Dilema Pembangunan Masyarakat Pesisir Laut Lombok Barat

Tanggal : 12 September 2007
Sumber : http://lombokbarat.go.id/index/articleview.php?go=3

Oleh : Pangkat Ali


Cobalah kita berjalan menelusuri perkampungan di pesisir pantai sebagian wilayah Lombok Barat (Lobar). Maka akan tampak oleh kita, seraut potret kehidupan masyarakat pesisir yang masih tergolong buram. Wajah buram tersebut identik dengan kemiskinan.


Potret kehidupan masyarakat di pesisir laut Lobar, masih tergolong buram. Barangkali itulah ungkapan kalimat yang tepat untuk menggambarkan rona kehidupan pembangunan masyarakat pesisir yang dilematik dan kontradiktif. Walaupun gambaran tersebut kurang mengenakkan dipendengaran, namun fakta yang kita hadapi umumnya memang demikian.


Dikatakan kontradiktif bahwa, mereka masyarakat pesisir itu, hidup miskin di tengah-tengah kekayaan sumber daya alam pesisir dan laut yang berlimpah ruah. Memang nampak menyedihkan dan dilematis tampaknya.


Sekarang timbul pertanyaan. Benarkan Lobar kaya dengan potensi sumber daya pesisir dan laut? Secara fisik, daerah ini memiliki potensi tersebut yang cukup besar. Karena luas lautnya mencapai 1.352,49 Km2, terbentang dari perairan laut Lobar bagian Utara hingga ke selatan di bangko-Bangko nan jauh di sana. Perairan tersebut dikelilingi oleh garis pantai yang cukup panjang yakni, 182,57 Km2 (data: Lombok Barat Dalam Angka Tahun 2003) Dan di dalamnya terdapat ekosistem terumbu karang yang banyak dan aduhai indahnya. Karena alasan keindahan inilah mungkin, ada pengamat menilai terumbu karang seperti ini hanya ada di dua tempat yakni, di Lobar dan laut Karibia.


Ekosistem penting lainnya yang terpendam adalah, padang panun atau air yang menutupi karang, rumput laut, pantai berpasir dan ekosistem lainnya. Selain itu juga, ada potensi lestari yang dimiliki. Tercatat cukup banyak. Sementara tingkat pemanfaatannya relatif masih rendah. Meskipun tidak dilampiri dengan data-data riil, namun knyataan di lapanganlah yang berkata jujur. Bahkan belum dimanfaatkan sama sekali.


Demikian pula halnya di perairan payau (tambak) untuk udang, bandeng dan komoditas lainnya. Selama ini pengembangannya belum ada terdengar muncul ke permukaan. Kecuali pengembangan budidaya mutiara di wilayah Kecamatan sekotong. Namun berangsur-angsur prosfek itu tenggelam seketika.


Dengan potensi kawasan pesisir dan laut Lobar yang begitu menggiurkan, ironisnya, masyarakat yang mendiami dan menaruh harapan hidup dari kemurnian rahmat Allah yang terpendam di kawasan pesisir dan laut itu, tetap saja tergolong warga Negara yang belum beruntung, alias miskin. Ada apa sebenarnya dengan manajemen pembangunan pesisir dan lautan di Lobar? Sehingga masyarakat pesisir belum dapat menikmati hasil pembangunan di wilayahnya secara maksimal?


Jujur saja kita akui bahwa, pembangunan yang telah dilaksanakan, belum mengacu pada perencanaan terpadu. Secara fisik memang sebagian kecil atau belum meratanya secara maksimal pelaksanaan proyek yang dialokasikan pada lingkungan masyarakat pesisir. Katakan saja seperti, proyek Pemugaran Perumahan dan Lingkungan secara Terpadu (P2LDT) yang dikhususkan untuk penanggulangan kemiskinan. Semuanya belum bisa tersentuh secara merata.


Tragisnya, kebanyakan program pengembangan tersebut tidak diskenariokan untuk pemberdayaan masyarakat pesisir itu sendiri. Karena, sosok pembangunan kelautan sebagai leading sector dalam wacana otonomi daerah, harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.


Selain itu, plaku pembangunan harus memiliki tolok ukur. Artinya, harus memberikan keuntungan secara signifikan terhadap semua pelaku usaha di dalamnya dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selanjutnya harus memberikan dampak ekonomi secara makro dalam peningkatan perolehan, serta dilaksanakan secara berkelanjutan. Tidak hanya secara ekonomi, tapi juga secara ekologis.


Yang jelas, dari dana yang cukup tersedia, baik dari APBD maupun APBN, para pelaku pembangunan, bisa mengaplikasi progam ke wilayah penduduk pesisir. Sehingga tidak terkesan adanya kecemburuan sosial yang harus membuka mata bagi para lembaga sosial masyarakat di Lobar ini.


Optimisme dalam melakukan scenario yang antara lain bisa melalui sosialisasi, sebagai salah satu strategi alternatif yang harus dilakukan. Karena tidak ada ajaran agama manapun melarang untuk selalu memperhatikan kaum yang lemah (dhuafa), sekaligus nasib lingkungan.


Hal tersebut adalah sebagai sebuah pilihan strategis yang merupakan keharusan. Karena ajaran agama manapun menganjurkan untuk selalu memperhatikan nasib kaun dhuafa dan lingkungan.


80 Persen Penduduk Bermukim di Wilayah Pesisir Hidup dalam Kemiskinan

Tanggal : 10 September 2007
Sumber : http://www.ppk.lipi.go.id/informasi/berita/berita_detil.asp?Vnomer=790


Guna pemerataan pembangunan di Sumatera Utara, Pemprovsu saat ini fokus dengan pembangunan di kawasan pesisir. Bahkan Pemprovsu berkomitmen untuk membangun dan mengembangkan potensi kawasan pesisir dan pulau-pulau terluar di Sumut.


Untuk melakukan percepatan pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau terluar di Sumut, perlu dibuat Ranperda (Rancangan peraturan Daerah) sebagai payung hukum.


Kini Ranperda tersebut telah digodok di Biro Hukum Setdaprovsu untuk selanjutnya dibahas di DPRD Sumut. Dan diharapkan tahun ini Perda mengenai wilayah pesisir pantai sudah disahkan.


“Pemprovsu sudah menyusun master plan Agromarinepolitan yang dituangkan dalam draft Ranperda tentang Pembangunan Kawasan Pesisir Pantai dan Pulau-pulau Terluar yang diharapkan akhir 2007 sudah disahkan menjadi perda,” jelas Kepala Bappedasu Drs RE Nainggolan MM didampingi Kasubbid Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Sumut Ir Mulyadi Simatupang MSi kepada wartawan, akhir pekan lalu.


Menurutnya, penduduk miskin di pesisir di timur dan barat Sumatera Utara (terdiri dari 16 daerah), ternyata jauh lebih besar dibanding dataran tinggi yang meliputi 10 kabupaten/kota lainnya di Sumut.


PENDIDIKAN


Kemiskinan di kawasan pesisir Sumut ini akibat tingkat pendidikan masyarakatnya masih kalah rendah dari pendidikan masyarakat yang berada di dataran tinggi.


Dijelaskan, Presiden memang sudah mengeluarkan UU No. 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.


Salah satu amanat dalam UU itu kata Nainggolan adalah, kepada daerah diminta membuat dokumen rencana pengelolaan yang terdiri dari renstra dan rencana zonasi, rencana pengelolaan dan lainnya.


Namun, khusus di wilayah Indonesia bagian barat UU ini belum diterapkan, sedangkan untuk Indonesia bagian Timur UU ini sudah berjalan.


Pada tanggal 29 Agustus hingga 1 September 2007 lalu, Pemerintah pusat melalui Bakosurtanal mengundang Pemprovsu untuk menggelar pameran di Jakarta Convention Centre yang dibuka oleh Menristek RI, Kusmayanto Kadiman.


Di Sumut, kegiatan MCRMP ini meliputi 3 kabupaten yakni, Asahan, Langkat dan Deliserdang sudah berjalan sejak tahun 2003 lalu.


Tujuan dari keseluruhan proyek MCRMP ini adalah untuk meningkatkan pengelolaan berkelanjutan sumber daya laut dan pesisir untuk melestarikan dan meningkatkan keanekaragaman hayati serta untuk melindungi lingkungan hidup dalam kerangka otonomi daerah.


Sedangkan program agromarine tujuannya adalah lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat pasisir (16 daerah/kawasan pesisir) di Sumut yang sejak tahun 2006 lalu didah digalakkan.


Rencana membangun kawasan pesisir di Sumut sudah digalakkan melalui program Agromarinepolitan, namun hanya sebatas bersifat instant, karena belum memiliki payung hukum. Diharapkan payung hukumnya akan disyahkan tahun ini, agar program pembangunan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.


Implementasi keberhasilan program Agromarinepolitan yang menjadi tanggungjawab bersama 16 kabupaten dan kota, serta provinsi bisa memadukan antara perda-perda yang dimiliki daerah dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP).


Karena tingkat pendidikan masyarakat pesisir rendah, maka pemanfaatan kekayaan SDA yang dimiliki menjadi tidak maksimal.


“Sebagai contoh. Dari 140 juta penduduk Indonesia yang bermukim di wilayah pesisir, 80 persen di antaranya hidup dalam kemiskinan. Oleh sebab itu, membenahi pendidikan harus menjadi kata kunci dalam pembangunan kemasyarakatan Wilayah Pesisir Sumut,” tegasnya. (di)


Ranperda Pembangunan Kawasan Pesisir Pantai Akhir 2007 Disahkan

Tanggal : 10 September 2007
Sumber : http://www.bainfokomsumut.go.id/detail.php?id=2651

Guna pemerataan pembangunan di Sumatera Utara, Pemprovsu saat ini fokus dengan pembangunan di kawasan pesisir. Bahkan Pemprovsu berkomitmen untuk membangun dan mengembangkan potensi kawasan pesisir dan pulau-pulau terluar di Sumut.

Untuk melakukan percepatan pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau terluar di Sumut, perlu dibuat Ranperda (Rancangan peraturan Daerah) sebagai payung hukum.

Kini Ranperda tersebut telah digodok di Biro Hukum Setdaprovsu untuk selanjutnya dibahas di DPRD Sumut. Dan diharapkan tahun ini Perda mengenai wilayah pesisir pantai sudah disahkan.

“Pemprovsu sudah menyusun master plan Agromarinepolitan yang dituangkan dalam draft Ranperda tentang Pembangunan Kawasan Pesisir Pantai dan Pulau-pulau Terluar yang diharapkan akhir 2007 sudah disahkan menjadi perda,” jelas Kepala Bappedasu Drs RE Nainggolan MM didampingi Kasubbid Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Sumut Ir Mulyadi Simatupang MSi kepada wartawan, akhir pekan lalu.

Menurutnya, penduduk miskin di pesisir di timur dan barat Sumatera Utara (terdiri dari 16 daerah), ternyata jauh lebih besar dibanding dataran tinggi yang meliputi 10 kabupaten/kota lainnya di Sumut.

PENDIDIKAN

Kemiskinan di kawasan pesisir Sumut ini akibat tingkat pendidikan masyarakatnya masih kalah rendah dari pendidikan masyarakat yang berada di dataran tinggi.

Dijelaskan, Presiden memang sudah mengeluarkan UU No. 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Salah satu amanat dalam UU itu kata Nainggolan adalah, kepada daerah diminta membuat dokumen rencana pengelolaan yang terdiri dari renstra dan rencana zonasi, rencana pengelolaan dan lainnya.

Namun, khusus di wilayah Indonesia bagian barat UU ini belum diterapkan, sedangkan untuk Indonesia bagian Timur UU ini sudah berjalan.

Pada tanggal 29 Agustus hingga 1 September 2007 lalu, Pemerintah pusat melalui Bakosurtanal mengundang Pemprovsu untuk menggelar pameran di Jakarta Convention Centre yang dibuka oleh Menristek RI, Kusmayanto Kadiman.

Di Sumut, kegiatan MCRMP ini meliputi 3 kabupaten yakni, Asahan, Langkat dan Deliserdang sudah berjalan sejak tahun 2003 lalu.

Tujuan dari keseluruhan proyek MCRMP ini adalah untuk meningkatkan pengelolaan berkelanjutan sumber daya laut dan pesisir untuk melestarikan dan meningkatkan keanekaragaman hayati serta untuk melindungi lingkungan hidup dalam kerangka otonomi daerah.

Sedangkan program agromarine tujuannya adalah lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat pasisir (16 daerah/kawasan pesisir) di Sumut yang sejak tahun 2006 lalu didah digalakkan.

Rencana membangun kawasan pesisir di Sumut sudah digalakkan melalui program Agromarinepolitan, namun hanya sebatas bersifat instant, karena belum memiliki payung hukum. Diharapkan payung hukumnya akan disyahkan tahun ini, agar program pembangunan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Implementasi keberhasilan program Agromarinepolitan yang menjadi tanggungjawab bersama 16 kabupaten dan kota, serta provinsi bisa memadukan antara perda-perda yang dimiliki daerah dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP).

Karena tingkat pendidikan masyarakat pesisir rendah, maka pemanfaatan kekayaan SDA yang dimiliki menjadi tidak maksimal.

“Sebagai contoh. Dari 140 juta penduduk Indonesia yang bermukim di wilayah pesisir, 80 persen di antaranya hidup dalam kemiskinan. Oleh sebab itu, membenahi pendidikan harus menjadi kata kunci dalam pembangunan kemasyarakatan Wilayah Pesisir Sumut,” tegasnya. (ana)

Ekowisata Berbasis Penyu, Di Pesisir Selatan, Padukan Kepentingan Ekonomi dan Ekologi

Tanggal : 7 September 2007
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan.php?dw.214

Sebagai satu-satunya kawasan konservasi penyu di Pulau Sumatera Pemkab Pesisir Selatan (Pessel), Sumbar, akan membuka objek wisata penyu bertelur untuk menarik wisatawan lokal maupun mancanegara, sekaligus sebagai upaya pelestarian hewan tersebut dari ancaman kepunahan. Pulau ini ditetapkan sebagai kawasan pusat konservasi melalui SK Bupati Pessel pada Maret 2006 dengan payung hukum UU No.31/2004 tentang perikanan. "Konsep wisata tersebut sedang susun dan diharapkan segera terealisasi menjadi objek baru yang menarik untuk dikunjungi wisatawan," ujar Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sumbar, Ir. Yosmeri di Painan, Pessel seperti yang dikutib dari Antara beberapa waktu yang lalu.

Sebenarnya bagaimanakah pengembangan yang paling baik bagi ekowisata penyu laut ini agar bisa memadukan kepentingan ekonomi dan ekologi? .Padahal ekowisata berbasis penyu dianggap menjadi piranti yang tepat sebagai sumber pendapatan alternatif berdasarkan Rencana Aksi Nasional Konservasi Penyu Laut pada tahun 2001 (RAN-2001).

Ekowisata berbasis penyu laut tepat diterapkan di Perairan Sumatera Barat, khsususnya di Pesisir Selatan. Selain akan membuat Pesisir Selatan menjadi destinasi wisata dengan keunikan tersendiri, ekowisata berbasis penyu juga akan berperan penting dalam melestarikan kekayaan hayati. Hal itu diungkapkan Kasubdin Penangkapan Dinas Perikanan Pesisir Selatan, Ir. Edwil ,di sela-sela kuliah Konservasi dan Rehabilitasi Habitat Perairan, Pesisir dan Kelautan Pascasarjana UBH, Sabtu (1/8-07) kemarin, mendukung gagasan Yosmeri yang sampai saat ini masih sebagai kepala Dinas Perikanan Pessel.

Menurutnya, perairan Indonesia dikaruniai enam spesies dari tujuh spesies penyu laut yang masih tersisa di bumi. Namun, seperti halnya di negara-negara lain, populasi yang ada di Indonesia juga tidak luput dari ancaman kepunahan. Peraturan pemerintah (PP) untuk melindungi keberadaan penyu laut ini pun agaknya tidak mempan untuk menurunkan dan mencegah terjadinya perdagangan penyu dan telurnya. Bahkan, karena tingginya perhatian internasional terhadap satwa yang masuk dalam Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) Apendix 1.

Dari kaca mata industri pariwisata, Perairan Sumbar khususnya Pesisir Selatan relatif masih perawan dan belum tersentuh eksploitasi mega proyek seperti yang dialami Bali. Dengan kekayaan yang cukup lestari, Pessel lebih gampang memulai dan mengembangkan ekowisata dibandingkan Bali. Ekowisata ini menjadi penting karena sejumlah pulau di daerah ini sebagai daerah peneluran dan penetasan penyu laut.

''Tiap upaya konservasi penyu laut berpeluang besar memperoleh perhatian dan dukungan dari dunia internasional. Exspose di tingkat global, tentunya akan sangat menguntungkan bagi industri pariwisata Sumatera Barat,'' kata Edwil seraya menambahkan, ekowisata berbasis penyu pun menjadi lahan subur sumber pendapatan alternatif masyarakat.
Pada dasarnya pengambilan penyu dan telurnya secara untuk diperdagangkan, sebaiknya jangan. Sebab, menurut Manajer Konservasi Penyu Laut World Wildlife for Nature (WWF) drh. IB Windia Adnyana, Ph.D., keunikan siklus hidup penyu laut sangat menjanjikan untuk dijadikan daya tarik pariwisata. ''Makin tingginya kesadaran masyarakat dunia terhadap lingkungan, kebutuhan untuk menikmati objek wisata yang ramah lingkungan makin besar,'' paparnya. Dikatakan Windia, aktivitas yang sifatnya konvensional seperti pengamatan aktivitas perkawinan saja sudah mampu menarik minat wisatawan. Apalagi, jika kemasannya memadai dan bernilai jual tinggi, tentu paket-paket wisata penyu laut ini akan makin diminati. Saat ini beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Filipina dan Australia sudah berhasil mengembangkan ekowisata penyu laut,(dari berbagai sumber).

Sejalan dengan RAN-2001, pengembangan ekowisata berbasis penyu sudah mulai dilakukan di beberapa daerah yang menjadi tempat pendaratan penyu, di antaranya di Taman Nasional Meru Betiri (TMNB), Kepulauan Derawan, Tanjung Benoa dan Serangan (Bali) serta Sukabumi. Namun, berdasarkan data dari berbagai sumber , belum ada satu daerah pun yang berhasil memadukan kegiatan pariwisata dan ekologi dengan memuaskan. Padahal, dengan melihat makin menurunnya populasi penyu yang ada di Indonesia, upaya tersebut sangat penting untuk dilakukan.

Rencana ekowisata berbasis penyu di Pesisir Selatan ini sebagai wisata penyu bertelur sejalan dengan ditetapkannya Pessel sebagai pusat konservasi penyu di wilayah Indonesia bagian Barat oleh pemerintah. Terkait penetapan itu, di Pulau Karebak Ketek Pessel kini telah dibangun berbagai fasilitas penangkaran penyu dan melestarikan pantai-pantai di pulau itu sebagai tempat penyu bertelur. Selain fasilitas penangkaran, juga telah dibangun dua unit rumah penginapan untuk wisatawan yang datang. Pembangunan kawasan konservasi dan dipadukan objek wisata tersebut didanai dengan dana APBN 2006 mencapai Rp1 miliar. Pulau Kerabak Ketek dengan luas sekitar empat hektar juga telah dibebaskan Pemkab Pessel dari pemilik ulayatnya dengan dana pembelian sebesar Rp200 juta pada tahun 2006.

Menurut Yosmeri rata-rata ada satu hingga tiga ekor induk penyu yang bertelur di pulau tersebut tiap malamnya. Angka ini relatif kecil mengingat satu ekor penyu betina bisa menghasilkan telur sekitar 100 butir. Meski dari segi populasi cenderung menurun, sektor pariwisatanya cukup menjanjikan. Kegiatan tersebut secara tidak langsung meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar.

Edwil juga menambahkan bahwa program penangkaran yang dilakukan di Pulau Karabak berjalan cukup baik. Terjadi peningkatan jumlah penyu betina yang mendarat, jumlah telur serta jumlah tukik yang berhasil ditetaskan dan dilepaskan ke laut. Diakuinya, selama ini Dinas Perikanan Pessel baru melakukan ekowisata secara terbatas, karena pada mulanya kegiatan penangkaran tersebut belum ada maksud untuk dikembangkan sebagai atraksi pariwisata. Namun, melihat tingginya potensi keuntungan ekonomi dari kegiatan wisata alam ini, DKP berencana akan meningkatkan kegiatan yang sifatnya pariwisata dengan tetap memperhatikan lingkungan.

Agaknya penanganan penyu laut sebagai ekowisata perlu dilakukan secara berkoordinasi, tidak mungkin membangun ekowisata di lokasi-lokasi peneluran, karena di beberapa pulau-pulau kecil lainnya di perairan Sumatera Barat juga terdapat lokasi tempat penyu bertelur. Sehingga pengembangan industri pariwisata yang memadukan ekonomi dan ekologi bisa tercapai. Dalam hal ini, pemerintah pusat pun mempunyai peran yang sangat sentral mengingat diperlukan peraturan-peraturan yang lebih tegas untuk mengurangi adanya perdagangan penyu secara ilegal. Jadi melalui pengembangan ekowisata berbasis penyu yang melibatkan semua stake holders keinginan untuk memanfaatkan penyu secara ekstraktif bisa dikurangi, bahkan dihentikan. Kegiatan ekowisata ini sekaligus juga memberikan dana bagi pengawasan dan pembudidayaan penyu laut tersebut.

Masyarakat Pesisir Alami Kebodohan

Tanggal : 3 September 2007
Sumber : http://www.waspada.co.id/Berita/Medan/Masyarakat-Pesisir-Alami-Kebodohan.html


Medan, Guru Besar Ekonomi USU Prof Bachtiar Hasan Miraza menegaskan, persoalan yang menyelimuti kehidupan masyarakat pesisir pantai bukan kemiskinan tetapi adalah kebodohan akibat tingkat pendidikan rendah.

Bachtiar mengungkapkan hal itu pada seminar "Pembangunan Masyarakat Pesisir di Sumut" di Gedung Bina Graha Jalan P. Diponegoro Medan, Sabtu (1/9).

Menurut Bachtiar, kebodohan masyarakat pesisir itu diperparah lagi dengan nyaris tidak adanya perhatian sungguh-sungguh pemerintah untuk melakukan pembinaan dan perbaikan.
Kebodohan itu merupakan pangkal utama dan akar masalah yang menyebabkan masyarakat pesisir menjadi miskin. Bukan sebaliknya kemiskinan yang menjadikan mereka bodoh. "Persoalan ini harus dipecahkan."

Bachtiar mengatakan, lebih memprihatinkan lagi, keberadaan dan eksistensi masyarakat pesisir di peralat oleh mayarakat kota untuk memenuhi kebutuhannya terhadap hasil laut.

Masyarakat pesisir dijadikan sebagai alat produksi. "Kita hanya selalu berbicara tentang produksi, tetapi tidak pernah mempersoalkan siapa yang memproduksi," kata Bachtiar yang juga Ketua Program Magister dan Doktor juga pakar Perencanaan Wilayah Pascasarjana USU.

Pendekatan Agromarinepolitan
Sementara itu, jumlah penduduk miskin di pesisir di timur dan barat Sumatera Utara (terdiri dari 16 daerah), ternyata jauh lebih besar dibanding dataran tinggi dan pegunungan yang meliputi 10 daerah. Kemiskinan di kawasan pesisir Sumut ini akibat tingkat pendidikan masyarakatnya masih kalah rendah dari pendidikan masyarakat di dataran tinggi.

Menurut Bachtiar, rencana membangun kawasan pesisir Sumut melalui program Agromarinepolitan, akan lebih berhasil bila dilakukan melalui pendekatan kebodohan atau pembangunan bidang pendidikan.

"Kalau pembangunan didorong melalui pendekatan kemiskinan (peningkatan infrastruktur) lebih dulu, maka efeknya akan membuat masyarakat menjadi manja dan konsumtif," tutur Bachtiar pada acara yang digelar Badan Perencana Pembangunan (Bappeda) Sumut itu.

Menjawab pertanyaan Kadis Perikanan Asahan, Syafaruddin Harahap tentang pengalamannya ketika menjadi camat di Medang Deras, melihat banyaknya tempat jualan makanan dan itu tetap laku. Selain itu, setiap musim buah Kota Medang Deras selalu banjir buah dan tetap habis.

Kondisi itu, kata putra kelahiran Sidempuan ini, membuktikan persoalan yang dihadapi nelayan bukan kemiskinan tetapi belum pandai mengelola pendapatan.

Sedang R Hamdan Harahap dalam makalanya Pembinaan Sosial Budaya dan Politik Masyarakat Pesisir Sumut menyebutkan, wilayah pesisir, laut, merupakan kawasan dengan produktivitas hayati tinggi.

Selain itu juga merupakan konsentrasi pusat kegiatan; pariwisata, poerbhubungan, perindustrian, permukimna, perikanan, peternakan dan keamanan. Apalagi 60 persesn penduduk dunia bermukim di wilayah pesisir berlaku rezim ekses terbuka.

Rentan terhadap kerusakan biofisika lingkunga konflik pengelolaan dan ketidak pastian hukum. Di samping mekanisme pengelolaan wilayah pesisir terpadu dengan pendekatan sosial budaya dan politik. Turut sebagai pembicara Kepala Bappedasu RE Nainggolan.

Sementara itu, sejumlah peserta seminar seperti Kepala Dinas Perikanan Kota Medan, Wahid Lubis menyarankan agar leading sector pembangunan kemasyarakatan pesisir Sumut ini berada di bawah Bappeda Sumut. Sehingga program yang dibuat untuk mengentaskan kemiskinan bisa disinergikan mulai dari provinsi hingga kabupaten/kota. Kepala Bappeda Sumut RE Nainggolan juga bertindak sebagai pembicara, dia juga sependapat dengan kondisi itu dan cara menanggulangi perlu pendekatan Agromarinepolitan

Seminar sehari ini dihadiri para Kadis Perikanan wilayah pesisir, instansi terkait, para mahasiswa S3, LSM, Kepala Bapeda Deliserdang Ir Irman Dj Oemar, MSi dibuka Sekdaprovsu diwakil Kadis Perikanan dan Kelautan Ir Yosep Sisyanto.