendidikan non formal berupa penyuluhan atau pelatihan, juga melalui pendidikan informal berupa ceramah-ceramah di kalangan pengajian atau arisan, juga melalui percakapan-percakapan informal lainnya yang berupa informasi-informasi. Di sinilah peran wanita nelayan sangat penting di dalam menyampaikan informasi tentang pemanfaatan secara lestari sumber daya alam (SDA) kepada generasi mudanya.

Salah satu cantoh kasus adalah potensi sumberdaya kelautan dan perikanan di Pesisir Selatan yang cukup besar. Hasil tangkapan nelayan yang beraneka jenis kemudian potensi perairannya yang cukup ideal untuk budidaya rumput laut yang juga sudah mulai berkembang.

Melihat peluang yang cukup besar tersebut, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi dan DKP Pesisir Selatan, telah memulai dengan mengadakan pelatihan dan pemberdayaan wanita nelayan di kawasan sentra produksi penangkapan ikan dan rumput laut. Menurut Ir. Yosmeri, Kadinas DKP Pesisir Selatan, wanita nelayan merupakan mitra sejajar dan mempunyai hak yang sama dengan kaum pria serta mempunyai peran ganda dalam keluarga. Diakui bahwa pembinaan terhadap wanita nelayan/perempuan pesisir masih sangat kurang karena dengan segala keterbatasan pihak DKP. Namun demikan konstribusi yang diberikan wanita nelayan terhadap peningkatan pendapan keluarga sangat diperlukan.

Dengan mendatangkan sejumlah narasumber sekelompok wanita nelayan dikawasan sentra produksi tersebut pihak DKP telah menggelar acara pemberdayaan wanita nelayan tersebut, dari pelatihan tersebut diharapkan meningktanya ketrampilan wanita nelayan dalam mengolah beraneka hasil laut, meningkatnya usaha-usaha produktif dari hasil laut serta meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan keluarga nelayan

Pelatihan tidak hanya sekedar penyampaian peran wanita nelayan dalam pembangunan, tetapi juga diberikan materi teknis tentang pembuatan stick ikan dan udang, pembuatan bakso ikan dengan aneka hidangan seperti pembuatan kuah sate, kuah bakso, pembuatan abon ikan serta pengolahan asinan/manisan rumput laut, kemudian juga diberikan pelatihan pembuatan cendol sari rumpi dari bahan rumput laut, aneka pembutan dodol rumput laut.

Kegiatan pemberdayaan wanita nelayan melalui pendekatan ekonomi masyarakat dengan mengembangkan potensi wanita nelayan, ternyata dapat menghasilkan berbagai produk unggulan dari potensi kelautan dan dengan pendampingan manajemen dan kewirausahaan serta teknologi tepat guna yang mengarah pada peningkatan mutu atau kualitas produk, tentu hal ini akan semakin meningkatkan peran wanita nelayan tersebut untuk perekonomian keluarga.

Contoh lain adalah wanita nelayan Indonesia dapat dilibatkan dalam usaha pembudidayaan ini, sebagaimana yang telah dilakukan oleh wanita nelayan di India dan Bangladesh. Semuanya ini dapat dilakukan melalui pendidikan non formal berupa penyuluhan-penyuluhan baik kepada nelayan dan wanita nelayan. Penyuluhan kepada wanita nelayan pun harus langsung ditujukan kepada wanita itu sendiri, bukan dengan mewakilkannya kepada kaum prianya.

Rendahnya pendidikan formal yang dimiliki oleh wanita nelayan akan mempengaruhi kemampuannya dalam menyerapkan informasi yang sering kali disampaikan dengan metode penyampaian yang tidak tepat disamping materi yang terlalu tinggi untuk kemampuan mereka, kadangkala mereka masih banyak yang buta huruf. Pengembangan teknik inilah membutuhkan kerjasama dari para ahli beberapa disiplin ilmu.

Dalam usaha pelestarian alam wilayah pesisir dan laut, sudah seharusnya dilibatkan dan diberdayakan peran wanita nelayan dengan harapan mereka dapat merubah sikap terhadap konservasi alam dan mewujudkannya dalam aksi. Melalui pendidikan informal yang dilakukan wanita nelayan kepada keluarga dan lingkungan sekitarnya, diharapkan di kemudian hari akan terbentuk generasi muda yang berwawasan lingkungan dengan melakukan pemanfaatan SDA secara lestari. Pendidikan lingkungan tersebut sebaiknya menggunakan landasan keilmuan, teknologi, agama dan kesenian agar lebih menarik perhatian audiens dan membentuk sikap baru yang positif.

DANA RP 71,8 MILIAR UNTUK PERKUAT EKONOMI MASYARAKAT PESISIR

Tanggal : 19 Desember 2006
Sumber : http://www.depkominfo.go.id/portal/?act=detail&mod=berita&view=1&id=BRT061219165601


Jakarta (Kominfo-Newsroom) – Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memberikan penguatan ekonomi masyarakat pesisir dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp71,8 miliar melalui pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Samudera di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

“Daerah ini memiliki potensi yang sangat besar dan diyakini mampu untuk dapat menjadi penggerak perekonomian daerah,” kata Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi Departemen Kalautan dan Perikanan, Saut P .Hutagalung, di Jakarta, Selasa (19/12).

Untuk itu pada tahun 2006 DKP telah mengalokasikan anggaran ke Prov. Sumatera Barat sebesar Rp71,8 miliar terdiri dari dana dekonsentrasi Rp19,1 miliar, dana alokasi khusus untuk pembangnan kelautan dan perikanan di 18 kab/kota Rp26,77 miliar dan pinjaman luar negeri untuk kegiatan MCRMP dan Coremap Rp9 miliar serta alokasi untuk unit teknis seperti SUPM Pariaman, PPS Bungus dan UPT Karantina Ikan Rp16,93 miliar.

Saut P Hutagalung menambahkan, khusus untuk Kabupaten Pesisir Selatan, pada tahun 2007 DKP mengalokasikan anggaran pembangunan kelautan dan perikanan sebesar Rp3,8 miliar diperuntukkan pada kegiatan Perbaikan Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masayarakat (PLBPM), pemberdayaan ekonomi masyarakat, kegiatan budidaya, dan konservasi lingkungan laut.

BPR Samudera ini merupakan salah satu unit usaha simpan pinjam masyarakat pesisir yang berfungsi sebagai intermediasi lembaga perbankan dengan masyarakat pesisir.

Kehadiran BPR Pesisir diharapkan mampu menjadi salah satu tonggak kebangkitan ekonomi rakyat menuju kesejahteraan dan kemandirian masyarakat pesisir. BPR Pesisir ini telah diinisiasi sejak tahun 2003 dan bekerjasama dengan PT. Permodalan Nasional Madani (PNM) sebagai konsultan pendampingnya. Hingga saat ini telah berdiri 9 buah BPR Pesisir di seluruh Indonesia.

Program penguatan perekonomian masyarakat juga dilakukan DKP melalui pembangunan dan pengembangan Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP–M3). LEPPM-3 merupakan lembaga pengelola dana bergulir melalui kegiatan simpan pinjam.

Saat ini telah berdiri 278 LEPPM-3 di seluruh Indonesia. Selain membangun lembaga tersebut, dalam memperkuat ekonomi masyarakat pesisir, DKP juga membangun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Swamitra Mina melalui kerjasama dengan Bank Bukopin, Bank Syariah Mandiri dan PT. Permodalan Nasional Madani (PT. PNM). Hingga tahun 2006, DKP telah mendirikan 242 LKM Swamitra Mina.

“Selain meningkatkan akses kepada pihak perbankan, DKP juga berupaya untuk menekan biaya operasional melaut,” kata Saut.

Hal ini dilakukan melalui pendirian Kedai Pesisir. Kedai ini bertugas untuk menyediakan segala kebutuhan nelayan baik kebutuhan sehari-hari maupun dalam penyediaan perlengkapan untuk melaut dengan harga yang terjangkau.

DKP melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) sejak tahun 2001. Pada tahun 2006 telah mengucurkan dana sebesar Rp132,4 miliar untuk program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP).

Dana tersebut digunakan untuk tiga program utama, yakni; penguatan modal di 111 kabupaten/kota, pembangunan fasilitas kedai pesisir di 53 kabupaten/kota, dan pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) di 51 kabupaten/kota.

Nelayan Perlu Lebih Diberdayakan

Tanggal : 5 Desember 2006
Sumber : http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2006/12/5/e1.htm


NELAYAN
dan petani bisa dibilang sama saja nasibnya. Keduanya sama-sama miskin dan kurang ada yang mau peduli. Padahal kalau kita mau jujur, tanpa petani dan nelayan hidup bangsa ini takkan makmur. Bahkan bisa melarat. Siapa bisa hidup tanpa makan (nasi - red).

Alam Indonesia dikenal sangat lengkap dan kaya. Maka tak mengherankan Koes Ploes mengibaratkannya sebagai kolam susu. Tongkat, kayu dan batu bahkan jadi tanaman. Namun kenapa nelayan dan petaninya tetap miskin dan melarat. Apa yang tak beres di balik itu semua?


Secara fakta produksi kelautan kita cukup melimpah. Belum lagi yang dicuri oleh nelayan asing. Bahkan, realisasi ekspor perikanan dan kelautan Bali terus meningkat dan nilainya mencapai puluhan juta dolar per tahunnya. Namun tetap saja nelayan masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tak berbeda nasibnya dengan petani yang kini kelimpungan karena harga pupuk naik cukup tinggi, nelayan pun menghadapi berbagai persoalan yang tak kalah peliknya.


Di samping faktor alam yang selama setahun ini kurang bersahabat, sehingga nelayan kesulitan melaut, faktor-faktor lainnya pun turut pula memberatkan. Sebut saja persoalan BBM yang hingga kini masih menjadi salah satu problem mendasar bagi nelayan dan pengusaha perikanan untuk melaut.


Kenaikan yang relatif tinggi pada Oktober tahun lalu menyebabkan membengkaknya biaya operasional penangkapan ikan. Padahal di sisi lain, negara-negara yang juga menekuni industri ini memberikan insentif yang tidak sedikit pada pelakunya sehingga harga jual produknya punya daya saing.


Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi di Bali. Kenaikan BBM tentu saja akan secara otomatis mendongkrak harga jual produk perikanan tangkap. Tuna, misalnya, komoditi yang menjadi andalan Bali di sektor perikanan ini mesti mengalami penurunan tangkapan karena sebagian besar kapal penangkapnya tidak bisa melaut. Persoalan BBM menjadikan pengusaha kapal penangkapan ikan tuna mesti berpikir berpuluh-puluh kali untuk melakukan pelayaran mencari tuna di lautan bebas.


Di sisi lain kenaikan harga BBM ini menyebabkan perikanan budi daya lebih mengemuka. Ambil contoh saja pusat pembudidayaan ikan di Gondol, Buleleng. Pusat pembudidayaan ikan ini sudah bisa melakukan ekspor bibit ikan dalam jumlah besar. Kemungkinan dan prospek dari keberadaan budi daya perikanan ini pun akan lebih cerah menyusul mulai berkurangnya populasi perikanan yang ada di lautan lepas.


Dari sudut pandang lingkungan, keberadaan perikanan budi daya ini jelas jauh lebih bersahabat. Pasalnya melalui pembudidayaan, populasi ikan bisa dihasilkan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Nelayan pun sebenarnya bisa memperoleh tambahan pendapatan yang tidak sedikit jumlahnya bila menekuni budi daya perikanan ini.


Terlebih kini ada beberapa negara yang menuntut produk perikanan yang masuk ke negaranya bebas dari bahan-bahan kimia. Melalui pembudidayaan, asupan bahan kimia ke dalam tubuh ikan tentu bisa dibatasi bahkan dihilangkan. Di beberapa negara maju pun, seperti Uni Eropa dan AS, tuntutan terhadap produk perikanan yang berkelanjutan juga makin mengemuka.


Bahkan di Jepang, para ilmuwannya sudah mulai mencoba membiakkan tuna sehingga mereka tidak lagi terlalu bergantung dengan produk tuna tangkapan di laut. Melihat kenyataan itu sudah semestinya kita tak berpeluk tangan dan hanya terbuai dengan pendapatan di sektor pariwisata yang nyata-nyata sangat rentan dan labil. Laut yang luas dengan ikannya yang melimpah serta jumlah nelayan yang cukup banyak merupakan modal yang bisa diandalkan untuk membangun ekonomi rakyat dari potensi yang selama ini kurang diseriusi itu.


Memaksimalkan Potensi Wilayah Pesisir

Tanggal : 29 November 2006
Sumber : http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=30173

Wilayah pesisir memiliki arti penting dan strategis bagi Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), baik dari segi ekologis, ketahanan pangan, ekonomi, keanekaragaman biologi, sosial budaya maupun keindahan alamnya, serta pencegahan terhadap erosi/abrasi, gelombang laut dan badai. Hanya saja, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia dewasa ini sangat rentan terhadap perubahan alam, baik karena alam itu sendiri maupun akibat ulah manusia (man made disasters). Sulsel dengan wilayah pesisir berupa panjang pantai 1.973,7 km dan luas perairan lautnya kurang lebih 48.000 km2, memiliki potensi yang sangat kaya akan berbagai jenis ikan dan kerang-kerangan sebagai sumber protein hewani, mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria sebagai tempat memijah, dan mencari makan berbagai biota laut. Wilayah pesisir juga sebagai tempat permukiman masyarakat (nelayan), media transportasi laut serta sarana rekreasi dan penelitian.

Di samping itu, wilayah pesisir menyediakan sumber daya ekonomi untuk kegiatan perdagangan dan industri, sumber mineral, sumber energi, minyak dan gas bumi serta bahan-bahan tambang lainnya. Adapun keindahan pantai dan keanekaragaman terumbu karang dengan berbagai jenis biota lautnya mendukung pengembangan industri pariwisata.

Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut di Sulsel, mampu bertahan terhadap krisis ekonomi yang multi dimensi dan berkepanjangan, namun di lain pihak eksploitasi yang berjalan terus-menerus terhadap sumber daya tersebut telah menyebabkan timbulnya masalah-masalah yang kompleks dan adanya indikasi telah terlampauinya daya dukung ekologis. Akibatnya, muncul isu-isu strategis dan permasalahan menyangkut pengelolaan sumber daya oleh stakeholders di wilayah pesisir dan laut Sulsel.


* Isu Strategis dan Permasalahan Wilayah Pesisir

Masalah pengelolaan wilayah pesisir yang melahirkan kemiskinan masyarakat pesisir (nelayan), serta menimbulkan kerusakan lingkungan pesisir dipicu oleh beberapa faktor yang menjadi isu-isu strategis di Sulsel, yakni: Pertama, isu sosial budaya, meliputi rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), lambatnya perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat, buruknya sanitasi lingkungan permukiman, degradasi budaya dan semangat kebaharian, serta masih tingginya tingkat pertumbuhan penduduk.

Kedua, isu lingkungan, meliputi degradasi ekosistem
pesisir dan laut, tercemarnya wilayah pesisir, lemahnya penataan dan pengawasan pemanfaatan ruang wilayah pesisir. Ketiga, isu kelembagaan, meliputi tidak terpadunya pengelolaan wilayah pesisir, lemahnya kelembagaan masyarakat dan pemerintah, lemahnya penegakan hukum di wilayah pesisir dan laut.

Keempat, isu pembangunan ekonomi, meliputi rendahnya daya tarik ODT wisata bahari, belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap, belum optimalnya pengelolaan perikanan budi daya, belum optimalnya pengelolaan bahan mineral, rendahnya aksesibilitas antarpulau. Faktor lainnya, yakni perubahan alam yang
sering mengancam kelestarian ekosistem maupun masyarakat pesisir, antara lain gempa bumi, tsunami, erosi, polusi, badai, banjir, gelombang pasang, abrasi, serta kenaikan permukaan air laut (global warming).

Adapun faktor yang disebabkan oleh perbuatan manusia (man made disasters), seperti konversi hutan mangrove untuk lokasi tambak dan perluasan kota dan kawasan industri, penambangan batuan di daerah karang laut dan penambangan pasir laut untuk bahan bangunan dan komersial. Bisa juga karena pencemaran akibat adanya praktik/kebiasaan untuk memanfaatkan laut sebagai tempat pembuangan berbagai limbah dan sampah serta eksploitasi sumber daya laut dan pesisir yang berlebihan (over exploitation). Tidaklah mengherankan, terjadinya bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Sulsel khususnya dan Indonesia pada umumnya dalam dekade terakhir ini telah mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa, serta kerugian ekonomi mencapai triliunan rupiah. Kerugian ekonomi tersebut menjadi semakin besar apabila memperhitungkan juga kerusakan sumber daya alamnya.


* Penanganan Wilayah Pesisir

Adanya proyek MCRMP, PEMP dan COREMAP I-II di Sulsel yang merupakan program nasional yang bersinergi dengan PWP di daerah dalam rangka optimalisasi, baik perencanaan maupun pengelolaan sumber daya alam pesisir dan laut Sulsel, sangat membantu. Selain itu, juga merupakan jawaban atas pentingnya penataan dan penanganan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Sulsel yang SDA pesisir dan lautnya sudah mengalami kerusakan yang cukup parah (mangrove, coral reef dan ekosistem).

Dalam menghadapi isu dan permasalahan pengelolaan wilayah pesisir di Sulsel diperlukan upaya penanganan terpadu dan penyusunan kebijakan yang terintegrasi. Dengan demikian, pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dapat dilaksanakan secara berkelanjutan (sustainable).

Mencermati adanya dampak besar kerugian akibat bencana dari faktor alam dan ulah manusia, maka diperlukan serangkaian upaya penanggulangannya secara terpadu. Caranya, bisa dengan jalan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (rehabilitasi, rekonstruksi dan restorasi) serta regulasi peraturan perundangan-undangan berupa Perda, Renstra dan Pedoman tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut secara terpadu.

Maklum, selain dapat berperan penting dalam mendukung pembangunan daerah, sumber daya pesisir juga berpotensi memicu konflik kepentingan di antara para pihak sebagai akibat dari terjadinya tumpang tindih kewenangan dan kompetisi dalam pengelolaannya. Berbagai contoh dalam beberapa kasus (rumput laut) di Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba berupa over zonation/wilayah budi daya sehingga tidak memberi akses untuk dilewati alat transportasi laut, begitu pula dengan masih maraknya pengeboman, pembiusan dan penggunaan trowl
penangkap ikan di Pangkep dan sekitarnya. Atau, terjadinya berbagai benturan kepentingan antara upaya pelestarian sumber daya alam (konservasi hutan mangrove dan terumbu karang) dengan pertumbuhan perekonomian masyarakat (pembukaan lahan pertambakan dan budi daya).

Munculnya berbagai benturan kepentingan tersebut menjadi semakin nyata dengan belum adanya kesepahaman tentang definisi pengelolaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di daerah ini, plus strategi dan perda serta pedoman/petunjuk pelaksanaannya.


* Prospek Wilayah Pesisir

Banyaknya kabupaten/kota yang memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Sulsel merupakan prospek dan potensi SDA yang belum terkelola secara baik dan terpadu. Sebagai contoh Kabupaten Selayar yang memiliki pesisir dan pulau-pulau kecil dengan keanekaragaman ekosistem laut dan pulau-pulau kecilnya untuk pariwisata, di antaranya 50 persen atau 10.000 km2 dari total 21.000 km2 wilayah perairan di Selayar adalah perairan yang terdapat terumbu karang dan biotanya yang sangat indah. Bahkan 50 persen (5.000 km2) di antaranya berada di kawasan Takabonerate, sebuah perairan terbesar dan terindah ketiga di dunia dengan pemandangan bawah laut yang meliputi karang dan beragam ikan.

Menilik realitas itu, maka sesungguhnya daerah ini sangat prospek dijadikan Kabupaten Maritim. Maka, tekad Bupati Selayar H Syahrir Wahab untuk menjadikan Selayar sebagai Kabupaten Maritim, memanfaatkan momentum hari jadi yang ke-401 daerah ini, bisa dikatakan sebagai salah satu langkah maju.

Terlepas dari langkah maju yang diambil Pemkab Selayar, tidaklah berlebihan jika kita mengambil masukan, saran dan rekomendasi mengenai pengelolaan wilayah pesisir dari lokakarya ICZPM (Integrated Coastal Zone Planning and Management) yang belum lama ini digelar oleh MCRMP dan Bappeda Sulsel. Dari lokakarya itu, segala hal menyangkut pengelolaan wilayah pesisir dikupas habis yang muaranya bagaimana seluruh stakeholders, dapat secara bersama-sama membangun ketertinggalan, serta berfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat wilayah pesisir pada masing-masing daerah kawasan wilayah pesisir di Sulawesi Selatan.

Tapi yang juga tidak bisa diabaikan adalah menentukan prioritas pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu. Dalam hal ini, hendaknya segera dibuat konsep dan regulasi berupa Peraturan Daerah (Perda), Rencana Strategis (Renstra) dan Pedoman lainnya yang benar-benar sesuai dengan identifikasi karakteristik dan cocok untuk kondisi Sulsel. Di samping itu, kita juga harus terus berupaya meningkatkan kualitas lingkungan wilayah pesisir laut dan kehidupan masyarakat pesisir melalui kerja sama yang harmonis antar-stakeholders dan seluruh elemen pelaku pembangunan di Sulsel.

Terakhir, belajar dari pengalaman mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu (ICZM) dari berbagai negara di dunia seperti Xianmen, Tiongkok, yang sukses dalam aplikasi pengelolaan wilayah pesisir terpadu, dan negara-negara ASEAN lainnya, pemerintah pusat dan daerah hendaknya sesegera mungkin perlu memulai memikirkan/merencanakan dan mengkaji pengembangan konsep perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu (ICZPM), serta mengimplementasikan konsep tersebut dalam kerangka kebijakan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu serta pulau-pulau kecil di Indonesia dan khususnya di Sulsel, agar nantinya dapat mengejar ketertinggalannya dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut dari negara-negara lain yang sudah lebih maju. (**)

Sumber : Muhammad Arsani ; Pegawai Sub Bidang SDA dan Kelautan Bappeda Sulsel

Bantuan KK Miskin Pesisir belum Turun

Tanggal : 25 Nopember 2006
Sumber : http://nusatenggaranews.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=15&artid=615

Kota Bima, Nusatenggaranews.com.-
Dana bantuan pemberdayaan untuk keluarga miskin masyarakat pesisir sebesar Rp1,5 juta/kepala keluarga (KK) hingga saat ini belum direalisasikan.
Hal itu diakui oleh Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disosnakertrans) Kota Bima, Drs H Hasan Ismail.

Dikatakannya, dana itu merupakan bantuan dari Dinas Sosial Provinsi NTB bagi tiga kelompok masyarakat nelayan di Kelurahan Jatiwangi Asakota. Satu kelompok terdiri dari 10 orang.
Berdasarkan hasil kesepakatan antara kelompok nelayan, dana itu digunakan untuk membeli alat penangkap ikan dan mesin perahu tempel.

Pengelolaan dana tersebut, kata Hasan, tetap dalam pengawasan Dinsosnakertrans Kota Bima berdasarkan pengajuan kelompok sesuai dengan kebutuhan mereka.
Hasan memperkirakan, dana itu akan direalisasikan sebelum 20 Desember mendatang, karena kuitansi sudah harus ditandatangani sebelum tanggal tersebut. Selain itu, pengajuan akhir pencairan oleh bendahara di Mataram sekitar 20 Desember mendatang.

Rp400 Juta, Dana DKP Pusat untuk Diskanlut

Tanggal : 9 Nopember 2006
Sumber : http://nusatenggaranews.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=4&artid=500


Kota Bima, Nusatenggaranews.com.-
Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanlut) Kota Bima akan menerima kucuran dana sebesar Rp400 juta dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Pusat, melalui program Pengelolaan Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PLBPM).

Kepala Diskanlut Kota Bima, Drs H Ramli Hakim, MSi, mengatakan, jumlah itu lebih sedikit dari dana PLBM yasng diterima sebelumnya. “Karena memang kabupaten dan kota yang mendapat program ini lebih banyak dari tahun sebelumnya,” katanya di kantor Pemkot Bima, kemarin.

Kota Bima, katanya, dinilai sebagai pengelola kedua terbaik nasional untuk program PLBPM, sehingga ada kepercayaan dari DKP untuk program seterusnya bagi pemberdayaan masyarakat pesisir.

“Kita akan upayakan ada dana dari APBD II yang nilainya minimal sama dengan pagu dana bantuan itu untuk membantu program ini, disamping juga dana pendamping 10 persen dari pagu dana secara keseluruhan,” ujarnya.

Dijelaskannya, ada dua alternatif penggunaan dana tersebut, yakni pengembangan dua wilayah sebelumnya, Kelurahan Melayu dan Tanjung, karena dari program sebelumnya masih terdapat kekurangan.

Alternatif lainnya, kata Ramli, akan diarahkan ke wilayah lain yang belum mendapatkan progran tersebut yakni di Wadumbolo. “Ini masih kita pelajari terlebih dahulu, bergantung pada rapat Forum Komunikasi Daerah,” katanya.

Program tersebut diperkirakan akan terealisasi sekitar Maret 2007. Pasalnya, pada triwulan pertama yakni Januari harus menyiapkan adiministrasinya. Saat ini, Diskanlut masih menunggu petunjuk teknis (Juknis) dan petunjuk pelaksanaan (Juklak) dari DKP Pusat.

Sebelumnya, PLBPM di Kelurahan Tanjung telah dinilai oleh tim pusat dan diangap berhasil, sehingga pemerintah pusat melanjutkan program itu untuk menudukung pengembangan wilayah pesisir, khususnya nelayan.

“Karena wilayah pesisir selalu dianggap kumuh dan kurang diperhatikan, padahal potensinya sangat banyak,” ujarnya. (6.07)

Kondisi Memprihatinkan

Tanggal : 8 September 2006
Sumber : http://www.suarantb.com/2006/09/08/Tokoh/index.html


KETUA Forum Kerja Sama Pondok Pesantren (FKSPP) NTB, TGH. Syafwan Hakim, mendukung langkah Pemprop NTB, khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan NTB memberdayakan masyarakat pesisir yang selama ini hidup dalam kondisi memprihatinkan. Padahal, masyarakat pesisir mempunyai sumber penghasilan yang sangat luas yakni lautan. Namun hal itu belum dibarengi dengan upaya dan kerja keras, sehingga membuat hidup mereka masih membutuhkan uluran tangan.

''Kami mendukung berbagai program pemerintah, khususnya dalam upaya memperbaiki kehidupan nelayan atau masyarakat pesisir. Nelayan masih berada di bawah garis kemiskinan dan membutuhkan perhatian serius dari pemerintah serta tokoh agama seperti kami,'' ujar pimpinan Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri Lombok Barat itu di Hotel Jayakarta, Rabu (6/9) malam.

Selama ini, lanjut Syafwan, nelayan NTB memanfaatkan laut dan segala macam isinya baru sebagian kecil, yakni isi kecil-kecil saja. Sementara, isi laut mulai dari yang sedang hingga paling besar belum disentuh. ''Setidaknya dengan melibatkan kalangan pondok pesantren, terutama dalam memberikan pencerahan dan pemahaman di kalangan nelayan, seperti khotbah pesisir harus tetap dilakukan,'' saran Syafwan, seraya menambahkan, masalah pelestarian biota laut dari pengerusakan juga tetap dikedepankan.

Pada bagian lain, lanjutnya, FKSPP juga menekankan pada masyarakat pesisir dan miskin lainnya mengenai pentingnya mengubah pola kehidupan, tanpa hanya mengandalkan bantuan orang lain. Kehidupan, ujarnya, tak akan berubah, jika yang bersangkutan tidak merubah nasibnya sendiri. ''Menjadi pengusaha ikan atau mutiara merupakan pekerjaan mulia. Malahan, Nabi Muhammad SAW, dulunya adalah seorang pedagang,'' ujarnya. (ham)

Fenomena Nasi Aking dalam Potret Kemiskinan

Tanggal : 18 September 2006
Sumber: http://opini.wordpress.com/2006/09/18/fenomena-nasi-aking-dalam-potret-kemiskinan/


- Akhir-akhir ini fenomena nasi aking muncul dalam pemberitaan di media massa. Warga di beberapa daerah mulai mengonsumsi hasil pengeringan nasi, yang ditanak lagi itu. Antara lain dialami oleh nelayan di wilayah Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes. Kemungkinan besar kasus serupa juga terjadi di daerah-daerah lain, tetapi tidak atau belum terjangkau media massa. Fenomena nasi aking sangat memprihatinkan, karena selama ini dikenal sebagai pakan bebek. Jika pakan binatang sudah diambil alih oleh manusia, apalagi penyebabnya kalau bukan kemiskinan? Keterpaksaan oleh keadaanlah yang membuat mereka tidak lagi segan atau malu.


- Kasus nasi aking di Brebes itu hanya merupakan gambaran kecil dari nestapa kemiskinan, yang melingkupi para nelayan di kawasan pantai utara. Pendapatan mereka rata-rata hanya Rp 3.000-Rp 5.000 per hari. Bandingkanlah dengan harga beras yang telah mencapai Rp 4.500 lebih untuk kualitas medium atau layak konsumsi. Padahal, dalam setahun mereka akan mengalami musim paceklik, karena tak bisa melaut selama hampir enam bulan. Sejak Juli lalu, para nelayan, yang sebagian besar berkategori tradisional itu, tidak bisa melaut, karena musim memasuki angin barat, yang ditandai oleh ombak tinggi dan besar. Berarti mereka tidak memiliki penghasilan.


- Tak mengherankan jika kemudian mereka mengonsumsi nasi aking. Bahan pangan tersebut bisa diperoleh seharga Rp 1.000/kg. Para nelayan itu mengatakan, nasi aking lebih mengenyangkan ketimbang nasi jagung, yang harganya tak terpaut banyak. Dalam keadaan tidak ada pemasukan untuk membeli nasi aking pun, kalau bukan menjual barang-barang berharga yang masih tersisa, tentu mengutang kepada tetangga atau penjualnya. Sungguh kenyataan yang mengenaskan. Namun, jika menoleh ke belakang, kita akan bisa memaklumi keadaan semacam itu. Kenaikan harga BBM tahun lalu merontokkan daya beli kaum miskin, termasuk nelayan.


- Penanganan untuk mengentaskan kaum miskin dari kemiskinan, yang dilakukan sejak beberapa waktu lalu, sejauh ini masih dipertanyakan efektivitasnya. Mulai jaring pengaman sosial (JPS) hingga subsidi langsung tunai (SLT) seolah-olah menguap begitu saja. Program-program yang dimaksudkan untuk membantu orang miskin itu justru menimbulkan dampak tak sedap berupa penyelewengan. Sejak awal, upaya tersebut memang diragukan oleh berbagai pihak, karena sifatnya lebih sebagai memberi ikan, bukan kail. Cara-cara demikian hanya akan menyebabkan makin tingginya kebergantungan kaum miskin terhadap program sejenis dari pemerintah.


- Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari sekitar 33 juta jiwa penduduk Jateng, 7,5 juta jiwa tergolong miskin. Sekitar 3,2 juta rumah tangga miskin menerima oleh program SLT senilai Rp 1,2 juta per tahun. Dengan asumsi tiap rumah tangga terdiri atas empat jiwa, hampir 12,8 juta jiwa tersentuh oleh subsidi tersebut. Dari jumlah itu 60% merupakan kategori miskin dan sangat miskin. Melihat angka-angka tersebut, kita berharap semestinya tidak terjadi fenomena mengonsumsi nasi aking. Namun, memang harus disadari, kemiskinan bukan sekadar angka. Standar yang lemah dan pendataan yang kurang valid bisa menyebabkan banyak yang lolos.


- Terlepas dari pro dan kontra atas jumlah orang miskin dan metode pengukurannya, kita tidak boleh berhenti berusaha mengentaskan kelompok yang kurang beruntung itu dari belitan kemiskinan. Khusus para nelayan di pantai utara, ada yang menyebutkan kemiskinan telah menjadi “budaya”. Untuk memutus lingkaran kemiskinan itu, dibutuhkan program-program semacam pendidikan, pelatihan-pelatihan keterampilan, serta dibantu permodalan. Lewat langkah tersebut diharapkan kemiskinan tidak lagi diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Pengalaman selama ini, program yang bersifat charity sulit diharapkan bisa menuntaskan.


Daerah Diminta Susun Renstra Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Tanggal : 21 Juli 2006
Sumber : http://www.riau.go.id/index.php?module=articles&func=display&ptid=1&aid=926


PEKANBARU (Riau Online): Pada tahun 2023, penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 302,7 juta jiwa. Ini akan berimplikasi terhadap meningkatnya permintaan produk-produk kelautan dan perikanan dan menciptakan objek eksploitasi baru terhadap sumberdaya pesisir dan laut.

Maka itu, sejak sekarang daerah diminta membuat rencana strategis (renstra) pesisir dan pulau-pulau kecil. Renstra-renstra dari daerah ini akan dihimpun dan selanjutnya akan dijadikan kebijakan nasional.

Hal ini dikatakan Direktur Bina Pesisir Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departeman Kelautan dan Perikanan (DKP) Ir H Irwandi Idris MSi pada pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu kerja sama Marine Coastal Resources Management Program (MCRMP) Provinsi Riau dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) Faperika Unri.

Irwandi melanjutkan, penekanan perencanaan pengelolan pesisir dan laut akan sangat penting bila mana pemerintah daerah seperti saat ini dibebaskan untuk mencari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru.

Apalagi kawasan pesisir dan pulau-pulau memiliki potensi yang tak terbilang jumlahnya seperti, sektor pertambangan, minyak dan gas bumi, pariwisata, kehutanan, perikanan, pemukiman, dan sebagainya. "Ini merupakan konsekwensi yang logis dari peningkatan jumlah penduduk dan keterpurukan ekonomi akibat krisis moneter yang berkepanjangan," ujarnya.

Hanya saja, lanjutnya, kawasan pesisir dan laut memiliki ciri khas alam yang spesifik. Khusus pesisir, dia merupakan kawasan transisi darat dan laut yang sangat rentan pada perubahan akibat pembangunan seperti, rawan pencemaran lingkungan, abrasi, dan sebagainya.

"Apalagi berdasarkan analisis kita, kesiapan daerah apakah itu dari aspek SDM maupun lembaganya masih lemah. Makanya penyusunan renstra merupakan upaya agar pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut bisa berkelanjutan dan terintegrasi," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bappeda Riau melalui Kabid SDA Wagiman Har mengatakan, pada visi Riau 2020, fokus pembangunan Riau akan mengarah pada daerah aliran sungai (DAS), wilayah pesisir dan laut. Sedangkan yang akan dilakukan adalah optimalisasi sumberdaya alam (SDA) dan kegiatan konservasi pesisir dan laut.

Khusus proyek MCRMP, Riau merupakan satu dari 15 provinsi di Indonesia yang menerima bantuan luar negeri (loan) dari ADB untuk proyek ini. Di Riau, proyek ini akan dikerjakan di dua kabupaten yakni, Inhil dan Rokan Hilir. ??Tadinya tiga, tapi Kabupaten Karimun akhirnya mengundurkan diri,?? ujar Wagiman.

Lebih jauh, proyek MCRMP bertujuan untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut serta keragaman hayati secara berkelanjutan, termasuk perlindungan lingkungan hidup dalam kerangka desentralisasi pemerintahan. Pengelolaan dilakukan melalui, pertama, penguatan kemampuan daerah untuk merencanakan dan mengelola sumberdaya laut dan pesisir secara berkelanjutan.

Kedua, meningkatkan ketersediaan dan akses ke data dan informasi mengenai tata ruang dan keragaman hayati yang bermutu. Ketiga, meningkatkan kerangka hukum dan peraturan pengelolaan sumberdaya dan kepatuhan terhadapnya.

Keempat, menggunakan ICZMP (Perencanaan dan Pengelolaan Terpadu Zona Pesisir) untuk mengidentifikasi alternatif kegiatan usaha bersama yang layak. Dan kelima, meningkatkan keaadaan sosial-ekonomi dan lingkungan hidup di habitat pesisir yang telah ditentukan.(ary)

Program PEMP

Sinar Harapan
Sabtu, 03 Juni 2006
SURABAYA – Sudah menjadi rahasia umum kemiskinan dan keterpurukan masyarakat pesisir. Selama bertahun-tahun sebelumnya, sektor ini terabaikan kalau tak boleh dibilang tak tersentuh pembangunan secara komprehensif. Kalau pun ada pengentasan dari kemiskinan, lebih program itu acap kali tak berkesinambungan dan tak langsung menyentuh masyarakatnya. Tak heran kalau pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mencoba meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara terencana dan terstruktur. Program ini dikemas dengan nama Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang digelontorkan sejak 2000.

Tapi pada kenyataannya hingga saat ini sebagian besar masyarakat pesisir, terutama nelayan masih merupakan bagian masyarakat yang tertinggal, yang dipersepsikan sebagai golongan miskin jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Salah satu penyebabnya, tak lain karena ketidakmapuannya mengakses permodalan dari lembaga perbankan.Menurut data, sampai 2004 dana pembiayaan yang ada di perbankan yang bisa diserap oleh masyarakat pesisir tak lebih dari 0,02 persen. Hal ini terjadi karena keterbatasan informasi atas sumber-sumber pembiayaan yang bisa diakses, produk maupun program yang ada di perbankan, mekanisme dan persyaratannya, serta ketiadaan agunan.

Untuk menjembatani kesenjangan tersebut, memang perlu upaya sosialisasi, baik kepada masyarakat pesisir tentang perbankan dengan segala implikasinya, maupun kepada pihak perbankan, atau lembaga keuangan lain tentang sistem usaha perikanan. Di samping itu untuk menyiapkan masyarakat yang mampu mengakses perbankan perlu adanya upaya pendampingan usaha yang bankable dan memfasilitasi pembentukan badan usaha yang berbadan hukum.Peningkatan KemandirianMenurut DKP, dalam jangka panjang program PEMP diutamakan pada peningkatan kemandirian masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, partisipasi masyarakat, penguatan modal dan penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat pesisir yang dibangunnya.

Dalam buku putih DKP disebutkan, usaha yang didanai dan dikembangkan dalam program PEMP memang diprioritaskan pada jenis usaha yang memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut serta usaha-usaha lain yang terkait. Jenis usaha tersebut antara lain usaha penangkapan, budi daya, pengolahan hasil perikanan atau usaha lain yang mendukung usaha perikanan perdagangan produk perikanan, pengadaan bahan dan alat perikanan, BBM, es, serta pupuk dan obat-obatan. Setelah berjalan enam tahun, apakah PEMP bisa menjadi solusi mengatasi masyarakat pesisir? (gatot irawan)

Saat Rumput Laut Menjadi Tumpuan Hidup

Tanggal : 23 April 2006
Sumber : http://regional.coremap.or.id/sikka/berita/article.php?id=370


Sikka - Saat memasuki perairan Desa Koja Doi, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, yang terlihat hanya hamparan rumput laut. Memang, sekeliling sisi pulau kecil ini telah menjadi budi daya rumput laut. Inilah sekarang mata pencaharian utama yang memberi keuntungan bagi penduduknya.


Desa Koja Doi berada pada salah satu dari pulau-pulau kecil di Sikka. Pulau itu dapat dicapai dalam waktu sekitar satu jam perjalanan menggunakan speedboat dari Maumere. Penduduk yang menghuni pulau ini sebanyak 160 keluarga.


Sebagaimana masyarakat pesisir, sebelumnya penduduk Koja Doi bertahun-tahun menggeluti pekerjaan sebagai nelayan. Penduduk yang umumnya nelayan pukat hiu, bahkan berani menjajal melaut hingga ke perbatasan Australia. Parahnya para nelayan ini menggunakan bom untuk menangkap ikan.


“Sekarang semua berhenti menjadi nelayan, beralih menjadi pembudi daya rumput laut,” kata Ketua Koperasi Koja Doi Namawi penuh semangat, pekan lalu.


Perkataan Namawi tidak berlebihan. Ketika menginjak pulau itu, halaman penuh dengan rumput laut yang sedang dijemur. Kolong rumah penduduk yang bermodel panggung dimanfaatkan sebagai tempat membersihkan rumput laut yang baru dipanen.


Bahkan ada juga rumput laut yang tengah dipanen, padahal baru saja memasuki musim bagus untuk berbudi daya rumput laut. Disebut musim bagus karena arus angin dan gelombang cukup baik, yakni periode Desember - Agustus.


Paling jelek adalah adalah periode September-November di mana angin dan gelombang tidak ada karena masuk musim kering.


Budi daya rumput laut telah mengubah kehidupan ekonomi penduduk Koja Doi. Namawi, pria asal Buton, Sulawesi Tenggara, ini mengatakan penduduk bisa memperoleh penghasilan bersih hingga Rp 2-3 juta tiap panen. “Ini penghasilan yang cukup besar bagi kami,” katanya.


Bandingkan dengan penghasilannya sebagai nelayan. Nelayan pukat hiu masih bisa mendapatkan penghasilan lumayan. Salah satu nelayan di Desa Koja Doi, Baharudin mengaku dengan menjadi nelayan bisa memperoleh Rp 10 juta. Sayangnya uang itu mesti dibagi dengan tujuh orang rekannya yang berada dalam satu kapal. Sementara itu, nelayan bagan paling hanya bisa memperoleh Rp 100.000.


Namawi menjelaskan umumnya penduduk Koja Doi memiliki 50-100 bentang lahan budi daya. Bentang adalah istilah untuk banyaknya jumlah tali yang digunakan. Dengan luas lahan itu, saat musim subur atau musim bagus, penduduk bisa memperoleh produksi tinggi.


Sebanyak 100 bentang lahan dapat memanen 1 ton rumput laut dengan masa tanam hanya sekitar 45 hari. Pemeliharaannya pun nyaris sangat mudah, hanya perlu membersihkan tanaman.
Soal harga, juga lumayan tinggi. Namawi mengatakan harga rata-rata rumput laut kering mencapai Rp 4.000-5.200 per kg. Sekitar 70 persen hasil panen dijual, sisanya dimanfaatkan sebagai benih. Pembeli langsung datang ke pulau yang sebelumnya sudah dikumpulkan di Koperasi Koja Doi.
Luas lahan pembudi daya tergantung pada modal. “Semakin luas lahan dan kedalamannya semakin besar modal yang dibutuhkan,” ujarnya.


Untuk memulai budi daya rumput laut nelayan harus menyediakan bahan dasar, yaitu tali rafia, tali ris, botol air mineral, dan galon. Menurut Namawi untuk sekitar 100 bentang lahan budi daya, kira-kira butuh Rp 12 juta.


“Hidup kami lebih sejahtera setelah membudidayakan rumput laut. Tidak ada lagi anak putus sekolah,” katanya dengan nada puas.


Sulit


Jangan mengira mudah mengalihkan pekerjaan dari seorang nelayan pengebom ikan menjadi pembudi daya rumput laut. Namawi mengakui membutuhkan upaya lama, apalagi kebiasaan itu sudah digeluti berpuluh tahun.


Awalnya kegiatan mata pencaharian yang ramah lingkungan ini hanya diikuti segelintir orang. “Masyarakat meminta contoh budi daya rumput laut yang berhasil,” jelas Namawi.


Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sikka berjuang cukup ulet mengubah pola kerja masyarakat pesisir yang buruk. Tidak cuma Desa Koja Doi, kebiasaan mengebom untuk menangkap ikan terjadi di semua desa pesisir di Sikka.


Pemberdayaan masyarakat pesisir dilakukan melalui program Coral Reef Rehabilitation and Management Project (Coremap), yakni kegiatan pelestarian terumbu karang di wilayah perairan Maumere demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ini merupakan proyek nasional dengan tugas utama mengubah kebiasaan nelayan mengebom sebab itu merusak terumbu karang.


“Selain dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, budi daya rumput laut juga memberikan dampak positif bagi pelestarian terumbu karang,” kata Bupati Sikka Alexander Longginus.


Potensi terumbu karang di Sikka cukup terkenal. Alexander mengatakan luas tutupan terumbu karang di Sikka sepanjang 128 km. Namun potensi tersebut mengalami degradasi seiring kebiasaan nelayan menangkap ikan dengan mengebom.


Upaya melindungi terumbu karang dan mengatasi kerusakan lebih parah, pemerintah Australia ikut memberikan bantuan senilai Rp 45 miliar selama tiga tahun sampai April 2004, yang merupakan Coremap tahap I. Ada enam desa yang tercakup dalam tahap I.


Kemudian sejak 2005, Coremap tahap II dibiayai oleh Bank Dunia bekerja sama dengan pemerintah pusat untuk menjangkau 34 desa di Sikka. Bank Dunia mengucurkan dana Rp 8,7 miliar untuk Sikka pada 2006.


“Ada perubahan sangat besar di masyarakat pesisir setelah adanya program Coremap. Setidaknya mulai tumbuh kesadaran menghentikan kebiasaan mengebom ikan,” katanya.


Alexander tampak bangga, kini Pemkab Sikka mampu memproduksi 350-450 ton per bulan rumput laut. Bahkan dia menargetkan peningkatan produksi dengan mengenalkan budi daya rumput laut kepada masyarakat yang lebih luas.



Hanya perlu tetap diwaspadai, meski berpenghasilan lebih baik, toh profesi yang sudah mendarah daging tetap sulit ditinggalkan. Baharudin, misalnya, justru berniat kembali menjadi nelayan yang menangkap hiu.


“Memang, dengan membudidayakan rumput laut bekerja lebih tenang dan hasilnya lebih banyak. Tapi saya ingin kembali melaut, biar istri yang mengurus rumput laut,” katanya.


Agaknya ini menjadi tantangan bagi pemerintah. Kita cuma bisa berharap sosialisasi berjalan baik sehingga kasadaran menangkap ikan dengan cara bertanggung jawab tumbuh. Kalau tidak, bom akan terus meledak di perairan Maumere. Padahal Pemkab Sikka telah bertekad laut menjadi tumpuan hidup penduduknya.

Menteri Kelautan dan Perikanan RI; Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Dengan Memberdayakan Ekonomi

Tanggal : 16 Februari 2006
Sumber : http://www.d-infokom-jatim.go.id/news.php?id=6436



Menteri Kelautan dan Perikanan RI Ir Fredi Numberi, dalam acara sosialisasi Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Tahun 2006, di Hotel Utami Surabaya, Kamis (16/2) mengatakan, program ini terutama diarahkan untuk mendorong motivasi, dan memfasilitasi masyarakat pesisir dalam kegiatan usaha ekonomi produktif melalui penguatan akses dan kelembagaan.

Dalam perjalanan selama kurun waktu lima tahun, program ini telah mengalami berbagai penyempurnaan. Berbagai upaya untuk melayani masyarakat pesisir dalam kepedulian terhadap pembangunan yang menyentuh masyarakat pesisir pantai telah dilakukan.

Fredi menekankan, bahwa setiap tahapan yang ditempuh mengandung arti yang sangat dalam, seperti pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat pesisir, sejak tahun 2001 –2003 merupakan periode inisiasi bagaimana membangun, memotivasi dan memfasilitasi masyarakat pesisir agar mampu membangun dan sekaligus memanfaatkan kelembagaan ekonomi atau yang dikenal Lab M3 yang sampai saat ini telah berdiri 223 Lab M3 sebagai pengelola dana bergulir.

“Periode inisiasi merupakan upaya kita, dalam rangka memecahkan rendahnya kewirausahaan masyarakat pesisir pantai, karena tersumbatnya akses permodalan pada saat itu,” ujarnya.

Sementara itu, kata Fredi Numberi, periode institusionalisasi 2004-2006 ditandai dengan upaya menjadikan lab M3 berbadan hukum, karena Lab M3 tidak mempunyai orientasi kegiatan ekonomi yang jelas. Sedangkan dalam kegiatan simpan pinjam tidak sedikit yang mengalami kendala seperti kredit macet. Sebagai lembaga yang tidak berbadan hukum, tawarannya rendah terutama face at face sebagai perbankan. Padahal lembaga perbankan diharapkan mampu menjadi barometer keberhasilan barometer kerja dalam kegiatan usaha simpan pinjam.

Kedepan akan dilanjutkan dengan program diverifikasi tahun 2007-2009, periode ini merupakan perwujutan lab M3 menjadi Holding Kompeni. Periode ini mulai dibentuk unit-unit usaha dibawah lab M3 yang telah berbadan hukum koperasi. Beberapa unit usaha itu diantaranya adalah UKM, klinik, LKM, dan Kedai pesisir.

Untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir, maka selanjutnya diupayakan untuk peningkatan jumlah lembaga keuangan mikro atau LKM yang terdiri atas Swa Mitra Mina, BPRS Pesisir, dan unit simpan pinjam yang tersebar di berbagai ka/kota. Hal ini sebagai upaya menciptakan sumber permodalan dengan pendekatan manajemen yang lebih profesional namun akrab dan ramah serta aman dan transparan dari segi perencanaan.

Mengangkat Potensi Bahari Sumbar


Tanggal : 10 Februari 2006
Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0602/10/bahari/2358310.htm
Oleh : Yurnaldi


Di depan Menteri Besar Selangor Dato’ Seri Dr HM Khir bin Toyo, Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi mengungkapkan, daerahnya memiliki potensi besar di bidang kelautan dan perikanan, tetapi baru sebagian kecil yang tergarap. Terbuka peluang bagi investor Malaysia untuk bekerja sama guna menggarap potensi besar itu.


Potensi perikanan Sumatera Barat (Sumbar) itu tercermin dari data yang dipaparkan Gawaman Fauzi di depan tamunya, Dato’ Seri Dr HM Khir bin Toyo, 7 Januari 2006 silam.


Perairan laut Sumbar amat kaya oleh potensi ikan berkualitas ekspor. Tahun 2004, dari 340.930 ton potensi, yang mampu diproduksi baru 99.484,90 ton dan tahun 2005 sebanyak 109.000 ton. Produksi ikan tuna, cakalang, tongkol, kerapu, dan udang itu diekspor ke Jepang, Hongkong, dan Amerika Serikat.


Paparan Gamawan soal potensi bahari Sumbar ini tak sia-sia. Dari 100 pengusaha yang dibawa Menteri Besar Selangor, ada sejumlah pengusaha yang berminat dan langsung menandatangani kontrak kerja sama.


Gamawan dalam beberapa kali kesempatan selalu bicara soal potensi perikanan dan kelautan Sumbar. Ia menyadari bahwa sektor kelautan dan perikanan dalam perekonomian provinsi berpenduduk 4.375.080 jiwa (2002) ini punya peranan besar sebagai sumber lapangan kerja, juga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta sebagai sumber devisa.


”Jika sekarang pendapatan per kapita penduduk Sumbar hanya 900 dollar AS, melalui pemberdayaan potensi kelautan diyakini bisa meningkat menjadi 1.000 sampai 1.500 dollar AS,” paparnya.


Hidupkan semangat bahari


Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dalam kesempatan ketika berkunjung ke Sumbar, Agustus 2005 lalu, menegaskan perlunya kembali menghidupkan semangat jiwa bahari.


”Bangsa bahari adalah bangsa yang sadar bahwa hidup dan masa depannya bergantung pada lautan serta memanfaatkan sumber daya laut dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan bangsa,” ujar Freddy Numberi.


Ia mengemukakan, bangsa kita saat ini menghadapi permasalahan dalam hal pelestarian dan semangat jiwa bahari. Jiwa dan semangat bangsa Indonesia tidak lagi menggambarkan karakter bangsa bahari seperti yang ditunjukkan pada masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit.


”Tuhan telah memberikan karunia dengan luas lautan 5,8 juta kilometer persegi, dan lebih dari dua per tiga bagian luas negara kita ini adalah lautan, serta garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Sangatlah ironis bila kita melihat masih banyak masyarakat pesisir dan nelayan yang hidupnya jauh di bawah garis kemiskinan. Tingkat konsumsi ikan masyarakat kita hanya 23 kg per kapita per tahun, jauh di bawah negara-negara Asia lainnya,” paparnya.


Strategi pembangunan


Sejalan dengan harapan Menteri Kelautan dan Perikanan itu, Gubernur Gamawan Fauzi telah menyusun berbagai kebijakan dan strategi pembangunan bidang kelautan dan perikanan, yang semuanya bermuara kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, nelayan, dan pembudidayaan ikan.


Berada di pesisir barat Pulau Sumatera, Provinsi Sumbar memiliki panjang pantai 375 km, mulai dari Kabupaten Pasaman Barat di utara sampai Kabupaten Pesisir Selatan di selatan, serta 2.420 km jika termasuk pantai di Kepulauan Mentawai. Hal ini sebuah potensi besar untuk pengembangan usaha budidaya laut di sekitar pantai.


”Dengan jumlah pulau sebanyak 391 buah dan luas perairan teritorial berikut perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) 186.500 km persegi, serta potensi ikan laut sebesar 340.930 ton, Sumbar potensial untuk pengembangan penangkapan ikan di laut,” ungkap Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar H Surya Dharma Sabirin.


Menurut dia, potensi sumber daya kelautan yang dimiliki Sumbar tidak hanya sebatas ikan, hutan bakau, terumbu karang, dan padang lamun, tetapi juga mineral dan bahan-bahan tambang yang sampai saat ini belum termanfaatkan secara optimal karena berbagai keterbatasan, baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi.


Di samping itu, jasa lingkungan kelautan dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk pariwisata, industri bahari, industri jasa angkutan, dan sebagainya. Harta karun yang tersimpan di bawah perairan Sumbar selama ini juga merupakan potensi yang perlu digarap, karena selain punya nilai ekonomi juga punya nilai sejarah yang tinggi.


Khusus potensi ikan, dari potensi sumber daya ikan sebanyak 340.930 ton, produksi ikan yang tergarap baru sekitar 30 persen dari potensi. Artinya, masih mungkin untuk pengembangan, terutama di perairan lepas pantai sampai ke Kepulauan Mentawai maupun di ZEE.


”Jika ikan-ikan yang hidup di perairan pantai atau lepas pantai, seperti kerapu, kakap, lobster, tenggiri, dan ikan-ikan karang lainnya sudah diekploitasi sampai mendekati daya dukung sumber daya, tidak demikian halnya ikan-ikan yang berada di perairan ZEE 200 mil yang relatif masih rendah tingkat pemanfaatannya,” tutur Surya Dharma Sabirin.


Menurut dia, di samping perikanan tangkap, pada perairan di sepanjang pesisir, baik pada sisi barat Pulau Sumatera maupun bagian timur Kepulauan Mentawai yang terlindung ombak, potensial untuk usaha budidaya laut. Misalnya, pemeliharaan kerapu dan kakap di jaring apung atau rumput laut pada rakit-rakit atau tali.


Surya Dharma menambahkan, untuk mengoptimalkan produksi kelautan Sumbar, dibutuhkan minimal 100 unit alat tangkap jenis purse seine. Peralatan tangkap yang dimiliki 31.647 nelayan Sumbar selama ini lebih banyak menggunakan kapal tunda. Kapal tunda ini harus dimodifikasi dengan menggunakan peralatan tangkap long line sehingga hasil tangkapan bisa optimal.


Peluang bagi pengusaha yang ingin berinvestasi untuk menggarap sektor perikanan laut sangat terbuka sebab nelayan tradisional tak mungkin mampu membeli satu pukat cincin yang harganya berkisar Rp 2 miliar.


”Adanya investor baru, maka akan banyak tenaga kerja yang bakal diserap. Dengan demikian, masalah pengangguran dan kemiskinan bisa sebagian tertanggulangi. Saat ini tenaga kerja yang terlibat langsung dalam produksi tercatat sebanyak 125.657 orang, atau 2,8 persen dari total penduduk Sumbar. Itu belum termasuk tenaga yang bekerja di sektor hulu maupun hilir, seperti galangan kapal atau perahu, pembenih ikan maupun pedagang,” ujar Surya Dharma.


Berkah


Bagi Sumatera Barat, pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), awal Oktober 2005, mereka justru seperti mendapat berkah. Terbukti, sejumlah pengusaha bidang perikanan laut kini melirik potensi yang ada di Sumbar. Tidak saja potensi ikan berkualitas ekspor, tetapi juga kemudahan fasilitas lain yang memungkinkan pengusaha bisa beroperasi secara lebih efisien.


”Daerah operasi penangkapan dengan tempat pendaratan ikan relatif dekat. Begitu juga dengan Bandara Internasional Minangkabau untuk fasilitas tujuan ekspor. Berusaha di perairan Sumatera Barat sekitar wilayah Padang tidak hanya hemat BBM, tetapi juga hemat biaya lainnya,” ucap seorang pengusaha asal Jakarta yang selama ini beroperasi di Muara Baru, Jakarta.


Gamawan Fauzi menyebutkan, sebanyak 40 perusahaan penangkapan ikan kualitas ekspor dengan 86 unit kapal yang selama ini beroperasi di Benoa, Bali, dan Muara Baru, Jakarta, sejak beberapa bulan terakhir pascakenaikan harga BBM mengalihkan wilayah operasionalnya ke Kota Padang, Sumbar.


Selain perairan pantai barat Sumbar kaya potensi ikan, pendaratan kapal juga relatif dekat, yakni di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus. Ikan hasil tangkapan mereka setelah dikemas langsung bisa diterbangkan dari Bandara BIM yang berjarak sekitar 35 km dari Bungus. Dengan mengalihkan operasional ke Padang, mereka bisa menghemat banyak.


Tingkatkan fasilitas


Untuk memberikan pelayanan optimal kepada 40 perusahaan penangkapan ikan itu, tahun ini Pemerintah Provinsi Sumbar sudah menganggarkan dana untuk memperluas dan memperpanjang dermaga di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus, sepanjang 600 meter lagi, sehingga nanti menjadi 886 meter dengan kedalaman kolam mencapai enam meter.


Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus memiliki fasilitas seperti tangki bahan bakar minyak berkapasitas 75 ton, air minum berkapasitas 350 ton, cold storage, pabrik es berkapasitas 50 ton, area docking seluas 2.860 meter persegi, area untuk lokasi industri dan pengolahan seluas satu hektar, yang dapat melayani kapal-kapal ikan bertonase sampai 1.000 ton


Tidak hanya pengusaha penangkapan ikan yang diberi kemudahan dan fasilitas. Nelayan tradisional juga diberdayakan. Dalam ekspedisi Lintas Timur-Barat Kompas 2005 di Kota Padang dan Kabupaten Pasaman Barat, kalangan nelayan mengeluhkan tentang hasil tangkapan mereka yang sedikit karena mereka tak punya alat tangkap yang memadai. Begitu pula modal mereka yang hanya pancing atau perahu tanpa mesin. (aik/yns)


Nelayan Cerdas, Nelayan Mandiri

Tanggal : 19 Januari 2006
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan.php?dw.175


Sungguh ironis, dengan sumber daya alam laut yang luar biasa, nasib nelayan seakan diam ditempat. Secara normatif seharusnya hidup dalam kesejahteraan. Namun kenyataannya, sebagian besar masyarakat pesisir masih merupakan masyarakat tertinggal dibandimg komunitas masyarakat lain. Itu disebabkan karena tingkat pendidikan mereka masih rendah. Masa depan kelestarian pengelolaan potensi kelautan kita membutuhkan kearifan dan sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi untuk mengelola dan memanfaatkannya.

Pendidikan untuk nelayan pada hakekatnya merupakan human investmen dan social capital, baik untuk kepentingan pembangunan daerah maupun pembangunan nasional. Pendidikan merata dan bermutu baik melalui pendidikan sekolah maupun luar sekolah akan berdampak pada kecerdasan dan kesejahteraan nelayan. Demikian pula halnya dengan pendidikan memadai, paling tidak dapat dijadikan modal untuk mencari dan menciptakan peluang-peluang kerja yang dapat menjadi sumber kehidupan dan peningkatan kesejahteraan. Dalam banyak hal, terjadinya kemiskinan nelayan bukan semata-mata karena masalah ekonomi akan tetapi salah satu penyebabnya ialah pendidikan yang rendah.
Nelayan Cerdas, Nelayan Mandiri oleh Prof.Dr.Ir. Hafrijal Syandri, MS
Ada beberapa dasar yang membuat kita harus memperhatikan regenerasi nelayan, sehingga mereka lebih kompetitif dan mampu memanfaatkan sumberdaya alam di masa depan. Karena kekayaan itu dapat dijadikan kekuatan untuk mensejahterahkan mereka, keluarga dan lingkungannya, dan bisa menjadi pilar utama dalam pembangunan masyarakat pesisir kedepan.
Nelayan Cerdas, Nelayan Mandiri oleh Prof.Dr.Ir. Hafrijal Syandri, MS
Dilihat dari sumberdaya manusia nelayan paling tinggi hanya 80 % tamat sekolah dasar, bahkan banyak yang tidak tamat atau tidak sekolah sama sekali. Fakta tersebut menyiratkan kemampuan nelayan mengelola sumberdaya alam pesisir sangat terbatas. Ini disebabkan karena mereka identik dengan berbagai prilaku sosial yang tidak menguntungkan selama ini, misalnya budaya konsumtif, menyebabkan mereka terjebak pada lingkaran utang dan kemiskinan. Hal itu tentu jauh dari harapan untuk mengelola potensi sumberdaya kelautan yang tidak terbatas secara berkelanjutan, maka diperlukan regenerasi nelayan yang memiliki kemandiran, kompetensi dan kapasitas yang memadai pula. Jika kita dibandingkan dengan data Political and Economics Risc Consultan Croup – sebuah lembaga penelitian di Hongkong, bahwa ada 17 variabel yang merupakan rangking dalam pendidikan menengah, sarjana, dan pascasarjana, serta penguasaan teknologi, penguasaan bahasa asing, kemudian etos kerja dan tingkat aktifitas dari tenaga kerja. Dengan ukuran variabel ini, tidak mungkin mereka (putra-putri nelayan, red) dibanding negara lain mampu bersaing dengan kondisi pendidikan sekarang.