Gambaran Kehidupan Masyarakat Pesisir Pantai Timur Sumatera

Tanggal : 16 Februari 2007
Sumber : http://www.bainfokomsumut.go.id/open.php?id=245&db=artikel

Masyarakat pesisir yang dimaksudkan dalam uraian ini adalah mereka-mereka yang hidup dan menetap di kawasan pesisir dan laut. Secara khusus masyarakat pesisir yang dimaksudkan dalam uraian ini adalah para nelayan tradisional yang oleh karena ketidakberdayaannya dalam segala aspek, baik materi, pengetahuan, maupun teknologi, menjadikan mereka miskin dan tertinggal. Hal ini sebagaimana yang terungkap dari realitas di bawah ini.


Realitas Sosial

Tampilan realitas sosial masyarakat pesisir, menunjukkan gambaran tentang sebuah potret masyarakat yang relatif terbuka dan mudah menerima serta merespons perubahan yang terjadi. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kawasan pesisir merupakan kawasan yang sangat terbuka dan memungkinkan bagi berlangsungnya proses interaksi sosial antara masyarakat dengan pendatang.

Salah satu realitas sosial yang ingin digambarkan pada masyarakat pesisir adalah masalah potensi modal sosial. Sayangnya potensi ini belum atau tidaknya dikelola dengan baik. Padahal, salah satu titik tumpu bagi penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat pesisir adalah dengan mengoptimalkan modal sosial yang ada.

Fakta sosial menunjukkan bahwa semakin renggangnya solidaritas dan jalinan ikatan sosial yang ada pada masyarakat pesisir, sebaliknya yang tampak kemudian adalah menguatnya gaya hidup hedonis dan individualistis, khususnya di kalangan generasi muda. Lemahnya ikatan solidaritas ini dapat dilihat dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh nelayan. Biasanya sangat jarang direspons secara bersama oleh nelayan lainnya. Kalaupun ada solidaritas yang terbangun terbatas dalam satu kawasan yang sama. Soldaritas sosial yang terbangun pada masyarakat pesisir tebatas pada hal-hal yang bersifat fungsi dan peran, yang lain berarti bahwa solidarits yang muncul bukan berangkat dari kesadaran akan arti penting solidaritas, tapi lebih dikarenakan fungsi dan perannya dalam system yang ada. Dengan tipe solidaritas seperti ini, maka tampilan realitas sosial masyarakat pesisir sebenarnya mencirikan masyarakat urban.

Fakta sosial lain yang juga mewarnai kehidupan masyarakat pesisir adalah adanya struktur sosial yang ini tecermin melalui hubungan antara nelayan dan toke. Hubungan ini meski bersifat mutualistis (saling membutuhkan). Namun, secara de facto hubungan ini sebenarnya tidak equal (sejajar). Sebaliknya, semakin mengekalkan proses ketergantungan antara nelayan dengan toke.


Realitas Ekonomi

Dari realitas ekonomi, nyata sekali bahwa kehidupan nelayan memang sangat rentan dalam hal ekonomi. Terlebih-lebih ketika mereka semata-mata tergantung pada hasil penangkapan ikan dari laut. Ketika laut semakin sulit memberikan hasil yang maksimal, maka hal ini merupakan ancaman bagi keberlangsungan kehidupan ekonomi pada masa-masa selanjutnya. Meskipun dari kegiatan melaut adakalanya memberikan hasil yang melimpah, namun tak jarang pula bahkan seringkali hasilnya hanya bisa menutupi kebutuhan satu hari saja. Sementara untuk esok harinya diserahkan pada hasil tangkapan yang akan dilakukan, demikian seterusnya.

Rentannya kehidupan ekonomi nelayan ini tidak hanya ditandai oleh asset kebendaan atau materi yang mereka miliki, tapi juga menyangkut masalah ketidakmampuan mereka mengelola masalah keuangan keluarga. Potret rumah tangga nelayan biasanya diwarnai oleh pola dan gaya hidup yang belum sepenuhnya berorientasi ke masa depan. Sayangnya, memang bentuk bantuan ekonomi yang diberikan bukan malah memacu kepada kemandirian dan pemerataan, tapi akhirnya terakumulasi dan terkonsentrasi pada sekelompok individu atau perorangan.

Berbagai bentuk bantuan dalam rangka peningkatan ekonomi nelayan tradisional baik yang diberikan oleh pemerintah maupun LSM ternyata belum mampu menjawab persoalan yang sebenarnya. Banyak bantuan yang akhirnya hanya mempaankan segelintir orang, yang pada akhirnya melahirkan toke atau juragan baru di tengah-tengah komunitas nelayan. Bantuan yang diberikan pun cenderung bersifat karitatif, tanpa diiringi oleh upaya membangun kesadaran pada komunitas nelayan itu sendiri. Sehingga yang terjadi adalah bahwa bantuan yang diberikan ibarat memberikan ikan, bukan pancing.

Hubungan patron klien idealnya hubungan dimana patrin dapat menjadi pelindung bagi kliennya, dan ini menjadi hubungan diadik karena terjadi pertukaran jasa dan uang. Akan tetapi hubungan ini kemudian menjelma di masyarakat nelayan sebagai hubungan yang “memeras”. Banyak kasus dimana nelayan tidak mampu sehingga harga ikan lebih banyak ditentukan oleh toke. Secara ekonomi kemudian nelayan terus tergantung pada toke.


Realitas Kultural

Realitas budaya yang mewarnai masyarakat pesisir hingga saat ini sangat erat kaitannya dengan masalah nilai-nilai, sikap dan gaya hidup yang akrab dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kenyataannya ini sedemikian rupa sehingga dijalani setiap hari dan menjadi sebuah kebiasaan yang akhirnya sulit untuk dirubah. Dan akhirnya menjadi sebuah kewajaran dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Salah satu potret dari realitas budaya masyarakat nelayan adalah menyangkut gaya hidup. Gaya hidup ini yang adakalanya mengidentifikasi gaya hidup masyarakat di perkotaan, namun tidak sepenuhnya. Hal ini terutama tergambar dari kalangan generasi mudanya. Selain itu ada pula istilah “biar rumah condong asal gulai balomak”. Gambaran ini memberi makna kurang lebih bahwa meskipun kondisi rumah mu tumbang asalakan tetap makan enak. Ini merupaakn sebuah gambaran penilaian yang sering diberikan oleh pihak luar. Gambaran lain tentang masyarakat nelayan adalah kecenderungan untuk hidup boros. Penghasilan hari ini dihabiskan hari ini juga, sehingga akhirnya nelayan tetap berada dalam keadaan subsisten.


Realitas Politik

Bicara tentang politik barangkali lebih pas diletakkan pada tataran kebijakan. Mencermati kebijakan tersebut, kita patut prihatin karena selama 32 tahun lebih tidak ada kebijakan yang memihak atau mendukung keberadaan nelayan. Dibentuknya Menteri Perikanan dan Kelautan pada era reformasi menjadi angin segar bagi nelayan. Tetapi keberadaan kemeneterian tersebut hingga hari ini belum juga menunjukkan banyak perubahan yang signifikan terhadap kehidupan nelayan.
Malah yang justru sebaliknya munculnya kontroversi kebijakan dengan munculnya keinginan mengoperasikan trawl kembali. Sepertinya kementerian sekarang belum menyadari kesalahan paradigma pembangunan yang selama ini diorientasikan kepada pemerintahan pasar ekspor. Revolusi biru pada era orde baru merupakan konsep yang kemudian menjadi “biang” munculnya modernisasi tersebut telah mendorong munculnya alat tangkap ikan pukat harimau sebagai sebuah pilihan. Akan tetapi kemunculan alat tangkap tersebut menjadi sebuah persoalan besar bagi nelayan khususnya nelayan tradisional. Semenjak munculnya alat tangkap tersebut telah memunculkan konflik antar nelayan yang berkepanjangan baik di pantai timur maupun pantai barat Sumatera Utara. Jadi sangat ironis jika kemudian menteri memberikan lampu hijau untuk pengoperasian trawl kembali. Selain hal tersebut, isu trawl ini pula sering menjadi “santapan” para pemain-pemain politik, terutama menjelang Pemilu. Acap kali partai politik menggunakan isu trawl dan kemiskinan nelayan sebagai ajang kampanye, tetapi setelah itu persoalan tidak juga tuntas. Jadi nelayan hanya dijadikan sebagai komuditas politik semata.

Realitas kehidupan politik pada masyarakat pesisir sesungguhnya tidak terlepas dari kehidupan politik yang ada di darat. Artinya dalam percaturan politik, keberadaan masyarakat pesisir baru diperhitungkan bila saat-saat menjelang dilaksanakannya Pemilu dengan tujuan untuk mencari dukungan massa dari nelayan. Namun setelah itu tak satupun aspirasi nelayan yang berusaha untuk diperjuangkan. Nelayan dengan sendirinya menjadi ajang kepentingan politik praktis dan hanya menjadi objek ketimbang subjek.

Realitas politik masyarakat nelayan juga ditandai oleh miskinnya pemahaman tentang “pendidikan politik” dalam arti luas. Sehingga tak jarang istilah politik dimaknai sebagai sesuatu yang negatif. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Kesadaran politik di tingkat masyarakat pesisir khususnya nelayan tradisional relatif baru terbangun seiring dengan munculnya organisasi masyarakat sipil, semisal KSM, LSM maupun organisasi masyarakat sipil lainnya. (E.Suhartono)

Bila Keringat Petani Garam tak Asin Lagi

Tanggal : 7 Februari 2007
Sumber : http://acehupdate.degromiest.nl/archives/001928.php

Reporter: Cut Ida - Lhokseumawe


Sebagai daerah yang dekat dengan pesisir pantai, Kecamatan Tanah Pasir dikenal sebagai salah satu sentra produksi garam di Aceh Utara. Tak kurang dari 97 kepala keluarga menggantungkan hidup dengan memproduksi garam secara tradisional yang dikenal dengan sebutan meulancang.


Itu belum termasuk para mugee (agen) yang juga menggelayutkan hidup keluarganya dari produktivitas garam. Yang jelas, lebih dari 300 jiwa secara langsung hidup dari garam. Secara tidak langsung jumlahnya tentu lebih banyak lagi.


Dulu, setiap hari para petani garam di Desa Matang Tunong dan Kuala Cangkoi, Tanah Pasir, memproduksi garam dari air laut. Mereka bekerja di bawah terik matahari yang membakar kulit dan kepala. Sinar yang panas menyengat tidak membuat mereka mengeluh. Sebaliknya, sinar menyengat mereka sambut dengan gembira karena dari sanalah produksi garam berjalan. Sinar berlimpah, berarti penguapan air cepat terjadi, dan tinggallah butiran garam.


Para petani yang berjalan di atas lahan produksi garam dengan mendorong pengeruk adalah pemandangan sehari-hari di Matang Tunong dan Kuala Cangkoi sebelum badai tsunami datang.


Dalam satu gubuk yang biasanya memiliki satu kepala keluarga atau lebih, mampu menghasilkan 405 kilogram (kg) garam per hari. “Total produksi dalam satu hari, kira-kira 4 ton dengan luas lahan kira-kira 100 hektar,” kata Kepala Kemukiman Lapang, Tgk Zainal Abidin kepada acehkita, Sabtu (5/2). Kemukiman adalah gabungan beberapa desa terdekat.


Kini para petani garam hidup di bawah tenda pengungsian dengan berbagai persoalan yang menyertainya. Kulit mereka tidak lagi dibakar sinar matahari. Tak ada lagi keringat yang mengalir di sekujur tubuh. Kalau pun ada, itu disebabkan atap-atap tenda tidak mampu meredam panasnya matahari. Bukan dari kerja keras memproduksi garam.


“Tidak mungkin kami meulancang lagi. Lahan sudah ditutupi lumpur setinggi satu meter. Butuh waktu untuk mengeruknya. Dengan tangan tentu saja tidak mungkin,” kata Ibrahim (48), seorang petani garam di Tanah Pasir. Bersama istri dan empat anaknya, lelaki berkulit hitam itu kini tinggal bersama ribuan pengungsi di lapangan belakang pasar Tanah Pasir. Saat ditemui sore itu, ia sedang mengangkut air dari mobil tanki milik PDAM Tirta Mon Pase.


Ibrahim mengaku tak bisa melakukan apa-apa lagi selain menunggu. Hidup keluarganya pun digantungkan pada bantuan yang diberikan kepada pengungsi dengan lauk pauk seadanya. Terkadang mereka memang menikmati ikan segar, tapi lebih sering ikan asin dengan kualitas rendah.


“Tapi yang lebih susah bila anak-anak minta jajan. Mengungsi dekat pasar susah. Setiap saat anak-anak melintasi orang jualan. Namanya juga anak-anak. Mana tahu mereka orang tuanya lagi susah. Terpaksa saya mengutang dari orang lain. Masalahnya, orang lain sekarang hidupnya seperti saya. Belum bisa bekerja....” tambah Ibrahim.


Keluhan senada juga datang dari Ben Arifin (50). Sehari-hari, lelaki empat anak itu memang tidak memproduksi garam. Tapi Ben adalah mugee garam. Sebelum bencana tsunami datang, ia membeli garam dari petani di Matang Tunong dan Kuala Cangkoi kemudian menjualnya ke beberapa kecamatan di sekitar Tanah Pasir seperti Syamtalira Aron, Lhoksukon, atau Geudong. Karena kendaraan yang digunakan hanya sepeda butut, daya jelajah Ben memang terbatas.


“Kini sepedanya pun sudah hanyut dibawa air,” katanya.


Saat menyaksikan percakapan wartawan dengan sejumlah petani garam, Ben mengira ada pihak yang akan membagi-bagikan bantuan. Ia bertanya apakah setelah didata akan datang bantuan untuk mereka. Begitu bergantungnya pengungsi dari kemurahan orang lain sehingga wartawan datang sering dikira pihak yang akan menyalurkan bantuan.


Seorang pedagang angsuran pakaian, M Majid Daud (38), juga mengaku tidak bisa melakukan apa-apa setelah berada di bawah tenda pengungsian. Sebelumnya, penduduk Desa Kuala Keureuto itu menjelajahi setiap desa untuk menjajakan dagangannya. Pasarnya selama ini adalah desa pesisir di Tanah Pasir seperti Kuala Cangkoi, Matang Baroh, Matang Tunong, Keude Lapang, dan Kuala Keureuto.


“Sekarang aktivitas masyarakat di desa terhenti. Otomatis daya belinya juga turun. Jadi, kalaupun saya berjualan, tidak ada yang beli. Bahkan orang yang mengangsur pakaian sampai hari ini belum bisa bayar,” kata Majid.


Namun, ketika ditanyakan mengapa ia tidak menjajakan dagangannya ke desa yang tidak terkena tsunami, lelaki itu terdiam lama. Kemudian dia kembali mengatakan bahwa saat ini masyarakat tidak memiliki aktivitas sehingga tidak mempunyai penghasilan. Bencana tsunami telah membuat banyak masyarakat kehilangan pekerjaan. “Karena itu kami butuh pekerjaan...”


“Tapi Bapak bisa berjualan di desa yang tidak terkena tsunami. Masyarakat di sana, kan, tidak kehilangan pekerjaan. Mereka juga tidak hidup di tenda pengungsian.”


Pedagang pakaian angsuran itu kembali terdiam.


***


Tanah Pasir memang termasuk salah satu kecamatan di Aceh Utara yang paling parah tingkat kehancurannya dan menelan korban jiwa paling banyak. Menurut Camat Tanah Pasir, Abu Bakar, sebanyak 1.080 kepala keluarga atau 3.820 jiwa kini hidup di bawah tenda pengungsian.


Mungkin karena alasan tingkat kerusakan paling tinggi, Tanah Pasir selalu menjadi pilihan pejabat pusat yang ingin melihat langsung daerah-daerah yang diterjang tsunami. Selain Muara Batu, Pemkab Aceh Utara selalu mengarahkannya ke Tanah Pasir, seperti dulu sebelum Pemkot Lhokseumawe lahir, di mana Pusong selalu dijadikan sampel tingkat kemiskinan di Aceh Utara.


Keluhan para pengungsi memang lebih banyak terdengar dibandingkan rencana mereka menata masa depan. Padahal, masih banyak yang bisa mereka lakukan kendati dalam kondisi yang serba terbatas. Hal itulah yang ditunjukkan keluarga Badriah (49), yang sore itu ditemui sedang membersihkan lahan produksi garam.


Bersama empat anggota keluarganya, perempuan itu mengeruk lumpur yang menutupi lahan mereka. Di beberapa sudut terlihat tumpukan lumpur yang menggunung sebelum dibuang ke daratan.


“Kami harus membuang lumpur ini dulu sebelum bisa memproduksi garam,” kata Badriah yang hanya bekerja dengan peralatan seadanya. Ia memperkirakan, pekerjaan itu bisa diselesaikan dalam seminggu mengingat tebalnya lumpur yang dikirim tsunami dari dasar laut.


Tidak ada keluhan dari mulutnya tentang keterbatasan yang ada. Bahkan, perempuan itu tampak tersenyum-senyum ketika wartawan TV mengambil gambarnya yang sedang bekerja. “Ka tamoeng TV lom,” katanya. Terjemahannya; sudah masuk TV lagi.


Sayangnya, semangat Badriah tidak bisa ditularkan kepada petani garam lain yang juga menjadi korban tsunami. Dari 97 KK yang hidup dari kegiatan meulancang seperti yang disebutkan Kepala Mukim, Zainal Abidin, baru satu keluarga yang mulai bekerja membersihkan lahan. Selebihnya, masih berdiam diri di bawah tenda pengungsian.


Menurut Zainal, masyarakat pesisir di Tanah Pasir sebenarnya sudah jenuh hidup menjadi pengungsi tanpa kegiatan apa pun. Namun di antara mereka banyak yang tidak bisa memulainya karena tidak memiliki alat untuk bekerja.


“Yang nelayan sudah kehilangan perahu, yang mugee pisang sudah kehilangan sepeda. Tanpa peralatan seperti itu, mereka tentu tidak bisa bekerja,” katanya.


Karena itu dia sangat mendukung dengan rencana pemerintah yang dibantu lembaga swadaya masyarakat untuk menyerahkan 50 unit perahu kepada nelayan agar bisa bekerja. Namun bantuan sarana penunjang pekerjaan diharapkan juga diberikan kepada warga yang berprofesi lain, ya seperti petani garam itu.