Saat Rumput Laut Menjadi Tumpuan Hidup

Tanggal : 23 April 2006
Sumber : http://regional.coremap.or.id/sikka/berita/article.php?id=370


Sikka - Saat memasuki perairan Desa Koja Doi, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, yang terlihat hanya hamparan rumput laut. Memang, sekeliling sisi pulau kecil ini telah menjadi budi daya rumput laut. Inilah sekarang mata pencaharian utama yang memberi keuntungan bagi penduduknya.


Desa Koja Doi berada pada salah satu dari pulau-pulau kecil di Sikka. Pulau itu dapat dicapai dalam waktu sekitar satu jam perjalanan menggunakan speedboat dari Maumere. Penduduk yang menghuni pulau ini sebanyak 160 keluarga.


Sebagaimana masyarakat pesisir, sebelumnya penduduk Koja Doi bertahun-tahun menggeluti pekerjaan sebagai nelayan. Penduduk yang umumnya nelayan pukat hiu, bahkan berani menjajal melaut hingga ke perbatasan Australia. Parahnya para nelayan ini menggunakan bom untuk menangkap ikan.


“Sekarang semua berhenti menjadi nelayan, beralih menjadi pembudi daya rumput laut,” kata Ketua Koperasi Koja Doi Namawi penuh semangat, pekan lalu.


Perkataan Namawi tidak berlebihan. Ketika menginjak pulau itu, halaman penuh dengan rumput laut yang sedang dijemur. Kolong rumah penduduk yang bermodel panggung dimanfaatkan sebagai tempat membersihkan rumput laut yang baru dipanen.


Bahkan ada juga rumput laut yang tengah dipanen, padahal baru saja memasuki musim bagus untuk berbudi daya rumput laut. Disebut musim bagus karena arus angin dan gelombang cukup baik, yakni periode Desember - Agustus.


Paling jelek adalah adalah periode September-November di mana angin dan gelombang tidak ada karena masuk musim kering.


Budi daya rumput laut telah mengubah kehidupan ekonomi penduduk Koja Doi. Namawi, pria asal Buton, Sulawesi Tenggara, ini mengatakan penduduk bisa memperoleh penghasilan bersih hingga Rp 2-3 juta tiap panen. “Ini penghasilan yang cukup besar bagi kami,” katanya.


Bandingkan dengan penghasilannya sebagai nelayan. Nelayan pukat hiu masih bisa mendapatkan penghasilan lumayan. Salah satu nelayan di Desa Koja Doi, Baharudin mengaku dengan menjadi nelayan bisa memperoleh Rp 10 juta. Sayangnya uang itu mesti dibagi dengan tujuh orang rekannya yang berada dalam satu kapal. Sementara itu, nelayan bagan paling hanya bisa memperoleh Rp 100.000.


Namawi menjelaskan umumnya penduduk Koja Doi memiliki 50-100 bentang lahan budi daya. Bentang adalah istilah untuk banyaknya jumlah tali yang digunakan. Dengan luas lahan itu, saat musim subur atau musim bagus, penduduk bisa memperoleh produksi tinggi.


Sebanyak 100 bentang lahan dapat memanen 1 ton rumput laut dengan masa tanam hanya sekitar 45 hari. Pemeliharaannya pun nyaris sangat mudah, hanya perlu membersihkan tanaman.
Soal harga, juga lumayan tinggi. Namawi mengatakan harga rata-rata rumput laut kering mencapai Rp 4.000-5.200 per kg. Sekitar 70 persen hasil panen dijual, sisanya dimanfaatkan sebagai benih. Pembeli langsung datang ke pulau yang sebelumnya sudah dikumpulkan di Koperasi Koja Doi.
Luas lahan pembudi daya tergantung pada modal. “Semakin luas lahan dan kedalamannya semakin besar modal yang dibutuhkan,” ujarnya.


Untuk memulai budi daya rumput laut nelayan harus menyediakan bahan dasar, yaitu tali rafia, tali ris, botol air mineral, dan galon. Menurut Namawi untuk sekitar 100 bentang lahan budi daya, kira-kira butuh Rp 12 juta.


“Hidup kami lebih sejahtera setelah membudidayakan rumput laut. Tidak ada lagi anak putus sekolah,” katanya dengan nada puas.


Sulit


Jangan mengira mudah mengalihkan pekerjaan dari seorang nelayan pengebom ikan menjadi pembudi daya rumput laut. Namawi mengakui membutuhkan upaya lama, apalagi kebiasaan itu sudah digeluti berpuluh tahun.


Awalnya kegiatan mata pencaharian yang ramah lingkungan ini hanya diikuti segelintir orang. “Masyarakat meminta contoh budi daya rumput laut yang berhasil,” jelas Namawi.


Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sikka berjuang cukup ulet mengubah pola kerja masyarakat pesisir yang buruk. Tidak cuma Desa Koja Doi, kebiasaan mengebom untuk menangkap ikan terjadi di semua desa pesisir di Sikka.


Pemberdayaan masyarakat pesisir dilakukan melalui program Coral Reef Rehabilitation and Management Project (Coremap), yakni kegiatan pelestarian terumbu karang di wilayah perairan Maumere demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ini merupakan proyek nasional dengan tugas utama mengubah kebiasaan nelayan mengebom sebab itu merusak terumbu karang.


“Selain dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, budi daya rumput laut juga memberikan dampak positif bagi pelestarian terumbu karang,” kata Bupati Sikka Alexander Longginus.


Potensi terumbu karang di Sikka cukup terkenal. Alexander mengatakan luas tutupan terumbu karang di Sikka sepanjang 128 km. Namun potensi tersebut mengalami degradasi seiring kebiasaan nelayan menangkap ikan dengan mengebom.


Upaya melindungi terumbu karang dan mengatasi kerusakan lebih parah, pemerintah Australia ikut memberikan bantuan senilai Rp 45 miliar selama tiga tahun sampai April 2004, yang merupakan Coremap tahap I. Ada enam desa yang tercakup dalam tahap I.


Kemudian sejak 2005, Coremap tahap II dibiayai oleh Bank Dunia bekerja sama dengan pemerintah pusat untuk menjangkau 34 desa di Sikka. Bank Dunia mengucurkan dana Rp 8,7 miliar untuk Sikka pada 2006.


“Ada perubahan sangat besar di masyarakat pesisir setelah adanya program Coremap. Setidaknya mulai tumbuh kesadaran menghentikan kebiasaan mengebom ikan,” katanya.


Alexander tampak bangga, kini Pemkab Sikka mampu memproduksi 350-450 ton per bulan rumput laut. Bahkan dia menargetkan peningkatan produksi dengan mengenalkan budi daya rumput laut kepada masyarakat yang lebih luas.



Hanya perlu tetap diwaspadai, meski berpenghasilan lebih baik, toh profesi yang sudah mendarah daging tetap sulit ditinggalkan. Baharudin, misalnya, justru berniat kembali menjadi nelayan yang menangkap hiu.


“Memang, dengan membudidayakan rumput laut bekerja lebih tenang dan hasilnya lebih banyak. Tapi saya ingin kembali melaut, biar istri yang mengurus rumput laut,” katanya.


Agaknya ini menjadi tantangan bagi pemerintah. Kita cuma bisa berharap sosialisasi berjalan baik sehingga kasadaran menangkap ikan dengan cara bertanggung jawab tumbuh. Kalau tidak, bom akan terus meledak di perairan Maumere. Padahal Pemkab Sikka telah bertekad laut menjadi tumpuan hidup penduduknya.