Pengentasan Kemiskinan yang Belum Diprioritaskan

Tanggal : 31 Mei 2007
Sumber: http://kennortonhs.wordpress.com/2007/05/31/pengentasan-kemiskinan-yang-belum-diprioritaskan-2/


Samin Jantan, 50. Penduduk desa Taiwan itu bekerja sebagai nelayan. Ia seorang penduduk miskin dari ratusan penduduk miskin yang ada di Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara (Sumut).


Desa tempat tinggalnya sekitar 70 kilometer dari Kota Medan, ibu kota Provinsi Sumut. Sejak kecil kehidupannya di tepi pantai pesisir Timur Kabupaten Serdang Bedagai. Pria berkulit hitam setinggi 160 meter berfostur sedang, itu telah melaut selama 30 tahun lebih.


“Sejak kecil saya tinggal di kampung ini. Kalau di rumah ini, kami tinggal setelah berkeluarga. Kami sudah tinggal puluhan tahun di sini,” kata pria berambut ikal dengan tipikal alis mata putih. Ia tinggal di sebuah rumah berukuran delapan meter persegi dengan dinding tepas. Atapnya rumbia. berlantai tanah. Penghasilannya tak mencukupi kebutuhan keluarga. Sebab ia baru bisa melaut kalau cuaca memungkinkan.


“Biasanya kalau cuaca bagus, tangkapan ikan lebih banyak. Itupun maksimal dapat Rp100 ribu per minggu. Kadang kalau badai, kami gigit jari. Hasil tangkapan ikan pun tak cukup membeli bahan bakar minyak (BBM). Kadang perkiraan kami meleset, kami perkirakan tak badai setelah di tengah laut ternyata badai,” katanya di Serdang Bedagai, Sabtu lalu.


Terdapat puluhan nelayan yang nasibnya hampir sama dengan Samin. Penghasilan mereka pas-pasan dan rumah mereka terbuat dari dinding tepas. Di tengah kemiskinan yang menimpa para nelayan itu, ada juga sejumlah rumah mewah beton yang menyilaukan bagi para nelayan.
Berdasarkan data Pemprov Sumut, terdapat sekitar 46.562 rumah tangga miskin atau sekitar 33,11 persen dari 140.623 rumah tangga yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai. Dengan jumlah penduduk miskin sekitar 74.710 jiwa atau sekitar 12.34 persen dari 605.630 penduduk kabupaten tersebut.


Penduduk di sepanjang pantai yang bekerja sebagai nelayan merupakan kantong-kantor kemiskinan di Sumut. Penduduk miskin juga menyebar di daerah-daerah (25 kabupaten/kota) lainnya di Sumut. Selain nelayan, penduduk miskin lainnya bekerja sebagai petani dan buruh perkebunan.


Jumlah penduduk miskin Sumut terus meningkat. Pada 2006 meningkat dari 1.806.060 jiwa menjadi 1.979.702 jiwa pada 2007. Saat ini (2007) penduduk miskin sekitar 15.66 persen dari total 12.64 juta jiwa penduduk Sumut.


Dari sudut jumlah, penduduk miskin terbanyak secara berurutan yaitu di Kabupaten Langkat (199.240 orang atau 19,65%), Kabupaten Simalungun (162.110 orang atau 19,39%), dan Medan (160.650 orang atau 7,77%).


Kalau dilihat dari persentase kemiskinan, kabupaten termiskin ialah Kabupaten Nias Selatan dengan persentase penduduk miskin sekitar 37.66% dengan jumlah rumah tangga miskin 39.339 rumah tangga atau sekitar 78,72% dari totak 49.975 rumah tangga. Urutan kedua ditempati Kabupaten Nias dengan persentase penduduk miskin 36,19% dengan jumlah rumah tangga miskin sebanyak 61.660 rumah tangga atau sekitar 75,90% dari total 81.242 rumah tangga.


Seluruh Fraksi di DPRD Sumut (Fraksi Golkar, PDIP, PPP, PDS, PKS, FBR, dan PD) menyoroti persoalan kemiskinan ini. Mereka menilai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Sumut belum mengacu pada skala prioritas untuk mengentaskan kemiskinan.


“Sama sekali tidak ada keberpihakan Pemprov terhadap mereka (petani). Sebagai contoh pengadaan bibit kelapa sawit dan karet tak sampai Rp100 juta. Padahal belanja pegawai di Biro Keuangan Pemprov Sumut mencapai Rp3,5 miliar. Ini sangat ironis,” kata Juru Bicara Fraksi PPP Nailul Amali di Kantor DPRD Sumut, pekan lalu.


Pendapatan Daerah Pemprov Sumut 2007 Rp2.462,1 miliar (Rp2,4 triliun). Sedangkan Belanja Daerah Rp2.717,8 miliar (Rp2,7 triliun). RAPBD Sumut defisit Rp255,6 miliar. “Anggaran untuk sektor pertanian hanya sekitar Rp30 miliar. Untuk sektor perikanan dan kelautan tak lebih dari Rp20 miliar. Ini menunjukkan tidak adanya keberpihakan Pemprov Sumut terhdap petani dan nelayan. Anggaran ini hanya segelintir dari APBD,” kata Hidayatullah, Anggota Panitia Anggaran DPRD Sumut dari Fraksi PKS.


Menurut Hidayatullah pihak politisi (DPRD) juga belum berpihak pada kepentingan rakyat, karena tak ada kesamaan persepsi mendesak Pemprov Sumut agar memrioritaskan pengentasan kemiskinan. “Sampai saat ini belum ada kesamaan persepsi yang menyatakan anggaran yang ideal untuk pengentasan kemiskinan dalam hal ini petani dan nelayan,” katanya.


Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumut RE Nainggolan berkilah bahwa prioritas utama Sumut ialah pembangunan infrastruktur. “Pembangunan infrastruktur itu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat Sumut,” katanya.**

Para Nelayan Terpaksa Kerja Serabutan

Tanggal : 28 Mei 2007
Sumber : http://rokanhilir.go.id/berita.php?go=beritalengkap&id=1767


MUNCULNYA gelombang pasang air laut secara alami yang terjadi di sejumlah daerah pesisir pantai di wilayah Sumatera Barat (Sumbar) dan sekitarnya, tampaknya benar-benar telah memberikan dampak bagi daerah lainnya. Salah satu diantaranya adalah daerah-daerah pesisir pantai yang ada di Kabupaten Rohil. Kendati gelombang pasang air laut di daerah pesisir pantai di wilayah Rohil tidak menimbulkan kerusakan pada bangunan-bangunan fisik, namun di sisi lainnya, keberadaannya justru bisa mengancam keselamatan para nelayan terutama tradisional.

Munculnya gelombang pasang air laut yang melanda di daerah pesisir pantai tersebut setidaknya telah menjadinya kondisi di perairan Rohil kurang menguntungkan bagi nelayan-nelayan. Dimana, angin yang bertiup melintasi di perairan Rohil tersebut cukup kencang yang gilirannya bisa menghasilkan gelombang air laut dengan ketinggian mencapai sekitar dua meter lebih. Mengingat fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki nelayan Rohil masih sangat terbatas terlebih tradisional, gilirannya memilih tidak turun ke laut untuk sementara waktu. ''Kondisi anginya kencang sekali. Angin itu datang secara tiba-tiba saja,'' kata Kho Peng (44) salah seorang nelayan Bagansiapi-api.

Mengingat kondisi perairan yang kurang menguntungkan, menyebabkan para nelayan yang berada di sejumlah daerah pesisir pantai seperti di Kecamatan Bangko, Sinaboi, Kubu dan Pasirlimau Kapas terpaksa menghentikan aktivitasnya untuk sementara waktu. Kendati demikian, ada sebagian nelayan-nelayan tradisional yang masih melakukan aktivitasnya. Hanya saja, sebagian besar aktivitasnya dipusatkan di sekitar pantai. ''Sekitar 4.000 nelayan di Rohil ini, tidak melaut lantaran kondisi alam yang kurang menguntungkan. Hanya saja, kondisi itu berlangsung sementara waktu saja. Artinya, kalau kondisi alam sudah stabil, aktivitas kembali normal,'' kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Rohil, Ir H Amrizal.

Selama tidak melaut lantaran kondisi alam di perairan yang kurang menguntungkan, tampaknya telah menjadikan kegiatan kehidupan nelayan sedikit mengalami perubahan yang cukup dratis. Karena, usaha yang dilakoni oleh nelayan terpusatkan di perairan, malah justru beralih ke darat. Kendati demikian, dalam upaya mempertahankan hidup, nelayan terpaksa harus kerja serabutan salah satu diantaranya adalah seperti buruh bongkar muat barang di dermaga pelabuhan serta kuli bangunan. ''Kalau kita tidak melaut, lantas apa yang akan kita dapatkan. Sementara, kebutuhan setiap hari harus dapat kita penuhi. Ya mau tak mau kerja apa saja. Yang penting bisa buat makan dan halal,'' kata Jamal (40) salah seorang nelayan Panipahan, Kecamatan Pasirlimau Kapas.

Kerja serabutan yang sedang dilakoni oleh nelayan tersebut, tampaknya sudah berlangsung lama yang dimulai setelah hasil tangkapan mengalami penurunan yang cukup dratis. Malahan, dana yang dikeluarkan untuk melaut tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan. ''Sebelum ada gelombang air laut, nelayan sudah banyak yang mengeluh. Dimana, hasil tangkapannya sudah menurun secara dratis. Sebagai contoh saja, untuk nelayan tradisional mengeluarkan dana antara Rp 500 ribu hingga satu juta. Hasil yang kita dapatkan ternyata tidak bisa menutupi modal yang kita keluarkan itu. Daripada menganggur, kan lebih baik kita kerja sambilan di pelabuhan. Minimal ya menjadi buruh yang penting kita ada penghasilan untuk memenuhi kebutuhan meskipun itu tidak tetap,'' kata Jamal.

Kondisi seperti itu, tampaknya tidak dinafikan oleh Camat Pasirlimau Kapas, Binhar Jamil. ''Dampak yang timbul akibat nelayan tidak melaut, yakni bisa menyurutkan roda perekonomian. Sebagaimana yang kita maklumi bersama, roda perekonomian di Kecamatan Pasirlimau Kapas, benar-benar menurun sekali lantaran kegiatan di laut tidak ada. Ya bagaimana lagi. Mau menangkap ikan, kondisi alam sudah tidak menguntungkan. Lagipula, hasil tangkapannya tidak bisa mengembalikan modalnya. Lantaran kebutuhan sehari-hari menjadi tuntutannya, ya nelayan terpaksa bekerja apa yang bisa dikerjakan di darat. Minimal ya yang sebagai buruh?kasar,'' kata Binhar Jamil.

Bekerja di darat yang bersifat serabutan, tampaknya menjadi alternatif pilihan yang terakhir. Dimana, untuk melakukan usaha di bidang pertanian tanaman pangan maupun palawija di sekitar perkarangan rumah maupun lahan yang tersedia, tampaknya tidak memungkinkan. Karena, kondisi air laut cukup tinggi ketimbang daratan yang ada di sejumlah daerah yang ada di Kecamatan Pasirlimau Kapas. ''Kalau di daerah lain, sektor pertanian tanaman pangan maupun lainnya sangat memungkinkan dikembangkan. Kalau di tempat kita khususnya Panipahan, daerahnya rendah. Air asin selalu masuk terutama pasang besar. Sehingga tidak cocok untuk ditanami,'' kata Binhar Jamil. (Sah)

Melihat Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) 2007 di Kabupaten

Tanggal : 26 Mei 2007
Sumber : http://indopos.co.id/index.php?act=detail_radar&id=162632&c=106
Oleh : AKHMADI YASID, Pamekasan

BERDASARKAN data di pemkab, wilayah pesisir Kabupaten Pamekasan mencapai 48.550 km. Wilayah pesisir tersebut membentang di daerah pantai utara dan pantai selatan. Dari data tersebut, terlihat betapa besarnya potensi masyarakat pesisir.

Mengutip data dinas perikanan dan kelautan, pada tahun 2006, volume produksi usaha penangkapan ikan di wilayah pesisir tersebut mencapai 17.652,69 ton. Jumlah tersebut merupakan pendapatan dari sekitar 11.394 nelayan yang tersebar di pantai utara dan pantai selatan.

Sayangnya, jumlah nelayan yang demikian banyak tersebut masih berada di bawah garis kemiskinan. Menurut data BPS (Biro Pusat Statistik) tahun 2002 yang diolah data oleh Smeru, menyebutkan bahwa masyarakat pesisir, termasuk di dalamnya para nelayan, memiliki nilai poverty headcome index (PHI) sekitar 0,3214 atau 32,14 persen di bawah garis kemiskinan.

"Kemiskinan masyarakat pesisir berakar pada antara lain keterbatasan akses permodalan dan kultur yang tidak kondusif," ujar Ir Nurul Widiastuti, kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Pamekasan kepada koran ini, kemarin siang.

Atas dasar itulah, pemkab berupaya melakukan pemberdayan. Salah satunya dengan meluncurkan PEMP. Tujuannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur kewirausahaan, penguatan kelembagaan, penggalangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan, serta diversifikasi usaha yang berkelanjutan dan berbasis sumber daya lokal.

Menurut Nurul, sasaran PEMP adalah koperasi perikanan sebagai sasaran dan sasaran akhirnya adalah masyarakat pesisir. Khususnya, mereka yang terlibat langsung atau tidak langsung menurut skala prioritas dengan usaha skala makro dan kecil. Adapun orientasinya pada sektor usaha kelautan dan perikanan seperti penangkapan ikan, budidaya, perniagaan hasil perikanan, pengolahan ikan, usaha jasa perikanan, dan lain-lain.

Di Kabupaten Pamekasan, program PEMP difokuskan di Desa Sotabar, Kecamatan Pasean. Dasar pemikirannya, selain memiliki potensi sumber daya perikanan yang mendukung, juga masih perlu adanya pemberdayaan dan optimalisasi pengembangan usaha ekonomi masyarakat pesisir. Termasuk, perlunya peningkatan lebih lanjut usaha kelompok nelayan di daerah pantai utara yang telah dibina selama ini.

"Program PEMP mencakup kegiatan diversifikasi usaha oleh koperasi melalui pembentukan unit-unit usaha. Seperti LKM (lembaga keuangan mikro), SPDN (solar packed dealer untuk nelayan), kedai pesisir dan bantuan sarana usaha perikanan lainnya," ungkap Nurul.

Khusus LKM, program PEMP di Desa Sotabar telah dibangun unit simpan pinjam (USP). Yaitu, berupa unit usaha koperasi yang bergerak di bidang pelayanan permodalan bagi masyarakat pesisir. Utamanya, untuk segmen usaha makro dan kecil.

"Dalam operasionalnya, PEMP ini bekerjasama dengan BRI Pamekasan dan Koperasi Swamitra Mina Hikmah Fajar di Desa Sotabar," jelasnya.

Dalam menjalankan fungsinya, koperasi menerima dana ekonomi produktif (DEP) sebesar Rp 559.145.000 sebagai hibah yang dijaminkan kepada perbankan untuk mendapatkan pinjaman. Dari pinjaman tersebut, selanjutnya disalurkan lagi kepada masyarakat pesisir melalui LKM milik koperasi.

"Pembinaan dan pengembangan PEMP dilakukan dari dinas dan bekerjasama dengan Universitas Trunojoyo Bangkalan sebagai konsultan manajemen PEMP dan dengan Muslimat NU Kabupaten Pamekasan dalam rangka pemberdayaan perempuan pesisir," pungkasnya.

Identitas Indonesia Sebagai Bangsa Bahari Meluntur

Tanggal : 23 Maret 2007
Sumber: http://www.antara.co.id/arc/2007/3/23/identitas-indonesia-sebagai-bangsa-bahari-meluntur/


Jakarta (ANTARA New2s) - Identitas Indonesia sebagai bangsa bahari yang besar sudah memudar karena beragam hal, antara lain masih dikuasainya aktivitas sosial-ekonomi di bidang kelautan oleh pihak asing dan kurangnya pemberdayaan masyarakat pesisir.

"Sejarah pernah mencatat kita pernah besar sebagai bangsa bahari. Namun identitas ini kini makin luntur," kata Kepala Divisi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Dr. Arif Satria, di Depok, Jumat.

Ia memaparkan bahwa identitas sebagai bangsa bahari tidak saja ditentukan oleh fakta geografis bahwa dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut. Fakta geografis tersebut, lanjut Arif, berimplikasi pada fakta geopolitis, fakta sosial-ekonomis, dan fakta ekologis.

"Kita selalu bangga akan luasnya laut kita, padahal `ruh` laut yang menyimpan kekuatan geopolitis, sosial-ekonomis, dan ekologis telah tercerabut," ujar dia.

Ia mencontohkan rentannya laut Indonesia dapat dilihat dari lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan ke Malaysia, tak jelasnya status blok Ambalat dan Celah Timor yang mengancam keutuhan wilayah nasional.

Mengenai perundingan wilayah perbatasan yang belum tuntas dengan sejumlah negara, Arif melihat hal tersebut dapat menjadi "bom waktu" di masa mendatang.

Selain itu, ia juga menyorot aktivitas sosial-ekonomi di bidang kelautan yang masih dikuasai asing, yang membuat Indonesia seolah-olah menjadi tamu di rumah sendiri.

"Diduga ada sekitar 7.000 kapal asing yang beroperasi di wilayah laut kita, meski sekarang sudah mulai berkurang berkat kebijakan pemerintah," katanya.

Menurut dia, kapal asing masih terus mendominasi aktivitas pelayaran untuk ekspor-impor, dengan pangsa muatannya masih berkisar 90 persen.

Untuk mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia di laut, Arif mengemukakan bahwa salah satu prasyaratnya adalah memberdayakan dan mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir.

"Hal yang sangat penting dalam membangun desa pesisir adalah mengupayakan tersedianya infrastruktur dasar yakni prasarana jalan, pasokan listrik, air bersih, serta fasilitas sosial yaitu pendidikan dan kesehatan," katanya.

Hal lainnya yang bisa dilakukan, ujar Arif, adalah menyediakan subsidi untuk permodalan nelayan, menyelenggarakan penyuluhan yang memprioritaskan isu kemandirian, mengakui "fishing right" atau Hak Perikanan Tradisional (HPT), dan menguatkan sistem Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat (PSBM).

KOMISI IV DUKUNG KESEJAHTERAAN PETANI DAN NELAYAN

Tanggal : 23 Meii 2007
Sumber : http://www.dpr.go.id/artikel/terkini/artikel.php?aid=2685

Kondisi petani dan nelayan yang masih identik dengan kemiskinan mendapat perhatian Wakil Ketua Komisi IV DPR Suswono (F-PKS). Komisi IV DPR yang membidangi pertanian, perikanan, kehutanan, dan Bulog dalam mengambil kebijakan selalu memperhatikan dan berpihak kepada kepentingan masyarakat.

Hal tersebut dikemukakan Suswono saat menerima sejumlah mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia diruang rapat Komisi IV, Gedung Nusantara DPR, Rabu (23/5).
“Kita memback up dana yang cukup besar untuk subsidi pupuk,” katanya.

Suswono menjelaskan bahwa subsidi pupuk yang diberikan kepada petani pada tahun ini sebesar 5,7 Triliun. “Kemungkinan akan ditambah pada APBN-P sebesar dua triliun,” jelasnya seraya menambahkan jumlah tersebut lebih besar dari anggaran satu departemen.


Menurut Suswono dana sebesar tersebut hanya untuk kepentingan petani. Selain menganggarkan dana yang besar untuk subsidi pupuk, Komisi IV juga ikut serta berperan dalam memberikan beras untuk masyarakat miskin (Raskin). Raskin juga diberikan kepada petani dan nelayan.


“Ini gambaran bahwa Komisi IV juga memberi dukungan yang cukup besar bagi petani dan nelayan,” kata Suswono.


Lebih lanjut Suswono menjelaskan bahwa saat ini ada 2,5 juta kepala keluarga yang mengandalkan kehidupannya dari sektor pertanian. Ia menilai bila pemerintah telah berhasil mengentaskan kemiskinan di tingkat petani dan nelayan maka sebagian besar urusan pemerintah dalam mengentaskan kemisikinan di Indonesia sudah selesai.


“Kalau pemerintah bisa mensejahterakan petani dan nelayan, maka sebagian besar urusan bangsa ini dalam mengentaskan kemiskinan sudah selesai,” katanya.


Dalam pertemuan tersebut Suswono berharap kebutuhan petani dan nelayan akan gizi, pendidikan yang memadai dan kesehatan dapat terpenuhi.


Sementara itu perwakilan mahasiswa Mulyadi menjelaskan bahwa maksud kedatangan mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan UI untuk mendapatkan masukan terkait dengan kebijakan yang diambil Komisi IV DPR pada bidang kesehatan masyarakat. “Kami menyadari banyak bidang yang kontribusi dan berpengaruh luas terhadap kesehatan. Komisi IV juga sangat signifikan dengan bidang kesehatan,” katanya.


Mulyadi menambahkan sampai saat ini tingkat kesejahteraan dan kesehatan nelayan dan petani sangat minim. Hal ini sangat miris mengingat petani dan nelayan merupakan penghasil pangan bagi rakyat. “Masalah gizi justru banyak terjadi pada petani dan nelayan,” ujarnya. (bs)

INDUSTRI PERIKANAN HARUS BISA ATASI KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN

Tanggal : 23 Mei 2007
sumber : http://situbondo.go.id/pemda/index.php?option=com_content&task=view&id=1261&Itemid=162

Industri perikanan di Indonesia khususnya di Jatim, hasilnya harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk membantu mengatasi kemiskinan dan mengurangi pengangguran utamanya bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai.



Gubernur Jatim, H Imam Utomo saat membuka Rapat Kerja (Raker) Kelembagaan Perikanan dan Kelautan se-Jatim di Hotel Equator Surabaya, Selasa (22/5) mengatakan, Jawa Timur dengan panjang pantai mencapai 2.000 km berpotensi akan hasil laut secara melimpah, namun hingga kini masih belum dimanfaatkan dan digali secara maksimal oleh masyarakat khususnya nelayan, sehingga banyak nelayan-nelayan yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.



Agar para nelayan bisa hidup makmur dan sejahtera, maka perlu dibentuk kelompok beranggotakan 15-20 orang dan mempunyai kapal besar. Hanya dengan begitu, nelayan akan mampu berlayar mencari ikan hingga 12 mil dan mampu menghasilkan tangkapan yang banyak pula.



Saat ini, Jatim dihadapkan pada lima permasalahan bidang perikan dan kelautan di antaranya embargo produk-produk perikanan oleh Uni Eropa serta kemiskinan dan pengangguran para nelayan, kurangnya modal usaha, harga jual hasil tangkapan ikan yang tidak stabil serta adanya konflik antara nelayan di daerah. Adanya pasar global dan acaman embargo dari negara pengimpor perikanan akan menggangu impor ikan khususnya ke negera-negara Eropa. Untuk itu, pemerintah perlu menyikapi dengan cermat dan mencarikan jalan keluar yang bisa menguntungkan ke dua belah pihak.



Menurut data, impor ikan Indonesia ke negara-negara Eropa, Amerika dan Asia pada 2005 mencapai 1 miliar dolar AS, di mana 25% nya berasal dari Jatim. Bahkan dengan hasil itu, Jatim mendapatkan penghargaan dari Presiden RI bidang pelayanan publik nasional pengujian mutu hasil perikanan 2006.



Untuk masyarakat miskin, dari jumlah sekitar 10 juta jiwa di Jatim, 900 ribu masih dalam kondisi menganggur dan sebagian besar adalah nelayan yang hidup di pesisir pantai karena terlilit utang rentenir. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan modal yang cukup bagi para nelayan serta adanya kemudahan untuk mengakses perbankan. ”Ini adalah tugas Bank Jatim untuk menjawab permasalahan bagi para nelayan Jatim,” katanya.



Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Jatim, Ir Kardani mengatakan, pembangunan perikanan dan kelautan di Jatim berpotensi untuk menjadi salah satu tumpuan pemulihan perekonomian baik secara nasional maupun regional. Selain itu, akan dapat meningkatkan perekonomian kerakyatan di pedesaan, mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan serta mempercepat tumbuhnya sumber daya manusia.



Hasil pembangunan produksi perikanan di Jatim pada 2006 sekitar 546,98 juta ton atau mengalami kenaikan 9,11% dibanding tahun 2005 sebesar 500,462 juta ton. Produksi ini paling banyak dihasilkan dari usaha penangkapan ikan di laut yang mengalami kenaikan 14,24% karena melimpahnya ikan Lemuru di Selat Bali, keberhasilan penggunaan rumpon, penggunaan alat bantu penangkapan serta dampak dari moderenisasi armada perikanan.



Melimpahnya produksi ikan berdampak pada naiknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jatim pada 2006 mencapai Rp 13,6 miliar atau 148,83% dari yang ditargetkan Rp 9,150 miliar. Berdasar data Disperindag Jatim, ekspor produksi perikanan pada 2006 mencapai 505,471 juta dolar AS atau naik 5,35% dibanding 2005.



Selain peningkatan hasil ekspor, Indonesia saat ini sedang menghadapi ancaman embargo dari Uni Eropa, karena tidak dapat memenuhi persyaratan jaminan mutu dari negara-negara pembeli khususnya dari Eropa. Untuk mengatasinya, Departemen Perikanan dan Kelautan RI telah berusaha membantu berupa alat pendekteksi bahan pengawet seharga Rp 5 miliar yang dipasang di laboratorium Dinas Perikanan dan Kelautan Jatim.



Khusus Jatim, permasalahan yang saat ini masih menjadi kendala adalah belum tersedianya dana sosial untuk mengatasi kesulitan para nelayan pada saat musim paceklik karena tidak bisa melaut saat cuaca buruk. Untuk itu, Pemprop Jatim mengajak kabupaten/kota untuk segera membentuk koperasi nelayan dengan bunga murah.



INDUSTRI PERIKANAN HARUS BISA ATASI KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN

Tanggal : 22 Mei 2007
Sumber : http://www.d-infokom-jatim.go.id/news.php?id=10844


Gubernur Jatim, H Imam Utomo saat membuka Rapat Kerja (Raker) Kelembagaan Perikanan dan Kelautan se-Jatim di Hotel Equator Surabaya, Selasa (22/5) mengatakan, Jawa Timur dengan panjang pantai mencapai 2.000 km berpotensi akan hasil laut secara melimpah, namun hingga kini masih belum dimanfaatkan dan digali secara maksimal oleh masyarakat khususnya nelayan, sehingga banyak nelayan-nelayan yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Agar para nelayan bisa hidup makmur dan sejahtera, maka perlu dibentuk kelompok beranggotakan 15-20 orang dan mempunyai kapal besar. Hanya dengan begitu, nelayan akan mampu berlayar mencari ikan hingga 12 mil dan mampu menghasilkan tangkapan yang banyak pula.
Saat ini, Jatim dihadapkan pada lima permasalahan bidang perikan dan kelautan di antaranya embargo produk-produk perikanan oleh Uni Eropa serta kemiskinan dan pengangguran para nelayan, kurangnya modal usaha, harga jual hasil tangkapan ikan yang tidak stabil serta adanya konflik antara nelayan di daerah. Adanya pasar global dan acaman embargo dari negara pengimpor perikanan akan menggangu impor ikan khususnya ke negera-negara Eropa. Untuk itu, pemerintah perlu menyikapi dengan cermat dan mencarikan jalan keluar yang bisa menguntungkan ke dua belah pihak.
Menurut data, impor ikan Indonesia ke negara-negara Eropa, Amerika dan Asia pada 2005 mencapai 1 miliar dolar AS, di mana 25% nya berasal dari Jatim. Bahkan dengan hasil itu, Jatim mendapatkan penghargaan dari Presiden RI bidang pelayanan publik nasional pengujian mutu hasil perikanan 2006.
Untuk masyarakat miskin, dari jumlah sekitar 10 juta jiwa di Jatim, 900 ribu masih dalam kondisi menganggur dan sebagian besar adalah nelayan yang hidup di pesisir pantai karena terlilit utang rentenir. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan modal yang cukup bagi para nelayan serta adanya kemudahan untuk mengakses perbankan. ”Ini adalah tugas Bank Jatim untuk menjawab permasalahan bagi para nelayan Jatim,” katanya.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Jatim, Ir Kardani mengatakan, pembangunan perikanan dan kelautan di Jatim berpotensi untuk menjadi salah satu tumpuan pemulihan perekonomian baik secara nasional maupun regional. Selain itu, akan dapat meningkatkan perekonomian kerakyatan di pedesaan, mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan serta mempercepat tumbuhnya sumber daya manusia.
Hasil pembangunan produksi perikanan di Jatim pada 2006 sekitar 546,98 juta ton atau mengalami kenaikan 9,11% dibanding tahun 2005 sebesar 500,462 juta ton. Produksi ini paling banyak dihasilkan dari usaha penangkapan ikan di laut yang mengalami kenaikan 14,24% karena melimpahnya ikan Lemuru di Selat Bali, keberhasilan penggunaan rumpon, penggunaan alat bantu penangkapan serta dampak dari moderenisasi armada perikanan.
Melimpahnya produksi ikan berdampak pada naiknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jatim pada 2006 mencapai Rp 13,6 miliar atau 148,83% dari yang ditargetkan Rp 9,150 miliar. Berdasar data Disperindag Jatim, ekspor produksi perikanan pada 2006 mencapai 505,471 juta dolar AS atau naik 5,35% dibanding 2005.
Selain peningkatan hasil ekspor, Indonesia saat ini sedang menghadapi ancaman embargo dari Uni Eropa, karena tidak dapat memenuhi persyaratan jaminan mutu dari negara-negara pembeli khususnya dari Eropa. Untuk mengatasinya, Departemen Perikanan dan Kelautan RI telah berusaha membantu berupa alat pendekteksi bahan pengawet seharga Rp 5 miliar yang dipasang di laboratorium Dinas Perikanan dan Kelautan Jatim.
Khusus Jatim, permasalahan yang saat ini masih menjadi kendala adalah belum tersedianya dana sosial untuk mengatasi kesulitan para nelayan pada saat musim paceklik karena tidak bisa melaut saat cuaca buruk. Untuk itu, Pemprop Jatim mengajak kabupaten/kota untuk segera membentuk koperasi nelayan dengan bunga murah.

491 KK Nelayan Dumai Miskin

Tanggal : 14 Mei 2007
Sumber : http://www.dumaipos.com/index.php?Itemid=55&id=1006&option=com_content&task=view

KOTA —Dari jumlah penduduk Dumai sebanyak 214.648 setara dengan 53.662 kepala keluarga (KK), sekitar 42.480 jiwa setara 10.620 KK atau 19,79 persen dari jumlah penduduk Dumai mendiami wilayah pesisir. Dari jumlah diatas, sebanyak 491 KK nelayannya masih berada digaris kemiskinan. Hal ini dikemukakan Kadis Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Dumai H Surya Irianto akhir pekan lalu kepada Dumai Pos.

Untuk membangun perekonomian para nelayan miskin itu, kata Surya, pemerintah telah memberikan bantuan dalam bentuk langsung maupun tidak langsung. Selain itu, pemerintah telah membuat program dan kegiatan untuk para nelayan. Seperti membangun Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN), Pabrik Es dan Kedai Pesisir. Semuanya itu, dibangun untuk membantu perekonomian para nelayan terutama masyarakat nelayan miskin yang tergabung dalam koperasi Kerapu Kota Dumai, tutur Surya.

Tentunya menjadi harapan kita semua bahwa program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Dumai akan berhasil dan tidak akan gagal, untuk itu dimasa mendatang kita harus lebih bekerja keras dan mempunyai persepsi yang sama di dalam membantu, menunjang, meningkatkan kesejahteraan nelayan di wilayah pantai timur pulau Sumatera ini.

Surya menjelaskan, pembangunan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) kota Dumai di mulai tahun anggaran 1999 melalui anggaran APBN dan LOAN-ADB, kemudian pembiayaannya dibantu melalui APBD propinsi Riau dan APBD Kota Dumai tahun 1999 - 2006 yang sampai saat ini seluruh pendanaan untuk membangun PPI berjumlah Rp 15.574.583.000,- Tujuan pembangunan PPI untuk memperlancar kegiatan produksi perikanan, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan serta sebagai sentral pengembangan masyarakat nelayan di Kota Dumai.

‘’Dengan berbagai program yang diterapkan pemerintah Kota Dumai dan Prov Riau, jumlah masyarakat nelayan miskin dapat dimeminimalisir,’’ kata dia. Pangkalan Pendaratan Ikan merupakan prasarana perikanan tangkap yang diharapkan dapat mendaratkan ikan baik dari lokal, Sumatera Barat maupun dari Sumatera Utara bagi konsumsi masyarakat tempatan dan untuk keperluan ekspor.

Selain itu, dalam waktu dekat ini pemerintah Kota Dumai akan memindahkan terminal ikan sementara yang berlokasi di pemukiman masyarakat ke areal PPI Kota Dumai, dengan demikian sangat dibutuhkan pasokan es batu yang cukup banyak untuk pengawetan ikan. Untuk mengatasi hal ini melalui dana DAK APBN dan dana APBD Kota Dumai tahun 2008 telah diusulkan untuk pembangunan pabrik es kapasitas 10 ton per hari. Selanjutnya untuk optimalisasi peran dan fungsi PPI Kota Dumai.

Disnakkanla Kota Dumai bersama Diskanlut Propinsi pada tahun 2008 melalui sharing budget APBN, APBD I dan APBD II mengusulkan pengadaan 3 (unit) kapal pengawas bertonase 30 GT agar dapat menangkap ikan di Laut Cina Selatan.

Lebih lanjut Surya menjelaskan, pada tahun 2006 melalui dana APBN-P dan tahun 2007 Pemko Dumai mendapat alokasi dana kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dengan pagu dana sebesar Rp 1,875 milyar. Melalui program PEMP itu, pemerintah sangat berharap dapat membantu meningkatkan taraf hidup nelayan dan pembudidaya ikan di daerah pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, penguatan kelembagaan sosial ekonomi dan partisipasi masyarakat dengan menggunakan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan.

PEMP ini merupakan program dari Departemen Kelautan dan Perikanan, dimana diberikan kepada daerah yang betul-betul membutuhkan bantuan yang kemudian daerah tersebut dapat mandiri dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada sehingga program benar-benar diharapkan dapat mencapai tujuan dan sasaran.

Dana PEMP itu, kata Surya secara transfaran, tahun 2006 Rp 550.000.000,- dengan dana ekonomi produktif masyarakat pemanfaat yang disalurkan sebesar Rp506.875.000,- namun sampai bulan April 2007 telah disalurkan untuk pengadaan Kedai Pesisir dan dioperasikan mulai tanggal 26 Januari 2007 sampai dengan sekarang. Diharapkan dengan adanya kedai pesisir yang dibangun sepakat dengan PPI Dumai, dapat memudahkan nelayan dalam memenuhi kebutuhan melaut dengan harga yang murah, katanya menjelaskan.(wan)

Menyiasati Buramnya Nasib Masyarakat Pesisir

Tanggal : 3 Mei 2007
Sumber : http://gp-ansor.org/?p=1957


Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pesisir adalah lagu lama yang tak dapat dielakkan disepanjang sejarah berdirinya republik Indonesia hingga bergulirnya era reformasi, rintihan pilu masyarakat pesisir tidak jua kunjung reda. Semestinya bangsa ini berbangga diri memiliki masyarakat yang rela mencurahkan hidup dan matinya untuk mengelola sumber daya kemaritiman. Mengingat pembangunan kemaritiman bagi bangsa ini merupakan mudal besar dan peluang lebar untuk menuju persaingan ekonomi global. Dengan memberdayakan masyarakat pesisir dari kemiskinan dan keterbelakangan adalah langkah yang sangat mendasar dalam tahap awal pembangunan kemaritiman.


Namun, pada kenyataannya langkah tersebut belum menunjukkan sinyal yang pasti. Kurangnya akses pendidikan dan kesehatan bagi masyarkat pesisir adalah suatu pertanda bahwa nasib mereka masih berada dalam ketidak jelasan, sehingga akibatnya sumber daya masyarakat (SDM) yang mereka miliki sangat minim dalam mengelola kekayaan laut yang melimpah. Bukannya mereka tidak memiliki usaha yang keras dan keinginan yang gigih dalam memajukan sosial-ekonominya. Tapi, karena keterbatasan pendidikan, informasi dan teknologi yang membuat mereka harus menerima apa adanya.


Dari sisnilah pentingnya perhatian berbagai pihak, baik itu konsultan pemberdayaan, aktivis LSM, peneliti, politisi, dan khususnya para penentu kebijakan untuk segera menguak nasib buram masyarakat pesisisir. Sebab, di akui atau pun tidak keterpurukan masyarakat pesisir kurang begitu diwacanakan atau dimunculkan kepermukaan, entah karena letak giografisnya yang terisolir, atau karena tertutup oleh permasalahan-permaalahan aktual yang bersifat sementara, sehingga berbagai pihak melupakan masyarakat yang terpinggirkan; masyarakat yang telah lama menahan sakit berkepanjangan.


Oleh sebab itulah Kusnadi dan kawan-kawan dalam buku ini melukiskan kepedihan mayarakat pesisir yang diombang-ambing keadaan bangsa yang tidak menentu, di mana pada kenyataannya mereka adalah korban dari kebusukan pikir para pemimpin, hingga masyarakat pesisir harus menderita dalam waktu yang berkepanjangan. Seperti dalam contoh yang diuraikan Kusnadi tentang masyarakat pesisir Paseban, kecamatan kencong, di mana masyarakatnya memiliki keinginan besar untuk terus mengembangkan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi wilayahnya, namun untuk mewujudkan keinginan tersebut terdapat berbagai hambatan besar yang dicipciptakan dari kesalahan sejarah. Jadi seperti masyarakat pesisir Paseban saat ini tidak berposisi sebagai penerima warisan, melainkan bagaimana mereka mencipta dan memberikan warisan untuk anak cucu mereka kelak, seperti pembuatan jalan raya, fasilitas ekonomi perikanan, fasilitas umum-sosial, dan seterusnya.


Realitas seperti ini tidak hanya terjadi di wilayah Paseban, tapi hal yang sama juga banyak terjadi dipelbagai wilayah pesisir lainnya. Kelemahan-kelemahan tersebut biasanya terletak pada terbatasnya sarana dan prasarana ekonomi, rendahnya kualitas SDM, teknologi penangkapan ikan yang terbatas kapasitasnya, akses mudal dan pasar produk ekonomi lokal yang terbatas, tidak adanya kelembagaan sosial-ekomi yang dapat membangun masyarakat dan belum adanya komitmen pembangunan kawasan pesisir secara terpadu (hal. 3).


Strategi


Berangkat dari berbagai kelemahan masyarak pesisir itulah, Kusnadi menekankan perlu adanya tujuan program pemberdayaan yang lebih menitik-beratkan pada upaya memperkuat kedudukan dan fungsi kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat pesisir untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan. Adapun ruang lingkupnya antara lain, (1) memitakan sumber daya pembangunan wilayah yang dapat dijadikan basis data perencanaan kebijakan pembanguanan dan investai ekonomi, (2) meningkatkan kemampuan manajemen organisasi dan kualitas wawasan para pengurusnya, (3) mengembangkan produk unggulan yang berbasis pada potensi sumber daya lokal, seperti terasi, VOC ( Virgin Coconut Oil) yang higienis dan benilai jual tinggi, (4) melaksanakan publikasi yang terencana dan tersturktur untuk masyarakat luas, khususnya para pemangku kepentingan (stakeholders), sebagai sarana menjalin kerjasama dengan institusi atau lembaga-lembaga lain dalam rangka menggalang potensi sumber daya kolektif dalam membangun masyarakat pesisir.


Adapun fungsi dan pentingnya kelembagaan sosial-ekonomi dalam pembangunan masyarakat pesisir adalah, sebagai wadah penampung harapan dan pengelola aspirasi kepentingan pebangunan warga; menggalang seluruh potensi sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat, sehingga kemampuan kolektif, sumber daya, dan akses masyarakat meningkat; memperkuat solidaritas dan kohesivitas, sehingga kemampuan gotong royong masyarakat meningkat; memperbesar nilai tawar (bergaining position) dan; menumbuhkan tanggung jawab kolektif masyarakat atas pembangunan yang direncanakan.


Dari sekelumit tentang strategi pemberdayaan masyarakat pesisir yang ditawarkan Kusnadi kiranya perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, khususnya pemerintah. Agar dalam menerapkan berbagai kebijakan, pemerintah terlebih dulu menggunakan pendengaran dengan sebaik-baiknya, bahwa disetiap bibir pantai (masyarakat pesisir) ada tangisan pilu yang tak bersuara, juga tidak ada yang menyuarakan. Akibat luka yang berkepanjangan, suara mereka hilang ditelan riuh-rendahnya gelobang bangsa yang tak berkesudahan. Sebab itulah buku ini akan menjadi penting bagi siapa yang berminat terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir, atau paling tidak memiliki rasa peduli terhadap nasib buram masyarakat nelayan yang hingga saat ini masih terkatung-katung dalam ketidak pastian. (IC)