Zona Penduduk:60 Persen Penduduk Bermukim di Pesisir

Tanggal : 22 Desember 2007
Sumber : http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2007122201514418


BANDAR LAMPUNG (Lampost): Hampir 60 persen penduduk Indonesia bermukim di kawasan pesisir. Salah satu tantangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, belum disepakatinya perbatasan antarnegara dan daerah, sehingga perlu penataan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.


Hal itu dikatakan Direktur Pesisir dan Lautan Departemen Kelautan dan Perikanan, Ida Kusuma W., pada konsultasi publik rencana zona wilayah pesisir Kota Bandar Lampung, di Ruang Tapis Berseri, baru-baru ini.


Menurut Ida, potensi sumber daya alam kelautan Indonesia sangat besar, terdiri dari 17.480 pulau; 95.181 kilometer garis pantai dan 5,8 juta kilometer persegi laut. Selain itu, SDA kelautan Indonesia juga memiliki 80 persen industri dan 75 kota besar berada di wilayah pesisir.


Dari 60 cekungan migas Indonesia, 70 persen berada di laut dengan cadangan minyak bumi 9,1 miliar barel di laut. Perikanan tangkap kurang lebih 6.817 juta ton dan luas lahan budi daya 1.137.756 hektare. "Sumber daya alam kelautan Indonesia juga memiliki potensi kelautan dan kemaritiman, seperti transportasi laut, energi alternatif, deep sea water, dan biofarmakologi," kata Ida, kemarin.


Sedangkan tantangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kata Ida, mengenai batas wilayah laut, Indonesia yang berbatasan dengan 10 negara, 9 negara dan antardaerah belum disepakati batas wilayah laut. Sehingga, diperlukan adanya tata ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil. "Kita baru mencapai kesepakatan batas wilayah dengan Australia)," kata dia.


Untuk itu, kata Ida, saat ini, Indonesia sudah memiliki UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PPK). Undang-undang tersebut mengamanatkan asas pengelolaan wilayah pesisir dan PPK.


Asas pengelolaan meliputi berkelanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan. Sedangkan proses peneglolaan wilayah pesisir meliputi perencanaan pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian, serta pengelolaan terpadu.


Ida menjelaskan pengelolaan terpadu, yaitu mengintegrasikan kegiatan antara pemerintah dengan pemerintah daerah, antarpemerintah daerah, antar sektor, antara dunia usaha dan masyarakat, antara ekositem daratan dan lautan, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen, sesuai dengan pasal 6 UU No. 27/2007.


"Dengan adanya perencanaan penataan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang baik, 50 persen adalah keberhasilan. Namun, kita terkadang sepotong-sepotong dalam membuat perencanaan. Sehingga, hasil yang didapat dalam penataan tersebut menjadi tidak terarah," kata dia.


Ida menjelaskan Bandar Lampung merupakan satu dari enam kabupaten/kota se-Indonesia yang dipilih menjadi objek perencanaan kawasan pesisir oleh pemerintah pusat. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah mencanangkan penyelamatan kawasan pesisir di Bandar Lampung beberapa hari lalu, di PKOR Way Halim.


"Tinggal, bagaimana kita memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan berkelanjutan," kata dia.


Sementara, tenaga ahli Pemkot Prof. Ali Kabul Muhi mengatakan berdasarkan kondisi dan potensi sumber daya pesisir dan laut Bandar Lampung, maka rencana zonasi terdiri dari zona pemanfaatan umum, zona pemanfaatan khusus, zona konservasi, dan zona alur.


"Zona-zona tersebut tersebar di 15 lokasi yang memiliki nilai-nilai sumber daya, sasaran pengelolaan, usulan pemanfaatan zona, sampai usulan penggunaan zona yang diperbolehkan," kata Ali Kabul.


Ali Kabul juga mengatakan zonasi wilayah pesisir Kota Bandar Lampung bertujuan untuk mengatasi konflik pemanfaatan sumber daya saat ini, melalui arahan pemanfaatan jangka panjang, arahan pembangunan dan pengelolaan seluruh sumber daya yang terdapat di wilayah rencana.


"Dengan kata lain, tujuan dari penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir terpadu Kota Bandar Lampung adalah membagi wilayah pesisir yang sesuai dengan peruntukannya, penempatan kegiatan-kegiatan yang saling mendukung dan memisahkan kegiatan yang saling bertentangan," kata dia. n KIM/K-1

DANA RP 71,8 MILIAR UNTUK PERKUAT EKONOMI MASYARAKAT PESISIR

Tanggal : 19 Desember 2007
Sumber : http://www.depkominfo.go.id/portal/index.php?act=detail&mod=berita&view=1&id=BRT061219165601


Jakarta,19/12/2006 (Kominfo-Newsroom) – Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memberikan penguatan ekonomi masyarakat pesisir dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp71,8 miliar melalui pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Samudera di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

“Daerah ini memiliki potensi yang sangat besar dan diyakini mampu untuk dapat menjadi penggerak perekonomian daerah,” kata Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi Departemen Kalautan dan Perikanan, Saut P .Hutagalung, di Jakarta, Selasa (19/12).

Untuk itu pada tahun 2006 DKP telah mengalokasikan anggaran ke Prov. Sumatera Barat sebesar Rp71,8 miliar terdiri dari dana dekonsentrasi Rp19,1 miliar, dana alokasi khusus untuk pembangnan kelautan dan perikanan di 18 kab/kota Rp26,77 miliar dan pinjaman luar negeri untuk kegiatan MCRMP dan Coremap Rp9 miliar serta alokasi untuk unit teknis seperti SUPM Pariaman, PPS Bungus dan UPT Karantina Ikan Rp16,93 miliar.

Saut P Hutagalung menambahkan, khusus untuk Kabupaten Pesisir Selatan, pada tahun 2007 DKP mengalokasikan anggaran pembangunan kelautan dan perikanan sebesar Rp3,8 miliar diperuntukkan pada kegiatan Perbaikan Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masayarakat (PLBPM), pemberdayaan ekonomi masyarakat, kegiatan budidaya, dan konservasi lingkungan laut.

BPR Samudera ini merupakan salah satu unit usaha simpan pinjam masyarakat pesisir yang berfungsi sebagai intermediasi lembaga perbankan dengan masyarakat pesisir.

Kehadiran BPR Pesisir diharapkan mampu menjadi salah satu tonggak kebangkitan ekonomi rakyat menuju kesejahteraan dan kemandirian masyarakat pesisir. BPR Pesisir ini telah diinisiasi sejak tahun 2003 dan bekerjasama dengan PT. Permodalan Nasional Madani (PNM) sebagai konsultan pendampingnya. Hingga saat ini telah berdiri 9 buah BPR Pesisir di seluruh Indonesia.

Program penguatan perekonomian masyarakat juga dilakukan DKP melalui pembangunan dan pengembangan Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP–M3). LEPPM-3 merupakan lembaga pengelola dana bergulir melalui kegiatan simpan pinjam.

Saat ini telah berdiri 278 LEPPM-3 di seluruh Indonesia. Selain membangun lembaga tersebut, dalam memperkuat ekonomi masyarakat pesisir, DKP juga membangun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Swamitra Mina melalui kerjasama dengan Bank Bukopin, Bank Syariah Mandiri dan PT. Permodalan Nasional Madani (PT. PNM). Hingga tahun 2006, DKP telah mendirikan 242 LKM Swamitra Mina.

“Selain meningkatkan akses kepada pihak perbankan, DKP juga berupaya untuk menekan biaya operasional melaut,” kata Saut.

Hal ini dilakukan melalui pendirian Kedai Pesisir. Kedai ini bertugas untuk menyediakan segala kebutuhan nelayan baik kebutuhan sehari-hari maupun dalam penyediaan perlengkapan untuk melaut dengan harga yang terjangkau.

DKP melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) sejak tahun 2001. Pada tahun 2006 telah mengucurkan dana sebesar Rp132,4 miliar untuk program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP).

Dana tersebut digunakan untuk tiga program utama, yakni; penguatan modal di 111 kabupaten/kota, pembangunan fasilitas kedai pesisir di 53 kabupaten/kota, dan pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) di 51 kabupaten/kota. (T.Bhr/toeb)

Partisipasi Perempuan Diperlukan Dalam Mengurangi Kemiskinan

Tanggal :19 Desember 2007
Sumber : http://www.dkp.go.id/content.php?c=4748


Dari Workshop Peningkatan Partisipasi Perempuan Pesisir

Belum lama ini di jakarta telah diselenggarakan Work Shop Peningkatan Partisipasi perempuan Pesisir selama empat hari di wisama PKBI. Hal ini dimaksudkan untuk bagaimana memaksimalkan peran sosial perempuan pesisir dalam mendukung pembangunan kelautan dan perikanan.

Disadari bahwa sampai saat ini peran perempuan sangat strategis dalam pembangunan nasional, khususnya dalam upaya memberikan kesejahteraan di tingkat rumah tangga. Perannya tak tergantikan sebagai ibu bangsa yang jumlahnya hampir setengah dari jumlah penduduk Indonesia, yang sangat potensial sebagai sumberdaya pembangunan. Kedua peran perempuan tersebut masing-masing memerlukan pengetahuan, keterampilan, kesehatan jiwa raga serta wawasan kebangsaan, kebudayaan, keagamaan dan etika agar sebagai ibu bangsa dapat melahirkan generasi penerus yang berkualitas dan sebagai sumberdaya pembangunan yang mampu menjadi tenaga kerja yang professional dan produktif. Dalam kaitan itu maka pemberdayaan perempuan merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Kesejahteraan rumah tangga terpenuhi maka kemiskinan bangsa pun akan teratasi.

Pemerintah bertekat untuk mempercepat pencapaian penurunan prosentase penduduk miskin menjadi 8,2% pada akhir 2009. Seperti yang tercantum pada RPJMN 2004 – 2009. Sementara itu, MDGs menargetkan prosentase penduduk miskin Indonesia menjadi 7,5 % pada tahun 2015. Untuk mencapai target tersebut langkah-langkah kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah mencakup pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin atas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar, perlindungan social dan peningkatan kesempatan berusaha dengan bertumpuh pada aspek pendataan, pendanaan dan kelembagaan

Khususnya dalam menanggulangi kemiskinan di wilayah pesisir, pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan tidak berdiam diri dalam upaya pemberantasankemiskinan. Berbagai hal telah dilakukan. Antara lain memberikan pelatihan dan workshop Peningkatan Partisipasi Perempuan Pesisir.

Kegiatan workshop Pemberdayaan Masyarakat Pesisir melalui Pengembangan Partisipasi Perempuan Pesisir bertujuan : (1). Mengembangkan partisipasi perempuan pesisir, agar mereka lebih pro-aktif dalam mendukung upaya-upaya pembangunan masyarakat pesisir secara komprehensif; (2). Meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam berusaha dan meningkatkan akses perempuan ke sektor permodalan; dan (3). Sebagai media untuk meningkatkan wacana perempuan pesisir

Dengan demikian diharapkan lahirnya perwakilan dari berbagai lembaga pelaksana atau konsultan pelaksana yang akan melaksanakan kegiatan perempuan berbasis sumber daya kelautan di wilayah pesisir.

Workshop ini diselenggarakan selama 4 (empat hari), dari tanggal 17 – 20 April 2007 di Wisma PKBI, Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Peserta berasal dari Lembaga Pelaksana atau Konsultan Pelaksana yang merupakan perwakilan dari 93 Kabupaten/Kota di Seluruh Indonesia. Dari masing-masing Kabupaten/Kota, diwakili oleh 1 orang dari lembaga pelaksana/Konsultan Pelaksana..

Menurut peserta dari Banyuasin pelaksanaan workshop ini menambah wawasan tentang peran perempuan dalam pembangunan nasional, khususnya bagi kita di pesisir. Hal ini diungkapkan karena telah dibekali beberapa materi yang dibawakan oleh tokoh pahlawan perempuan seperti , Ibu Khofifah Indar Parawansa dan dari Kementerian Pemberdayaan Permuan turut membangkitkan semangat agar kita perempuan jangan berdiam diri.

Dari hasil presentasi dan diskusi yang telah dilaksanakan pada acara Workshop Pengembangan Partisipasi Perempuan Pesisir, telah dihasilkan beberapa rumusan yang merupakan output dari pelaksanaan kegiatan workshop Pengembangan Partisipasi Perempuan Pesisir, sebagai berikut :

  • Diperlukan suatu kebijakan dan program pembiayaan, KUMK yang berbasis gender sehingga mampu memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam menjembatani pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan lembaga keuangan khususnya perbankan
  • Perlunya penerapan iptek dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan sehingga perempuan pesisir mampu meningkatkan kemampuan manajerial, ketrampilan dan produktivitas dalam pemanfaatan sumberdaya.
  • Perlunya koordinasi mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasi karena program pembangunan perempuan pesisir merupakan program lintas bidang.
  • Perlu adanya database tentang perempuan pesisir sehingga dapat diidentifikasi pokok-pokok persoalan yang dihadapi perempuan pesisir di Indonesia
  • Perlunya diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada perempuan pesisir dalam memperoleh akses, manfaat, serta keikutsertaan dalam berbagai jenis program pendidikan agar kesenjangan gender dapat dihilangkan
  • Program pemberdayaan masyarakat pesisir melalui pengembangan partisipasi perempuan pesisir perlu dipusatkan di satu desa lokasi dalam Kabupaten/Kota.
  • Perlunya dibangun jejaring perempuan pesisir di tingkat lokal agar perempuan pesisir memiliki akses terhadap informasi baik terhadap program-program DKP maupun terhadap program-program sejenis di luar DKP (BT)

Sumber : Direktorat PEMP Ditjen KP3K

Kedai Pesisir, Tingkatkan Kesejahteraan Nelayan

Tanggal : 12 Desember 2007
Sumber : http://www.beritabali.com/?reg=&kat=&s=news&id=200712120001

Denpasar, Keberaadan Nelayan di Kota Denpasar terus mendapat perhatian dari Pemkot Denpasar, kehidupannya yang masih jauh dari sejahtera terus diberdayakan dengan memberikan sejumlah bantuan, salah satunya adalah pembangunan Kedai Pesisir yang peresmiannya dilakukan oleh Sekkot Denpasar Drs. Nyoman Aryana, Msi. Mewakili Walikota Puspayoga Rabu (12/12) di pantai Matahari Terbit Desa Sanur Kaja.

Peresmian Kedai Pesisir ini juga dihadiri Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Bali Ir. IB. Wisnawa Manuaba Msi., Kadis Pertanian dan Kelautan Kota Denpasar Ir. Nengah Udiarsa, Msi. serta para Nelayan di Desa Sanur Kaja.

Kedai yang dikelola Kelompok Nelayan Mina Sari Asih menyediakan berbagai keperluan nelayan untuk penangkapan ikan serta kebutuhan sembako. Sekkot Aryana mengatakan dengan dibangunnya kedai pesisir akan menjamin ketersediaan kebutuhan pokok dan melaut bagi masyarakat pesisir dengan harga yang relatif murah.

Dia mengatakan Pemkot Denpasar melalui Dinas Pertanian dan Kelautan telah mengambil berbagai kebijakan untuk memberdayakan masyarakat pesisir, diantaranya melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP).

“Program ini telah berjalan sejak tahun 2001, dan tahun ini sudah memasuki periode ketiga, dimana periode ini merupakan periode diversifikasi usaha dari program PEMP,” kata Aryana.

Program Kedai Pesisir lanjut Aryana diimplementasikan untuk menjawab permasalahan masyarakat pesisir seperti sulitnya mendapatkan alat-alat penangkapan ikan, disamping jarak yang cukup jauh juga harga yang relatif lebih mahal.

“Dengan adanya kedai pesisir ini yang dikelola oleh kelompok nelayan tentu tidak terlalu sulit untuk mendapatkan alat-alat melaut disamping dari segi harga juga dapat ditekan,” ujar mantan Kadis Capil ini.

Ia mengharapkan dengan Kedai ini kehidupan para nelayan dapat berkembang sehingga memotivasi semangat kerja nelayan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Sementara itu Kadis Pertanian dan Kelautan Kota Denpasar Ir. Nengah Udiarsha mengatakan pengadaan pembangunan kedai pesisir beserta kelengkapannya ini merupakan sinergi antara pemerintah pusat melaui Departemen Kelautan dan Perikanan
dengan Pemkot Denpasar.

Pembangunan kedai pesisir ini kata Udiarsha menghabiskan biaya sebesar 350 juta rupiah. Untuk Kota Denpasar demikian Udiarsha sudah dibangun dua kedai pesisir, satunya lagi di Kelurahan Serangan yang dibangun tahun 2005 lalu.

Manjer Kedai Pesisir Made Ade mengaku bersyukur atas bantuan yang diberikan oleh pemerintah, “Dengan adanya kedai ini akan sangat membantu masyarakat nelayan dalam memenuhi kebutuhanya. Kami berharap mudah-mudahan dengan kedai ini kehidupan para nelayan dapat lebih sejahtera,” katanya.

Bupati Mamuju Serahkan Bantuan Kepada Nelayan

Tanggal : 12 Desember 2007
Sumber : http://www.mamujukab.go.id/view.php?id=114


Dalam rangka peningkatan produktifitas masyarakat pesisir Bupati Mamuju Drs. H Suhardi Duka memberikan bantuan senialai ratusan juta rupiah untuk para nelayan dan para petani keramba se-Kabupaten Mamuju yang dipusatkan di Lingkungan Tanjung Batu Kelurahan Sumare. (05/12).

Sebagai leading sektor kegitan ini, Kepala Bappeda Drs. Ramli Abdullah MM, menjelaskan bahwa pembentukan kelompok usaha bersama (KUB) Budidaya karamba, KUB Budidaya Rumput laut, KUB Penangkapan ikan, dan KUB pengolahan Ikan sebagai anggota TP-UPP Kabupaten Mamuju pada kegiatan percepatan produksi serta percepatan pembangunan pusat pertumbuhan daerah tertinggal (P4DT) di Kabupaten Mamuju, adalah upaya untuk meningkatkan produktifitas masyarkat pesisir.

Berdasarkan surat keputusan tim koordinasi dan pengendali, No. 050/74/V/2007/Bappeda pada tanggal 16 Mei 2007, maka usaha budidaya karamba mendapatkan alokasi bantuan sebesar 400 juta rupiah yang di sebar ke delapan kelompok. KUB ini di ketuai oleh Muh. Asdar yang membawahi anggota yang seluruhnya berada di kecamatan Simkep.

Sementara untuk KUB usaha Budidaya rumput laut dialokasikan dana sebesar 175 Juta untuk 14 kelompok. usaha penangkapan ikan sebanyak 7 kelompok dengan alokasi dana sebesar 196 Juta yang tersebar di 3 kecamatan yakni Kecamatan Mamuju, Simkep, dan Tapalang Barat.dan terakhir adalah usaha pengolahan ikan mendapat bantuan sebesar 29 Juta Rupiah.

Bantuan tersebut diserahkan langsung oleh Bupati Mamuju H Suhardi Duka MM, kepada masing masing ketua kelompok dilanjutkan dengan peninjauan langsung bantuan berupa kapal penangkap ikan, seraya berharap bahwa bantuan yang diberikan benar-benar digunakan guna kepentingan para petani nelayan yang ada di daerah pesisir sehingga nantinya dapat mengangkat derajat hidup kearah yang lebih baik.

Semarang: tambak terancam

Tanggal : 7 Desember 2007
Sumber : http://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2007/12/071207_studentssemarang.shtml


Mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang, mengunjungi kawasan pesisir yang sering tergenang air laut dan menilik pengaruhnya terhadap hasil tambak.

Mendengar nama Semarang, mungkin anda ingat bandeng prestonya. Namun puluhan hektar tambak di pesisir Semarang banyak yang rusak karena terjangan intrusi air laut atau yang disebut penduduk setempat sebagai "rob".

Hasil tambak penduduk di pesisir Semarang ini termasuk bandeng, gurame dan udang.

"Dulu banyak tambak di sini, tapi sekarang sudah banyak hilang karena banjir rob. Tambak ini hasilnya macam-macam, ada bandeng, udang.

Dulu banyak tambak di sini, tapi sekarang sudah banyak hilang karena banjir rob
Darmo, nelayan tambak di Semarang

"Ratusan hektar rusak karena rob," kata pak Darmo, nelayan di Tambak Lorok, salah satu kawasan tambak di pesisir Semarang kepada Clara Novita Anggraini dari Universitas Diponegoro.

Intrusi air laut ini, bagi para nelayan berarti bencana, karena penghasilan mereka tersapu banjir.

Masalah klasik

Rob sebenarnya merupakan masalah klasik yang sudah sejak dulu terjadi di Semarang.

Namun pakar lingkungan dari Univesitas Diponegoro, DR Robert Kodoatie mengatakan pemanasan global yang menyebabkan naiknya permukaan air laut akan menyebabkan rob bertambah parah.

Pemanasan global akan mempercepat tenggelamnya Semarang
DR Robert Kodoatie, pakar lingkungan Undip, Semarang

"Tanpa global warning (pemanasan global), permukaan akan turun terus sampai empat meter. Kalau Semarang tenggelam, khususnya daerah rob, perkiraannya, ya.

"Kapan? Dihitung saja, ada kawasan yang turun 10 cm pertahun, jadi untuk 10 tahun ke depan, tinggal dihitung saja.

"Dengan global warming akan tambah parah. Permukaan air laut jadi tambah tinggi, dan mempercepat Semarang tenggelam," kata Robert Kodoatie.

Rob memang bukan hanya merugikan para nelayan.

Rob yang setiap hari bertambah parah ini juga mengakibatkan terganggunya aktivitas masyarakat kota Semarang dan sekitarnya. Salah satunya adalah kemacetan jalur pantai utara Jawa.

Di kawasan yang tergenang ini, selain pasar, ribuan rumah penduduk, juga terdapat sejumlah fasilitas umum lain, seperti sekolah, dan pusat kesehatan masyarakat. Kesehatan penduduk juga terancam.

Tambak rusak

Pemerintah kota harus melakukan penyemprotan rutin, karena genangan air yang terjadi merupakan ancaman dalam bentuk berbagai penyakit, terutama penyakit kulit dan demam berdarah.

Ida Purnomowati dari Dinas Kelautan dan Perikanan, DKP, Kota Semarang mengatakan banyak tambak yang rusak di kawasan pesisir Semarang.

"Di daerah kecamatan Tugu saja ada kurang lebih 110 hektar, tambak yang tidak dapat difungsingkan lagi untuk tahun 2006-2007. Ini tentunya memprihatinkan," kata Ida Purnomowati dari Dinas Kelautan dan Perikanan, DKP.

Untuk menangani rob, Ida Purnomowati mengatakan pihaknya melakukan gerakan bersih pantai dan laut. Selain untuk mengatasi dampak rob di pantai, kata Ida, langkah itu juga menangani dampak rob di daratan.

Namun, Robert Kodoatie menilai sampai saat ini belum ada langkah yang jelas untuk menangani rob.

Di kecamatan Tugu saja, 110 hektar tambak tidak dapat difungsikan lagi
Ida Purnomowati, Dinas Kelautan dan Perikanan Semarang

"Persoalan ini kan sudah lama, tetapi belum ada cara yang tepat untuk menanganinya. Masih mempertahankan sistem lama, dengan melakukan drainase ke laut, padahal permukaan air laut sekarang lebih tinggi. Jadi kan sulit," kata Robert.

Di kawasan tambak sendiri, para nelayan banyak yang mencari pekerjaan lain untuk menyambung hidup, karena banjirnya tambak mereka.

"Kalau seperti saya, bisa ngelas atau konstruksi, ya saya kerjakan. Kalau tidak punya ketrampilan, ya jadi tukang batu atau ngenek," kata Doyok, seorang penduduk di Tambak Lorok.

Pemerintah kota sendiri, kata Ida Purnomowati, antara lain mencoba memperkenalkan diversifikasi usaha kepada para nelayan tambak.

"Kami mencoba memperkenalkan budidaya lain ke para nelayan. Kami pernah ajak nelayan tambak untuk melakukan budidaya rumput laut. Ini salah satu alternatif lain, karena rusaknya tambak akibat rob," kata Ida.

Data resmi menunjukkan 70% produksi bandeng bukan lagi dari Semarang.

Akankah Semarang kehilangan bandeng prestonya suatu saat nanti?

Potensi Tak Berkembang, Masyarakat Tetap Tertinggal

Tanggal : 4 Desember 2007
Sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&dn=20071204140236

KabarIndonesia - Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Ketapang Drs. Hasurungan Siregar ditemui di ruang kerjanya saat mempersiapkan penyelenggaraan Hari Bahari Nusantara tahun 2007 mengungkapkan bahwa, Kabupaten Ketapang merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak pulau, pesisir dan lautan. Pembangunan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil adalah adanya dinamisasi dan tuntutan dunia internasional untuk menjaga keanekaragaman hayati Indonesia.

"Melalui Hari Bahari Nusantara tahun 2007 ini kita perlu mensosialisasikan dan memperkenalkan kepada masyarakat tentang, pentingnya pelestarian sumberdaya alam laut, pesisir dan pulau-pulau kecil," katanya menurut Siregar, pembangunan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil selama ini memang didasarkan adanya isu-isu strategis. Isu-isu tersebut diantaranya adalah masalah kemiskinan masyarakat pesisir, konflik penggunaan ruang, penurunan kualitas lingkungan pesisir, potensi sumberdaya pulau-pulau kecil yang belum dimanfaatkan secara optimal, penanganan pulau-pulau di daerah perbatasan serta pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan yang belum optimal. "Sebenarnya kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sejatinya merupakan kawasan yang secara hayati sangat produktif, "Sangat mengenaskan ibarat tikus yang mati di lumbung padi. Para masyarakat pesisir tersebut menderita kemiskinan di daerah yang sebenarnya mempunyai potensi besar untuk peningkatan taraf hidup mereka. Hal ini disebabkan karena rendahnya kualitas SDM, terbatasnya akses terhadap sumber modal, teknologi, informasi dan pasar serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan alokasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil" lanjutnya.

Para nelayan kecil menurutnya sangat rentan terhadap eksternalitas sektor ekonomi seperti penurunan produktivitas ikan akibat eksploitasi berlebihan atau kerusakan ekosistem. Perilaku konsusmtif dari sebagian nelayan juga mem-persulit upaya pengentasan kemiskinan. Selama ini masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdiri dari nelayan, pembudidaya, pemasaran ikan dan pengolah hasil laut, serta masyarakat pesisir lainnya menggantungkan kehidupannya dari sumber daya kelautan dan perikanan.

Pemerintah Berdayakan Nelayan Korban Gempa dan Tsunami

Tanggal : 03 Desember 2007
Sumber : http://www.tempointeractive.com/hg/nusa/jawamadura/2007/12/03/brk,20071203-112772,id.html

TEMPO Interaktif, Yogyakarta:
Untuk kembali memulihkan aktifitas kepariwisataan di daerah yang terkena bencana gempa bumi dan tsunami di Daerah Istimewa Yogyakarta 27 Mei 2006 serta tsunami di pantai Selatan Jawa 17 Juli 2006, maka Departemen Kebudayaan dan Pariwisata terus mendorong upaya pemberdayaan masyarakat dan nelayan di sekitar daerah bencana.

Hal ini sekaligus dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan melalui pemulihan dan pengembangan usaha-usaha ekonomi masyarakat tersebut. Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Depbudpar Sambujo Parikesit mengatakan kegiatan pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan paska gempa dan tsunami di pantai selatan Jawa dilaksanakan di tiga lokasi yaitu Pantai Depok, Bantul Yogyakarta, Pantai Teluk Penyu Cilacap serta Pantai Pangandaran di Ciamis.

"Kegiatan pelatihan dan pemberdayaan ini kita laksanakan di tiga lokasi yaitu pantai Depok, Teluk
Penyu dan Pangandaran," kata Sambujo dalam Pembukaan Pelatihan Usaha warung makan di pantai Depok Bantul Yogyakarta, Senin (3/11).

Menurut Sambujo, target sasaran pelatihan pemberdayaan di pantai Depok adalah pelaku usaha warung makan dan fokus materi pelatihan yaitu diversifikasi menu dan bahasa Inggris. Sementara untuk Teluk Penyu, sasaran pelaku usaha pengolahan ikan dengan fokus materi pelatihan desain kemasan dan pemasaran. Dan untuk pantai Pangandaran dengan target sasaran pelaku usaha konveksi dengan fokus materi pelatihan desain produk konveksi dan pemasaran.

"Di pantai Depok ini baru yang pertama kali, nanti berlanjut ke Cilacap dan Ciamis," tambah Sambujo di
hadapan peserta pelatihan. Sambujo menambahkan, untuk pelatihan usaha warung makan di Depok ini akan berlangsung dari 3-4 Desember, 7 Desember di Cilacap dan 11-12 Desember di pantai Pangandaran. Ia menegaskan dilakukannya pelatihan ini dapat membangkitkan motivasi dan semangat masyarakat pelaku usaha kecil dan menengah yang terkait dengan pariwisata di lokasi yang terkena
dampak bencana. Mereka diharapkan dapat tetap optimis dan mengembangkan kreatifitas serta inovasi dalam mengelola dan mengembangkan usahanya.

"Dengan demikian semoga tahun 2008 depan bertepatan dengan Visit Indonesia Year kita sudah siap segalanya. Dan target 7 juta wisatawan mancanegara seperti yang kita harapkan akan bisa tercapai," tegasnya.

Pemerintah Berdayakan Nelayan Korban Gempa dan Tsunami

Tanggal : 03 Desember 2007
Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2007/12/03/brk,20071203-112772,id.html

TEMPO Interaktif
, Yogyakarta:

Untuk kembali memulihkan aktifitas kepariwisataan di daerah yang terkena bencana gempa bumi dan tsunami di Daerah Istimewa Yogyakarta 27 Mei 2006 serta tsunami di pantai Selatan Jawa 17 Juli 2006, maka Departemen Kebudayaan dan Pariwisata terus mendorong upaya pemberdayaan masyarakat dan nelayan di sekitar daerah bencana.

Hal ini sekaligus dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan melalui pemulihan dan pengembangan usaha-usaha ekonomi masyarakat tersebut. Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Depbudpar Sambujo Parikesit mengatakan kegiatan pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan paska gempa dan tsunami di pantai selatan Jawa dilaksanakan di tiga lokasi yaitu Pantai Depok, Bantul Yogyakarta, Pantai Teluk Penyu Cilacap serta Pantai Pangandaran di Ciamis.

"Kegiatan pelatihan dan pemberdayaan ini kita laksanakan di tiga lokasi yaitu pantai Depok, Teluk Penyu dan Pangandaran," kata Sambujo dalam Pembukaan Pelatihan Usaha warung makan di pantai Depok Bantul Yogyakarta, Senin (3/11).

Menurut Sambujo, target sasaran pelatihan pemberdayaan di pantai Depok adalah pelaku usaha warung makan dan fokus materi pelatihan yaitu diversifikasi menu dan bahasa Inggris. Sementara untuk Teluk Penyu, sasaran pelaku usaha pengolahan ikan dengan fokus materi pelatihan desain kemasan dan pemasaran. Dan untuk pantai Pangandaran dengan target sasaran pelaku usaha konveksi dengan fokus materi pelatihan desain produk konveksi dan pemasaran.

"Di pantai Depok ini baru yang pertama kali, nanti berlanjut ke Cilacap dan Ciamis," tambah Sambujo di hadapan peserta pelatihan.

Sambujo menambahkan, untuk pelatihan usaha warung makan di Depok ini akan berlangsung dari 3-4 Desember, 7 Desember di Cilacap dan 11-12 Desember di pantai Pangandaran. Ia menegaskan dilakukannya pelatihan ini dapat membangkitkan motivasi dan semangat masyarakat pelaku usaha kecil dan menengah yang terkait dengan pariwisata di lokasi yang terkena dampak bencana. Mereka diharapkan dapat tetap optimis dan mengembangkan kreatifitas serta inovasi dalam mengelola dan mengembangkan usahanya.

"Dengan demikian semoga tahun 2008 depan bertepatan dengan Visit Indonesia Year kita sudah siap segalanya. Dan target 7 juta wisatawan mancanegara seperti yang kita harapkan akan bisa tercapai," tegasnya.

DKP SERTIPIKASI HAK ATAS TANAH NELAYAN


Tanggal : 21 November 2007
Sumber : http://www.suara-daerahonline.com/rubrik_daerah2.php?id=312


16/11/07 - Siaran Pers: Utama
DKP SERTIPIKASI HAK ATAS TANAH NELAYAN
No. 82/PDSI/XI/2007

Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan usaha-usaha ekonomi produktif bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir yang selama ini mengalami kendala akibat minimnya akses permodalan, perlu ada solusi salah satunya melalui program sertipikasi hak atas tanah. Program ini mempunyai tujuan agar membantu nelayan dan usaha perikanan memperoleh kepastian hukum terhadap aset tanah yang dimiliki. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi pada acara Penandatanganan Naskah Kesepakatan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Gedung Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta (15/11/07)

Lebih lanjut Menteri mengatakan bahwa sebuah ironi apabila ditengah melimpahnya sumberdaya kelautan dan perikanan, masih terdapat masyarakat yang tidak mampu memberdayakan dirinya untuk meraih kesejahteraan hidup yang lebih baik. Untuk itu, perlu dilakukan upaya untuk mendorong dan memotivasi para pelaku usaha perikanan skala kecil mengaktualisasi diri secara mandiri dalam penciptaan dan pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif.

Dengan kegiatan sertipikasi hak atas tanah, para nelayan dan usaha perikanan skala kecil diharapkan memiliki aset berupa tanah dengan status kepemilikan yang sah serta dapat mendayagunakan aset tersebut sebagai agunan untuk memperoleh modal usaha dalam untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Kegiatan sertipikasi hak atas tanah memberikan peningkatan kepastian hukum bagi para nelayan karena memiliki beberapa manfaat, antara lain: mengurangi potensi hilangnya aset tanah milik nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir akibat tidak adanya kepastian hukum atas kepemilikannya; meningkatkan kepastian berusaha dan memiliki tempat tinggal yang permanen, layak dan sehat; dan tanah merupakan aset yang dapat dijadikan jaminan (agunan) dalam mengakses sumber-sumber permodalan, khususnya kepada lembaga keuangan formal yang mensyaratkan adanya agunan bagi para debiturnya;

Kerjasama antara DKP dan BPN yang dilaksanakan hari ini ditandai dengan penandatangan naskah kerjasama antara kedua instansi. Pertama, kesepakatan bersama antara DKP dan BPN dalam rangka Pemberdayaan Nelayan dan Usaha Perikanan Skala Kecil untuk Peningkatan Akses Permodalan melalui Sertipikasi Hak Atas Tanah, yang ditandangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI. Kedua, perjanjian kerjasama antara Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap - DKP dan Deputi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat - BPN dalam rangka Pemberdayaan Nelayan dan Usaha Penangkapan Skala Kecil untuk Peningkatan Akses Permodalan melalui Sertipikasi Hak Atas Tanah, yang ditandangani oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dengan Deputi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Dalam tahap awal, kegiatan fasilitasi sertipikasi hak atas tanah khususnya bagi nelayan akan dilaksanakan di 5 (lima) provinsi, yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat yang dimulai pada awal tahun 2008. Kegiatan tersebut dimulai dengan proses identifikasi nelayan peserta program dan bidang tanah hak milik mereka. Pada tahun 2009 akan dilaksanakan kegiatan sertipikasi dengan target sebanyak 1.500 bidang tanah (persil) milik nelayan. Selanjutnya pada tahun-tahun berikut target tersebut akan ditingkatkan dan pelaksanaannya diperluas untuk bidang-bidang tanah milik pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainnya. Dengan adanya kerjasama ini diharapkan akan mempermudah nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir untuk memperoleh modal kerja/usaha dan mendorong penciptaan dan pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif serta memperluas penyerapan lapangan kerja di sektor kelautan dan perikanan.

Jakarta, 15 November 2007
Plh. Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi

ttd

Sri Indrastuti, S.Pi


Meningkatkan Capacity Building Masyarakat Papua

Tanggal : 20 Nopember 2007
Sumber : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=314421&kat_id=443


Papua merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki kekayaan alam luar biasa, khususnya bahan tambang. Di pulau ini beroperasi sejumlah perusahaan tambang raksasa asing yang melakukan eksplorasi. Sayangnya, kekayaan alam tersebut belum berimbas pada kesejahteraan masyarakat di sana.


Yang bisa kita saksikan, kemiskinan dan keterbelakangan masih mengungkung masyarakat Papua. Menurut data BPS, tingkat kemiskinan di Papua mencapai lebih 40 persen. Jumlah ini lebih tinggi dari angka nasional yang mencapai 18 persen. Sangat ironis.


Melihat hal tersebut, berbagai pihak kini menaruh perhatian serius terhadap kondisi masyarakat di pulau ujung timur Indonesia itu. Sejumlah program pun diluncurkan untuk memberdayakan masyarakat Papua. Salah satu program yang sedang dilakukan saat ini adalah People Center Development Programme (PDP). Program ini dilaksanakan UNDP Indonesai bersama para mitra strategis, yaitu Pemda provinsi Papua dan Papua Barat, organisasi donor, serta organisasi masyarakat sipil seperti LSM.


Project Officer PDP, Alaysius Wiratmo, kepada Republika mengungkapkan, program ini dilakukan di enam Kabupaten Papua dan dua kabupaten di Papua Barat. Masing-masing kabupaten terdiri dari dua kecamatan atau distrik.


Mereka adalah Kecamatan Poom and Yapen Utara (Kabupaten Yapen); Pantai Timur dan Mamberamo Hulu (Kabupaten Sarmi); Kuala Kencana dan Mimika Timur Tengah (Kabupaten Mimika); Dekai dan Ninia (Kabupaten Yahukimo). Selain itu Tiom dan Bolakme (Kabupaten Jayawijaya); Kouh dan Mandobo (Kabupaten Boven Digoel); Waisay dan Teluk Manyalibit (Kabupaten Raja Ampat); serta Kokas dan Fak-fak Tengah (Kabupaten Fak-fak).


Tujuan utama program ini adalah peningkatan capacity building Pemda dan organisasi masyarakat sipil di Papua untuk pengentasan kemiskinan pada umumnya dan pencapaian Millenium Development Goals (MDG's). "PDP merupakan program yang berbasis masyarakat untuk pencapaian MDG's. Ada empat fokus utama yang dilakukan dalam program ini," ujarnya.


Menurut Wira, panggilan akrabnya, fokus utama tersebut adalah tentang kebijakan dan data-data pencapaian MDG's. Saat ini sudah mulai dilakukan sosialisasi tentang MDG's di Papua. Diharapkan Pemda dan organisasi masyarakat mengetahui tentang apa itu MDG's dan pencapaiannya.


Di sini juga ada data tentang kesehatan, seperti angka kematian ibu dan bayi, kasus malaria, dan kemiskinan. Data-data itu kini mulai diperbaharui. "Fokus kedua adalah menciptakan channel pelayanan kepada masyarakat yang berhubungan dengan pencapaian MDG's. Misalnya tentang perbaikan gizi dan air bersih. Di sini ada kerjasama yang erat antara Pemda di Papua dengan organisasi masyarakat seperti LSM," katanya menambahkan.


Fokus utama berikutnya, demikian jelas Wira, adalah monitoring dan evaluasi program-program untuk mencapai MDG's dan koordinasi diantara para pelaku pembangunan di Papua, para mitra, organisasi masyarakat, dan pemerintah pusat.


"Empat fokus utama itu tujuan akhirnya adalah meningkatkan capacity building Pemda dan organisasi masyarakat Papua untuk mengatasi kemiskinan dan mencapai poin-poin MDG's," terang Wira. Tahun 2007 ini, merupakan tahun pertama pelaksanaan program PDP di Papua. Diharapkan pada 2010 program ini bisa berakhir.


Pada tahun pertama ini, ujar Wira, ada beberapa kemajuan yang telah dicapai. Antara lain upgrade dan publikasi data sudah dilakukan. Sebanyak 12 organisasi kemasyarakatan juga sudah bergabung dalam program ini di berbagai bidang (kesehatan, pendidikan, dan sebagainya). Selain itu, kerangka kebijakan untuk monitoring dan evaluasi program juga sudah dikembangkan.


"Soal koordinasi juga sudah mulai dikembangkan.Misalnya lembaga terkait di sana sudah mulai satu atap sehingga memudahkan koordinasi. Juga koordinasi dalam hal pelaksanaan program untuk mengatasi kemiskinan antara Pemda Papua dengan pemerintah pusat," papar Wira.


Sampai saat ini, masih katanya, penerimaan dan animo masyarakat Papua terhadap program ini cukup bagus. Ini dibuktikan dengan keterlibatan mereka dalam pelaksanaan program.


"Tidak ada resistensi dari masyarakat. Tingkat penerimaan mereka juga cukup tinggi. Diharapkan setelah program selesai pada 2010, capacity building Pemda dan organisasi masyarakat di Papua bisa meningkat pesat. Sehingga angka kemiskinan bisa dikurangi dan MDG's bisa tercapai," kata Wira.


DKP DAN BPN KERJASAMA PENGEMBANGAN USAHA EKONOMI BAGI NELAYAN

Tanggal : 15 November 2007
Sumber : http://www.depkominfo.go.id/portal/index.php?act=detail&mod=berita&view=1&id=
BRT071115153601

Jakarta,(Kominfo-Newsroom) - Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengembangkan usaha-usaha ekonomi produktif bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir khsusunya di lima wilayah.

Melalui program sertifikasi tersebut diharapkan akses permodalan bagi nelayan akan lebih mudah.

“Sesuai hasil kerjasama dengan DKP, kami akan melakukan proses percepatan sertifikasi tanah bagi 1.500 nelayan dan masyarakat pesisir hingga akhir tahun, di lima propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung dan Nusa Tenggara Barat, “ kata Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto usai penandatanganan MoU naskah kesepakatan bersama antara DKP dengan BPN, di Gedung DKP Jakarta, Kamis (15/11).

Saat ini masih banyak aset nelayan yang mati karena tidak tersertifikasi, dan BPN bersama DKP akan melegalkan sertifikat itu, jadi mereka bisa mengembangkan usahanya. Pihaknya juga mengidentifikasi dan kemudian memproses percepatan penetapanya.

Nota Kesepahaman ini dasarnya adalah suatu pemikiran dimana berupaya pemerintah melakukan revitalisasi pertanian, perikanan, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menurutnya, saat ini 37,09 persen penduduk Indonesia miskin, dan itu kurang lebih 16 kali penduduk Singapura, bahkan 66 persen dari penduduk miskin ini adalah penduduk pedesaan, termasuk didalamnya adalah nelayan, masyarakat pesisir, dan pembudidaya perikanan.

“Dari 66 persen penduduk miskin di pedesaan, ternyata 90 persen diantaranya bekerja tetapi tetap miskin. Mereka sudah bekerja begitu keras tetapi ternyata tetap miskin, yang paling menonjol disitu adalah karena ternyata mereka tidak mempunyai akses yang nyata terhadap sumber-sumber ekonomi, terhadap tanah, terhadap modal, terhadap teknologi, “ujarnya.

Sementara mengenai akses tanah yang juga mempunyai implikasi terhadap akses-akses yang lain ada dua kelompok yakni, kelompok pertama, sebenarnya punya tanah, tetapi aset mati, bukan aset hidup yang bisa dimanfaatkan, karena tidak ada kejelasan status hukumnya yang bisa dimungkinkan tanah-tanah ini yang bisa digulirkan di dalam konteks ekonomi, dan yang kedua, memang semakin besar masyarakat Indonesia yang tidak memiliki tanah.

Dalam kerangka itu, BPN atas persetujuan Presiden sudah melakukan dua hal besar, yaitu melakukan reformasi agraria yang akan segera dilaunching, dimana pemerintah akan mengalokasikan tanah yang begitu besar untuk kepentingan masyarakat sekaligus mendapat aset-aset masyarakat, sekaligus memberikan akses kepada masyarakat untuk kehidupan ekonomi dan politiknya.

Sekarang ini BPN fokus secara khusus menggunakan anggaran publik dari APBN maupun APBD untuk melakukan percepatan sertifikasi tanah masyarakat, terutama masyarakat miskin di pedesaan, pesisir, dan nelayan.

Dari periode sebelumnya, target yang dikembangkan oleh pemerintah sebesar 88.000 bidang tanah dan mulai tahun 2007 ini BPN plot menjadi 1,3 juta bidang tanah, sementara untuk tahun 2008 menjadi 1,52 juta di lima wilayah, yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat

“Kami harap jajaran BPN bisa bekerjasama dengan DKP, apakah masyarakat pesisir dan nelayan bisa ikut dalam program kami ini. Dan inii seharusnya banyak masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir yang seharusnya bisa masuk, “ kata Joyo.

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengungkapkan, adalah sangat ironis bila di tengah melimpahnya sumber daya kelautan dan perikanan, tapi masih terdapat masyarakat yang tidak mampu memberdayakan dirinya untuk meraih kesejahteraan hidup yang baik.

“Kita berharap BPN segera mengeluarkan sertifikat, agar nelayan dapat punya akses untuk mendapatkan bantuan permodalan, “ kata Freddy.

Ini adalah langkah strategis yang bagus yang dapat di kerjakan bersama-sama dan dengan kerjasama bahu membahu ini bisa mengatasinya. “Masyarakat miskin kita di daerah terpencil belum tersentu dan terutama yang populasi terbesar di Jawa. Ini juga menjadi masalah tersendiri, pada saat kita ingin membantu di Banten mendirikan perumahan nelayan, pada saat di pelabuhan, itu tanah milik nelayan jadi masalah karena tidak ada sertifikat, “ ujar Freddy.

Oleh karena itu, DKP optimis hingga akhir tahun ini mampuh mensertifiaksi 1,3 juta tanah nelayan di lima provinsin tersebut, dengan harapan tanah permodalan bagi nelayan akan lebih mudah.

“Data DKP saat ini jumlah nelayan dan masyarakat pesisir di dalam negeri mencapai 10 juta orang. Saat ini, DKP tercatat baru mampu mensertifikasi sebanyak 3 juta sertifikat tanah milik nelayan dan masyarakat pesisir, “ jelasnya.

Ranperda Pembangunan Kawasan Pesisir Pantai Akhir 2007 Disahkan

Tanggal : 10 September 2007
Sumber : http://hariansib.com/2007/09/10/ranperda-pembangunan-kawasan-pesisir-pantai-akhir-2007-disahkan/

Medan (SIB)
Guna pemerataan pembangunan di Sumatera Utara, Pemprovsu saat ini fokus dengan pembangunan di kawasan pesisir. Bahkan Pemprovsu berkomitmen untuk membangun dan mengembangkan potensi kawasan pesisir dan pulau-pulau terluar di Sumut.

Untuk melakukan percepatan pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau terluar di Sumut, perlu dibuat Ranperda (Rancangan peraturan Daerah) sebagai payung hukum. Kini Ranperda tersebut telah digodok di Biro Hukum Setdaprovsu untuk selanjutnya dibahas di DPRD Sumut. Dan diharapkan tahun ini Perda mengenai wilayah pesisir pantai sudah disahkan.

“Pemprovsu sudah menyusun master plan Agromarinepolitan yang dituangkan dalam draft Ranperda tentang Pembangunan Kawasan Pesisir Pantai dan Pulau-pulau Terluar yang diharapkan akhir 2007 sudah disahkan menjadi Perda”, jelas Kepala Bappedasu Drs RE Nainggolan MM didampingi Kasubbid Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Sumut Ir Mulyadi Simatupang MSi kepada wartawan, akhir pekan lalu.

Menurutnya, penduduk miskin di pesisir di timur dan barat Sumatera Utara (terdiri dari 16 daerah), ternyata jauh lebih besar dibanding dataran tinggi yang meliputi 10 kabupaten/kota lainnya di Sumut. Kemiskinan di kawasan pesisir Sumut ini akibat tingkat pendidikan masyarakatnya masih kalah rendah dari pendidikan masyarakat yang berada di dataran tinggi.

Dijelaskan, Presiden RI memang sudah mengeluarkan UU RI Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Salah satu amanat dalam UU itu, kata Nainggolan adalah, kepada daerah diminta membuat dokumen rencana pengelolaan yang terdiri dari renstra dan rencana zonasi, rencana pengelolaan dan lainnya. Namun, khusus di wilayah Indonesia bagian barat UU ini belum diterapkan, sedangkan untuk Indonesia bagian Timur UU ini sudah berjalan.

Pada tanggal 29 Agustus hingga 1 September 2007 lalu, Pemerintah pusat melalui Bakosurtanal mengundang Pemprovsu untuk menggelar pameran di Jakarta Convention Centre yang dibuka oleh Menristek RI, Kusmayanto Kadiman. Pameran yang dilaksanakan Pemerintah Pusat ini hanya diikuti Sumut, Sulawesi Selatan dan Gorontalo dan perusahaan swasta lainnya. Selain itu, juga diundang peserta dari Thailand, Korea Selatan, Jepang dan Selandia Baru.

Dalam kesempatan itu, Pemprovsu memperkenalkan kegiatan dalam rangka sumber daya pesisir di Sumut seperti, program agromarine dan MCRMP (Marine and Coastal Resourses Management Project). Proyek MCRMP ini sebenarnya dilaksanakan di 15 provinsi di Indonesia dan 43 kabupaten/kota di Indonesia. Di Sumut, kegiatan MCRMP ini meliputi 3 kabupaten yakni, Asahan, Langkat dan Deliserdang sudah berjalan sejak tahun 2003 lalu.

Tujuan dari keseluruhan proyek MCRMP ini adalah untuk meningkatkan pengelolaan berkelanjutan sumber daya laut dan pesisir untuk melestarikan dan meningkatkan keanekaragaman hayati serta untuk melindungi lingkungan hidup dalam kerangka otonomi daerah. Sedangkan program agromarine tujuannya adalah lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir (16 daerah/kawasan pesisir) di Sumut yang sejak tahun 2006 lalu didah digalakkan.

Rencana membangun kawasan pesisir di Sumut sudah digalakkan melalui program agromarinepolitan, namun hanya sebatas bersifat instant, karena belum memiliki payung hukum. Diharapkan payung hukumnya akan disyahkan tahun ini, agar program pembangunan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.


Perlu Dukungan

Pada kesempatan itu Nainggolan menambahkan, selain mengutamakan pembenahan bidang pendidikan dan kesehatan, pemantapan rencana pembangunan kawasan pesisir Sumut melalui program agromarinepolitan juga perlu dukungan 16 kabupaten dan kota dimaksud.

Menurutnya, dukungan itu antara lain mempercepat pembuatan detail plan masing-masing wilayah kabupaten dan kota. Karena saat ini Pemprovsu sudah menyusun master plan agromarinepolitan yang dituangkan dalam draf Ranperda tentang Pembangunan Kawasan Pesisir Pantai dan Pulau-pulau Terluar yang diharapkan akhir 2007 sudah disahkan menjadi perda.

Karenanya, kata Nainggolan implementasi keberhasilan program agromarinepolitan yang menjadi tanggungjawab bersama 16 kabupaten dan kota, serta provinsi bisa memadukan antara perda-perda yang dimiliki daerah dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP). Karena tingkat pendidikan masyarakat pesisir rendah, maka pemanfaatan kekayaan SDA yang dimiliki menjadi tidak maksimal. “Sebagai contoh. Dari 140 juta penduduk Indonesia yang bermukim di wilayah pesisir, 80 persen di antaranya hidup dalam kemiskinan. Oleh sebab itu, membenahi pendidikan harus menjadi kata kunci dalam pembangunan kemasyarakatan Wilayah Pesisir Sumut,” tegasnya. (M3/m)

DKP dan Kemiskinan Nelayan

Tanggal : Rabu, 07 Nopember 2007
Sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/07/opi04.htm


SERING ada pertanyayaan menggelitik, bagaimana peran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sejak didirikan delapan tahun lalu oleh Presiden Abdurrahman Wahid? Sebab, jika dilihat sepintas, nasib nelayan kecil dan masyarakat pesisir tetap saja belum sejahtera. Bahkan sebagian besar masuk kategori miskin.


DKP yang resmi berdiri 26 Oktober 1999 memiliki misi, antara lain meningkatkan kesejahteraan nelayan, serta pembudi daya ikan dan masyarakat pesisir. Departemen baru itu juga akan meningkatkan peran sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.


Menyejahterakan nelayan dan memerdekaan masyarakat pesisir dari kemiskinan bukanlah semudah membalikkan tangan. Negeri ini sejak memproklamasikan kemerdekaan juga berupaya menyejahterakan rakyatnya. Toh, penduduk miskin jumlahnya masih saja naik-turun. Pada 1996 ada 22,5 juta orang, lalu naik menjadi 49,5 juta (1998). Hantaman krisis multidemensi yang dampaknya masih terasa, serta terjadinya bencana alam dan lainnya, menambah jumlah warga papa menjadi 36,1 juta orang (data BPS).


Dari warga yang masuk kategori miskin itu, di antaranya adalah nelayan dan kerabatnya yang berdiam di pesisir. Rasio mereka (nelayan dan keluarganya) bahkan ada yang menyebut mencapai 60% dari total penduduk miskin.


Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multidimensi, ditandai oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar mereka. Seperti kebutuhan sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi, dan permodalan, serta budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat nelayan semakin lemah.


Pada saat yang sama, kebijakan pemerintah belum seluruhnya menyentuh dan mampu memperbaiki kualitas hidup masyarakat pesisir, sebagai salah satu pemangku kepentingan di wilayah tersebut. Data pada Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) DKP menyebutkan latar belakang keterbatasan nelayan dan warga psisir, yakni tingkat pendidikannya rata-rata rendah. Bahkan sebagian tidak berpendidikan, sebagian besar waktunya dihabiskan di tengah laut, pada umumnya konsumtif, dan tidak mempunyai budaya menabung. Mereka sekadar hidup tanpa visi.


Program Khusus


Untuk mengentas kemiskinan, berbagai program telah dilakukan pemerintah. Misalnya Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil dan Nelayan (P4K), dan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program-program tersebut bersifat umum dengan sasaran masyarakat miskin secara keseluruhan, kecuali Program P4K, yang dalam pelaksanaannya juga sedikit sekali yang dapat menyentuh nelayan buruh.


Program yang agak khusus dalam rangka penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan DKP adalah Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program tersebut tidak hanya untuk nelayan, tapi juga masyarakat atau keluarga nelayan di pesisir.


Secara umum, berdasarkan evaluasi yang pernah dilakukan, pelaksanaan PEMP menunjukkan hasil cukup menggembirakan. Dilaporkan adanya peningkatan pendapatan nelayan peserta program. Selain itu terjadi penguatan kelembagaan nelayan. Lembada swadaya masyarakat (LSM) pemerhati pemberdayaan nelayan bermunculan. Di kalangan nelayan juga ada budaya hemat.


Dari warga yang masuk kategori miskin itu, di antaranya adalah nelayan dan kerabatnya yang berdiam di pesisir. Rasio mereka (nelayan dan keluarganya) bahkan ada yang menyebut mencapai 60% dari total penduduk miskin.


DKP telah mengeluarkan daftar Potensi Sumber Daya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB). Potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia sebesar 6,25 juta ton per tahun, terdiri atas 4,4 juta ton per tahun berasal dari perairan teritorial dan perairan wilayah, serta 1,85 juta ton per tahun dari perairan ZEEI. Namun demikian, karena manajemen perikanan menganut azas kehatian-hatian (precautionary approach), maka JTB ditetapkan sebesar 80% dari potensi tersebut.


Di lain pihak, jumlah nelayan Indonesia diperkirakan sekitar empat juta orang. Dengan berasumsi bahwa potensi ikan di perairan Indonesia sebesar 6,40 juta ton per tahun dan JTB sebesar 5,12 juta ton per tahun, maka produktivitas nelayan di Indonesia diperkirakan rata-rata sebesar 1,35 ton per orang per tahun atau ekuivalen 6,63 kg per orang per hari (lama melaut 200 hari dalam setahun).


Rendahnya produktivitas nelayan tersebut menyebabkan persaingan mendapatkan hasil tangkapan semakin lama semakin ketat, karena rezim pengelolaan sumber daya ikan bersifat terbuka (open access).


Dari berbagai pengamatan di sejumlah sentra nelayan dapat digambarkan secara umum, kemiskinan terjadi pada usaha perikanan rakyat. Hal itu biasanya berkait dengan adanya perbedaan upaya tangkap (effort), yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan teknologi penangkapan yang digunakan. Pada usaha perikanan rakyat, ukuran kapalnya lebih kecil dan teknologi penangkapan yang diterapkan sederhana.


Produktivitas yang rendah, juga mengakibatkan nilai produksi yang dihasilkan sedikit (jika diasumsikan bahwa harga adalah sama), sehingga pendapatan yang diterima nelayan juga rendah, baik melalui sistem bagi hasil maupun usaha yang dijalankan sendiri.


Nelayan pada umumnya tidak memiliki waktu untuk melakukan kegiatan atau usaha lain seperti pekerja di darat. Ironisnya, jika hasil tangkapan sedikit, terutama saat masa paceklik, nelayan tidak punya usaha lain.


Dalam kaitannya dengan mekanisme pasar, posisi tawar nelayan lemah. Untuk membeli kebutuhan peralatan dan perbekalan, mereka harus membeli dengan harga pasar. Dari sisi penjualan hasil tangkapan, harga jual ikan juga lebih banyak ditentukan oleh bakul. Nelayan juga dihadapkan pada kenyataan pahit saat pembagian keuntungan dengan pemilik unit penangkapan.


Sementara itu kelembagaan yang memperjuangkan nasib nelayan, banyak yang belum benar-benar menyentuh. Bentuk kelembagaan yang ada di pedesaan antara lain kelompok nelayan berdasarkan jenis alat tangkap, kelompok usaha bersama (KUB) berdasarkan kesamaan jenis usaha, koperasi unit desa (KUD) mina, dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).


Mempertimbangkan kenyataan bahwa sebagian besar armada perikanan berada di daerah padat penduduk, seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera, sehingga menyebabkan padat tangkap yang mengarah kepada over fishing, perlu dilakunan relokasi.


Dengan transmigrasi nelayan ke daerah perairan yang masih surplus, selain meningkatkan kesejahteraan, juga mengurangi konflik antarnelayan yang kerap terjadi.


DKP perlu lebih sering memberi bantuan dan bimbingan teknis. Dengan bantuan unit penangkapan, maka pendapatan mereka tidak lagi bergantung kepada bagi hasil yang diperoleh dari pemilik unit penangkapan, tapi juga langsung dari besarnya nilai penjualan hasil tangkapan yang diperolehnya.


Pemberian bantuan unit penangkapan juga harus disertai pendampingan manajemen. Itu mengingat selama ini nelayan terbiasa bertindak sebagai pelaksana atau operator saja. Segala kebutuhan yang harus dipersiapkan untuk dapat berangkat ke laut tidak pernah terpikirkan, karena biasanya disediakan oleh pemilik unit penangkapan.


Usaha Alternatif


Upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan adalah dengan mengembangkan usaha alternatif, misalnya di bidang budi daya dan pengolahan ikan. Dengan adanya usaha alternatif, diharapkan nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan, sehingga kebergantungan terhadap hasil tangkapan ikan dapat dikurangi, dan keinginan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya juga dapat ditekan.


Kembali kepada pertanyaan di awal tulisan ini. Sebenarnya DKP telah berbuat banyak. Bukan hanya kepada mereka yang melaut saja, tetapi masyarakat pesisir pun kini banyak yang lebih baik tingkat hidupnya. Di Lombok, misalnya, ada warga pesisir penghasil rumput laut untuk ekspor. Di daerah lain ada budi daya ikan tuna atau udang lobster.


Jika warga Karanganyar, Surakarta, berbisnis tanaman Anthorium, maka warga Sukabumi dan Subang, kini sedang gandrung kepada budi daya ikan nila. Mereka selain membesarkan juga mampu menjual untuk ekspor. Belum lagi industri dari hasil laut yang sedang digalakkan.


Melalui berbagai kebijakannya, DKP mampu meningkatkan hasil perikanan budi daya, perikanan tangkap, pengolahan dan pemasaran, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan, serta riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Begitu pula dalam pengembangan sumber daya manusia, karantina, pengawasan pembangunan dan tata pemerintahan yang baik, serta program penunjang lainnya untuk menunjang upaya pengurangan kemiskinan (pro-poor), penciptaan lapangan kerja (pro-job), mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth), dan mengembangkan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan (pro-business).


Dengan tata kelola kepemrintahan yang baik, ke depan menjadikan kelautan dan perikanan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi bukanlah hal mustahil. Laut Indonesia sangat luas, yaitu 5,8 juta km, dan di dalamnya terdapat 17.504 pulau dikelilingi garis pantai sepanjang 95.181 km. Di dalamnya memiliki kekayaan ekosistem yang sangat besar, sehingga menjadikan Indonesia sebagai megabiodiversity terbesar di dunia.(68)


- Wahyu Atmaji, wartawan Suara Merdeka di Jakarta.

Empat UU yang Menggerus Masyarakat Pesisir

Tanggal : 2 November 2007
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0711/02/opi01.html
Oleh : Muhamad Karim

Masyarakat pesisir secara geografis bermukim di wilayah pesisir, yakni daerah dimana masih dipengaruhi oleh dinamika lautan ke arah darat dan dinamika daratan ke arah lautan. Secara sosio-kultural, masyarakat pesisir sangat bergantung terhadap sumber-sumber ekonomi wilayah pesisir di lautan maupun daratan.

Di lautan mereka bergantung pada sumber daya kelautan seperti ikan, mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Sementara di daratan, mengandalkan sumber daya air, lahan untuk pertanian tanaman pangan, pertambakan, dan permukiman.

Dengan demikian, kedaulatan masyarakat pesisir adalah kedaulatan atas sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut. Sayangnya, kedaulatan itu kini tergerus oleh beberapa peraturan perundangan baik di daratan, perairan pesisir maupun perairan lepas pantai.

Terdapat empat peraturan perundangan yang berlaku di daratan maupun lautan yang menginjak kedaulatan masyarakat pesisir. Di daratan, pertama, UU No. 7 Tahun 2004 yang memprivatisasi sumber daya air di Indonesia.

Pasal-pasal dalam UU SDA memberi Hak Guna Air (HGA) untuk dikuasai pemodal asing (pasal 7, 8 dan 9). Bukankah UU ini menutup akses masyarakat pesisir (petani tambak) untuk mendapatkan “air” guna kegiatan pertambakan udang maupun ikan serta kebutuhan hidup sehari-hari? Tidak hanya itu, kegiatan pertanian di wilayah pesisir semacam persawahan pasang surut akan mengalami kesulitan air karena harus membeli dari pengusaha. Padahal sumber daya air merupakan barang publik yang harus dikuasai dan dilindungi oleh negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak (baca: Pasal 33 UUD 1945).

Kedua, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dimana Pasal 22 memberikan Hal Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) selama 80 tahun dan Hak Pakai 70 atas tanah kepada investor (domestik maupun asing) termasuk di wilayah pesisir. Padahal UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 saja hanya memberikan hak-hak semacam ini maksimal 30 tahun.

Akibatnya, lahan-lahan tambak produktif di wilayah pesisir Indonesia yang diperkirakan seluas 500.000 hektare akan dikuasai oleh pemilik modal (kapitalis). Bukankah hal ini merampas hak masyarakat pesisir untuk mengakses sumber daya tanah/lahan di wilayah pesisir?


Pasal Kontroversial

Di lautan, pertama, UU Perikanan No.31 Tahun 2004. Terdapat beberapa pasal kontroversial yang menutup akses masyarakat pesisir, yakni (i) Pasal 29 Ayat 2 yang memberi akses pihak asing menangkap ikan di perairan Indonesia; (ii) Pasal 36 tentang persyaratan kelengkapan pendaftaran kapal.

Pemberlakukan pasal ini telah memakan korban nelayan tradisional di Kabupaten Biak-Numfor yang ditangkap aparat tanpa alasan yang jelas, dan (ii) Pasal 37 tentang ketidakjelasan daerah dan jalur penangkapan ikan.

Ini berpotensi menimbulkan tindakan penyerobotan wilayah penangkapan perikanan pantai (artisanal) oleh kapal ikan asing maupun domestik yang modern. Gelagat konflik tak terhindarkan, bahkan sudah kejadian, antara nelayan Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan baru-baru ini.

Kedua, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Adanya Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22 tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) semakin ”mempergiat” pencabutan hak-hak masyarakat pesisir dalam mengakses sumber daya baik di permukaan laut, badan air maupun di bawah dasar laut.

Tidak ada lagi ruang bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan, petani ikan, pelaku UKMK kelautan dan buruh nelayan melakukan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir. Semua akses sumber daya kelautan praktis akan dikuasai pemilik modal. Hanya merekalah yang mampu memenuhi segala persyaratan yang diatur dalam UU itu. Masyarakat pesisir yang menjadi semakin miskin, hanya bisa menyaksikan eksploitasi dan degradasi sumber daya kelautan dan perikanan serta lingkungan pesisir yang tiada terkendali.

Diberlakukannya peraturan perundangan tersebut memberikan dampak terhadap perekonomian masyarakat pesisir yang dominan miskin. Dampaknya, pertama, akses masyarakat pesisir terhadap sumber daya ikan, air, lahan, hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan mineral di dasar lautan.

Sekalipun Pasal 61 UU Perikanan memberi kebebasan pada nelayan kecil dan Pasal 61 UU PWP3K mengakui hak-hak masyarakat adat, kearifan lokal, namun hal itu hanya ”retorika” semata. Sejatinya masyarakat miskin pesisir ini tidak mungkin dapat bersaing dengan pemilik modal besar.


”Judical Review”

Kedua, implementasi keempat UU ini berpotensi menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) antara pemilik modal dan pejabat berwenang dalam proses perizinan, pengendalian dan pengawasan baik di pusat maupun daerah. Bukan tidak mungkin, para pe-modal yang telah mengeksploitasi sumber daya ekonomi wilayah pesisir secara tidak bertanggung jawab akan dengan mudah menghindar dari hukuman akibat berkolusi dengan pejabat berwenang.

Ketiga, sumber daya ekonomi wilayah pesisir dapat diperjualbelikan dan dikuasai sekaligus dikontrol untuk bidang usaha tertentu, sehingga hanya segelintir pemilik modal yang mengelola dan memanfaatkannya. Sangat mustahil hal ini dapat dilakukan oleh masyarakat miskin di wilayah pesisir.

Keempat, terjadinya eksploitasi berlebihan. Siapa yang menjamin pemilik modal untuk mengontrol eksploitasi sumber daya ekonomi wilayah pesisir sementara sumber daya itu sudah kuasai dan kontrol penuh? Apalagi era otonomi daerah yang memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan pemilik modal baik asing maupun domestik.

Kelima, semakin meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran pada masyarakat pesisir akibat terbatasnya akses terhadap sumber-sumber ekonomi di wilayah ini. Berkembangnya aktivitas usaha ekonomi skala besar berbasiskan sumber daya ekonomi wilayah pesisir belum tentu akan menggunakan tenaga kerja lokal karena keterbatasan tingkat pendidikan dan kualitas SDM.

Kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi wilayah pesisir tidak bisa dirampas begitu saja dengan dalih pengaturan dan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan. Negara wajib melindungi dan mengakui kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut karena amanat konstitusi.

Pemerintah dan DPR wajib melakukan ”judical review” terhadap semua UU di atas karena sumber-sumber ekonomi yang diatur berupa barang publik (public goods) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bukan sebaliknya, mempertahankan semangat neo-liberalisme yang ditunggangi kepentingan asing pada semua peraturan perundangan tersebut. Apapun alasannya kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi di wilayah pesisir harus dipulihkan agar mereka tetap dapat memberdayakan diri dan meningkatkan kesejahteraannya.

Penulis adalah staf pengajar Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) TAZKIYA Bogor. Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Indonesia.