44 Persen nelayan di Indonesia hidup dibawah ambang kemiskinan


Tanggal : 26 Januari 2008

Sumber: http://www.purbalinggakab.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1112&Itemid=159&lang=


Sekitar 16,2 juta nelayan di Indonesia atau sekitar 44 persen dari jumlah nelayan yang mencapai 37 juta jiwa hidup dibawah ambang kemiskinan. Kesejahteraan nelayan hanya di angan-angan saja. Mereka seolah mendapat perlakuan yang berbeda dibanding nasib petani.

“Selama ini, pemerintah selalu menganaktirikan nelayan dengan pertanian. Padahal jika dilihat dari kenyataan, pertanian yang selalu diberikan berbagai subsidi dan bantuan, masih saja tak bisa bergerak bahkan hampir seluruh komoditas pertanian semuanya impor,“ ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPP HNSI), Yussuf Solichien Martadiningrat kepada nara sumber Espos disela-sela menghadiri prosesi sedekah laut, Jum’at (18/1).

Yussuf mempertanyakan soal subsidi untuk nelayan. Pemerintah semestinya harus merubah pemikirannya. Negeri ini bukan negara agraris, tetapi negara maritim, dua per tiga wilayah Indonesia itu lautan. “Maka saat ini nelayan harus bangkit menuju kesejahteraan," kata Yussuf.

Dengan kondisi semacam tersebut, Yussuf menyatakan, ada sejumlah tuntutan kepada pemerintah terkait kesejahteraan nelayan, diantaranya pemerintah harus memberikan jaminan kesehatan bagi nelayan dan keluarganya. Nelayan dan keluarganya harus diberikan pendidikan yang layak. Pemerintah harus memperlakukan nelayan sama seperti pada petani, yaitu diberikan subsidi. Nelayan harus diberikan keringanan pajak serta pemerintah harus menjamin keselamatan nelayan. Nelayan juga mengharapkan bantuan berupa bibit ikan untuk budidaya, bibit rumput laut, dan sejumlah subsidi lain untuk kesejahteraan nelayan.

Yussuf mengusulkan perlunya program pemberdayaan bagi nelayan. Program itu diantaranya pemberdayaan keluarga nelayan khususnya kaum perempuan yakni melalui pelatihan ketrampilan sehingga mereka bisa memperoleh penghasilan tambahan diluar nelayan. "Kami juga ingin meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui berbagai budidaya yang dapat dikembangkan seperti ikan dan rumput laut," kata Yussuf.

Nelayan Harus Mendapat Perlakuan Adil

Tanggal: 19 Januari 2008
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0801/19/eko02.html

Cilacap-Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) menegaskan, pemerintah harus memberikan perlakuan yang sama terhadap nelayan seperti halnya petani. Indonesia adalah negara maritim, sehingga porsi anggaran untuk sektor kelautan dan perikanan juga harus besar.

”Selama ini negara sudah terbentuk dengan paradigma agraris, sehingga negara cenderung mengabaikan sektor kelautan,” sesal Ketua Umum HNSI Yusuf Solichin Martadiningrat, Jumat (18/1).

Yusuf menyebutkan bentuk perlakuan yang tidak adil itu terlihat dari pemberian subsidi yang sangat besar terhadap pertanian, seperti subsidi pupuk, benih, dan obat-obatan. Di lain pihak, lanjutnya, perikanan hampir tidak mendapat subsidi. Yang diperoleh hanya subsidi solar untuk nelayan, dengan harga Rp 4.300 per liter, itu pun suplainya tersendat-sendat. Akibatnya, nelayan mencampur solar dengan minyak tanah meski diketahui hal itu dapat mempercepat kerusakan mesin.

”Nelayan tidak punya pilihan lain, karena pasokan terbatas mereka mencampur solar dengan minyak tanah. Kenaikan harga BBM akan mematikan nelayan,” kata Yusuf yang baru terpilih sebagai ketua umum HNSI pada Desember 2007.

Menurutnya, nelayan selama ini termarginalkan sehingga kemiskinan sangat melekat dengan nelayan. Kemiskinan membuat nelayan lebih banyak menjadi buruh nelayan, sebab tidak memiliki modal dan alat produksi yang memadai.

Ia menegaskan nelayan harus mendapat kemudahan berusaha, karena itu pemerintah berperan memfasilitasinya. Pemerintah, lanjutnya, bisa memberika insentif atau bantuan dalam bentuk lain untuk memberdayakan nelayan.

Hal yang juga disoroti Yusuf adalah pemberantasan illegal fishing (pencurian ikan) yang salah kaprah. Dia menegaskan banyak nelayan yang dianggap melakukan pencurian ikan, padahal nelayan tidak sepatutnya dituduh seperti itu, sebab lokasi mereka menangkap ikan masih di wilayah Indonesia.

“Kita setuju nelayan harus patuh, tapi aparat hendaknya juga jangan memperlakukan mereka seolah pencuri ikan. Kapal-kapal asing yang beroperasi di wilayah laut Indonesia yang harus diawasi,” tegas Yusuf.
(naomi siagian)

Gali Potensi Bahari dan Kualitas Masyarakat Pesisir

Tanggal : 18 Januari 2008
Sumber : http://www.suarasurabaya.net/v05/kelanakota/?id=cc0735420cd1709b0e56ceaffc943380200848329

suarasurabaya.net| Ocean Week (OW3) ini merupakan kegiatan paling besar bila dibandingkan sebelumnya. Akan ada 5 kegiatan besar yang mengusung kepentingan kaum pesisir.

Kegiatan yang diprakarsai BEM ITS tahun 2008 kali ini bertema "Bahari sebagai Penggerak Kemajuan Bangsa".

Dengan prinsip di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, OW3 mengadakan pengobatan gratis dan penyuluhan sebagai kegiatan pembuka di Trikis daerah pesisir di Yogyakarta.

"Daerah pesisir ini sengaja dipilih, karena hanya 5% masyarakatnya yang bermata pencaharian sebagai nelayan dengan tingkat kesehatan rendah," kata RIDWAN Ridwan Ketua Pelaksana OW3 dalam siaran pers Humas ITS yang diterima suarasurabaya.net, Jumat (18/01).

Tidak ketinggalan Mangrove Expo yang merupakan ciri khas Ocean Week juga akan dilaksanakan selama tiga hari terhitung mulai 25 sampai 27 Januari di daerah Gresik.

Dalam kegiatan ini selain pameran produk berbahan mangrove, juga akan diadakan workshop potensi mangrove dan penanaman mangrove. Dengan tema pemberdayaan mangrove untuk perekonomian dan pencegahan bencana, diharapkan kegiatan ini dapat menyadarkan dan mengajak masyarakat pesisir, khususnya Gresik untuk peduli dan melestarikan pohon mangrove. Selain itu juga, sebagai ajang pameran dan mengenalkan produk olahan berbahan dasar mangrove.

"Kita akan melibatkan mahasiswa jurusan Biologi ITS dalam kegiatan ini, khususnya mengenai pemanfaatan sirup mangrove seperti yang telah dilakukan di ITS," ujar RIDWAN.

OW3 juga berupaya memberikan wawasan pengetahuan dan solusi-solusi yang ada pada masyarakat, terutama masyarakat pesisir dengan menggelar dialog interaktif di Paciran Lamongan pada 9 Februari. Kegiatan dengan tema teknik penangkapan ikan dan pemasarannya akan mempertemukan pihak masyarakat pesisir, mahasiswa dan pemerintah untuk berdialog.

Selain itu juga, OW3 juga menghadirkan para ahli di bidang pengembangan daerah pesisir dalam seminar nasional pengembangan wilayah pesisir di pulau-pulau kecil di Kampus ITS pada 18 Februari 2008.

Sebagai rangkaian penutup, diadakan kemah bersama di tepi pantai Tuban selama tiga hari pada akhir Februari nanti. Kegiatan yang betajuk Bhakti Bahari Nusantara ini bertujuan menanamkan nilai-nilai kemaritiman pada siswa SMA mengenai betapa besarnya potensi laut Indonesia tetapi kurang dioptimalkan.(ipg)

BERDAYAKAN NELAYAN MISKIN ; Dinsos-Diskanla DIY Bantu 9 Kapal

Tanggal : 9 Januari 2008
Sumber : http://www.koranmerapi.com/web/detail.php?sid=148507&actmenu=36

WONOSARI (KR)
- Guna memberdayakan masyarakat miskin di kawasan Pesisir Selatan DIY, Dinas Sosial Propinsi (Dinsos) DIY dan Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) DIY memberikan bantuan 9 buah kapal kepada Kelompok Usaha Bersama Fakir Miskin (Kube FM) di beberapa desa yang berada di Pesisir Selatan. Bantuan kapal diserahkan langsung oleh Wakil Gubernur DIY Paku Alam IX di Pantai Sadeng Kecamatan Girisubo Gunungkidul, Selasa (8/1).

Acara ini dihadiri Asisten Pemberdayaan Masyarakat Pemprop DIY Drs A Riswanto, Kepala Dinsos DIY Drs Ikmal Hafzi, PLT Kepala Diskanla DIY Ir Sudiyanto MM, Wakil Bupati Gunungkidul Hj Badingah SSos, masyarakat kelompok nelayan, dan tamu undangan lainnya.

Dilaporkan oleh Kepala Dinsos DIY Ikmal Hafzi, saat ini di DIY terdapat 2.400 KK dari fakir miskin yang sudah membentuk Kube, terutama di wilayah Pesisir Selatan Gunungkidul dan Bantul. Kube tersebut tersebar di 60 lokasi dengan kegiatan industri kecil kerajinan, pertanian, peternakan, dan perikanan khususnya perikanan tangkap.

Khusus untuk Kube di wilayah Pesisir Selatan, Dinsos DIY memberi bantuan kapal nelayan terdiri 2 kapal fiber untuk Kube di Pantai Parangtritis Bantul, 5 kapal fiber untuk Kube Nelayan di Pantai Baron, dan 2 buah kapal kayu dengan bobot 10 GT untuk Kube di Desa Pucung dan Songbanyu Girisubo.

Di samping itu, untuk meningkatkan produksi perikanan laut sekaligus memberdayakan nelayan Sadeng, Diskanla DIY juga memberikan bantuan 3 buah kapal kayu dengan bobot 17 GT dan 10 GT. Lima buah kapal kayu tersebut kini sudah berada di PPI Sadeng dan siap dioperasikan. Sebab, kapal tersebut juga sudah dilengkapi berbagai piranti penangkapan ikan.
Wagub DIY Paku Alam IX menyatakan, bantuan kapal nelayan baik dari Dinsos maupun Diskanla DIY ini diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, sekaligus sebagai upaya pengentasan kemiskinan. Untuk itu, bantuan sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam upaya memberdayaklan masyarakat Pesisir Selatan itu hendaknya dimanfaatkan secara optimal dan dipelihara sebaik-baiknya. “Kami berharap bantuan kapal ini bisa dimanfaatkan dan dipelihara dengan baik,” kata Paku Alam IX.

Wabup Gunungkidul Hj Badingah menyatakan, Gunungkidul memiliki potensi kelautan dengan panjang garis pantai 70 kilometer dan sedikitnya sudah ada tujuh titik pendaratan kapal nelayan. Namun potensi tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal, sehingga masyarakat Gunungkidul khususnya dalam konsumsi ikan masih tergolong rendah. Padahal jika Laut Selatan diberdayakan, produksi perikanan akan semakin meningkat dan pemenuhan kebutuhan gizi akan semakin tercukupi.

Dari 759 ribu jiwa di Gunungkidul, paling tidak harus tersedia 18.500 ton ikan setiap tahunnya, untuk bisa meningkatkan konsumsi ikan oleh masyarakat.
Selain menyerahkan bantuan kapal, Wagub juga meresmikan kios penjualan ikan di Pantai Sadeng dan melihat Rumah Boro Nelayan yang sudah selesai dibangun tahun lalu. Saat ini Rumah Boro Nelayan itu seluruhnya sudah ditempati nelayan lokal maupun pendatang.

Lima Hak Nelayan atas Pesisir dan Laut

Tanggal : 3 Januari 2008
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0801/03/opi01.html
Oleh : Aceng Hidayat

Masyarakat nelayan yang sangat bergantung pada sumberdaya pesisir dan laut nampaknya akan mengalami ketidakpastian nasib yang semakin parah. Ketidakpastian yang disebabkan faktor alam yang dialami selama ini, akan bertambah dengan ketidakpastian akan akses atas sumberdaya pesisir dan laut. Ini berkaitan dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP dan P2K). Ba-nyak yang mengkhawatirkan undang-undang ini akan mempersulit akses nelayan, terutama nelayan tradisional yang umumnya memiliki kemampuan modal dan teknologi rendah, terhadap sumberdaya perikanan.

Padahal Amartiya Sen peraih nobel bidang ekonomi melalui temuan ilmiahnya mengemukakan, kemiskinan yang mendera penduduk negara-negara Asia, dan Afrika bukan disebabkan oleh kekurangan sumberdaya alam semata, namun oleh minimnya hak akses dan pemanfaatan (entitlement) masyara-ka-rat atas sumberdaya alam tersebut.

Hak atas sumberdaya alam yang di-maksud Sen diperjelas oleh Ostrom dan Schlager (1992) yang menyebut ada lima hak yang dapat dimiliki masyarakat atas sumberdaya alam (SDA). Yaitu hak akses, hak memanfaatkan, hak mengelola, hak ekslusivitas, dan hak mentransfer atau alienasi. Hak akses merupakan hak untuk memasuki kawasan suatu sumberdaya alam, hak untuk melintasi tanpa dapat mengambil manfaat apa-pun dari SDA tersebut. Prof. Elinor Os-trom menamai mereka yang me-megang hak ini authorized entrant, yaitu pemilik hak minimal atas SDA.

Selain hak akses, pengguna SDA juga dapat memiliki hak memanfaatkan, baik sebagian atau seluruh jenis manfaat yang dapat diambil daripadanya. Sebagai misal, nelayan yang menangkap ikan di zona pemanfaatan taman na-sional tentunya hanya boleh menangkap ikan yang tidak dilindungi. Artinya hak nelayan untuk memasuki kawasan taman nasional laut tidak dengan serta merta berhak menangkap semua jenis ikan yang ada. Pengguna sumberdaya alam yang memiliki kedua hak tersebut dikatakan sebagai authorized users.

UU 27/2007 tak Menjamin Hak itu
Setingkat lebih tinggi dari authorized users, dikenal dengan istilah claimant. Yaitu, pengguna SDA yang selain memiliki hak akses dan hak memanfaatkan juga memiliki hak mengelola. Mereka memiliki hak untuk menentukan berapa banyak manfaat yang boleh diambil, kapan boleh mengambil dan kapan tidak. Dengan kata lain, mereka memiliki hak untuk turut menentukan ketersediaan resource unit dengan cara ikut memelihara resource systemnya.

Status yang lebih baik dari claimant adalah proprietor. Mereka tidak hanya memiliki ketiga hak tersebut tapi juga memiliki hak ekslusivitas. Artinya, proprietors berhak mengontrol akses dan membatasi pihak lain untuk memanfaatkan atau mengelola sumberdaya alam tersebut. Hak ini mereka pegang baik secara individu atau bisa juga secara kolektif bersama anggota kelompok pengguna SDA. Terakhir adalah owners dimana mereka selain memegang keempat hak tadi juga memiliki hak untuk mentransfer sebagian atau seluruh hak tersebut pada pihak lain.

Hak-hak tersebut dapat tegak dan melekat jika ada kelembagaan (aturan main) yang menjamin keberadaan hak-hak tersebut. Nelayan dapat memiliki kelima macam hak tersebut. Namun, paling tidak ia harus mendapatkan jaminan dapat memiliki hak akses dan memanfaatkan agar memiliki insentif untuk melakukan kegiatan ekonomi. Lebih jauh lagi, ia pun harus mendapatkan hak mengelola agar tumbuh rasa tanggungjawabnya atas keberlangsungan sumberdaya tersebut. Jadi, status terendah bagi nelayan seharusnya adalah claimant.

Namun Undang-undang PWP dan P2K tidak memberikan jaminan akan hak-hak nelayan tersebut secara tegas dan eksplisit. Pasal 16 UU 27/2007 itu menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir diberikan dalam bentuk hak pengusahaan perairan pesisir (HP3). Ini bisa dibaca sebagai hanya mereka yang memiliki HP3-lah yang berhak memanfaatkan sumberdaya perairan pesisir. Pasal 18 menyebutkan, HP3 diberikan kepada perseorangan warga negara Indonesia, badan hukum dan masyarakat adat. Secara prinsip, nelayan dapat memiliki HP3 baik sebagai individu, badan usaha atau masyarakat adat. Namun mengacu pasal 21 yang menentukan berbagai persyaratan men-dapatkan HP3, sangat disangsikan nelayan tradisional dapat memenuhinya disebabkan oleh serba kekurangan mereka.

Tiga Pasal Amendemen
Ada indikasi, pemberian HP3 hanya untuk kepentingan pengusaha besar dan bermodal kuat. Walaupun ada klausul pemegang HP3 harus memberdayakan masyarakat sekitar lokasi kegiatan dan mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagaimana dinyatakan pada pasal 21, namun hal tersebut diragukan. Pengalaman menunjukan, bila terjadi perbenturan kepentingan antara pemodal kuat dan masyarakat lokal maka pihak kedua selalu dikalahkan.

Undang-undang sudah ditetapkan, tinggal menunggu beberapa peraturan di bawahnya sebagai landasan operasionalnya. Namun masih ada celah untuk mengubah hukum tersebut melalui judicial review dengan mengusulkan penambahan pasal-pasal baru yang dapat lebih melindungi nasib nelayan. Pasal tersebut harus secara eksplisit menyatakan: Pertama, pemberian HP3 kepada para pengusaha besar baik untuk penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya pesisir lainnya tidak dapat dilakukan jika lokasinya berdekatan dengan lokasi nelayan tradisional menangkap ikan. Ijin hanya diberikan bila ada kepastian aktivitas pemegang HP3 tersebut tidak akan mengganggu sebagian atau seluruh kepentingan nelayan. Jadi, bukan sekedar harus “menghormati dan mengakui”, karena faktanya, mereka sulit untuk bisa menghormati dan mengakui hak-hak nelayan atau masyarakat kecil.

Kedua, masyarakat nelayan tradisional harus diberikan hak-hak akses dan hak pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir dan pulau kecil. Undang-undang harus secara ekplisit menyebutkan akan menjamin hak-hak tersebut. Bahkan undang-undang harus dapat mendorong pemerintah memfasilitasi nelayan agar mendapatkan hak pengelolaan atas sumberdaya perairan persisir dan pulau-pulau kecil. Bukan hanya sekedar hak akses dan pemanfaatan. Ketiga untuk menentukan siapa paling berhak jika terjadi konflik antara pemegang HP3 dengan kelompok nelayan, maka undang-undang harus secara eskplisit menjamin akan mendahulukan kepentingan nelayan jika nelayan lebih dulu melakukan aktivitas kenelayanan sebelum pemberian HP3 kepada pihak tertentu.

Hanya dengan berani mengubah dan menambahkan ketiga syarat tersebut, DPR dan pemerintah dapat dikatakan sebagai pro-poor atau pro-nelayan kecil. Kalau tidak, khawatir dituduh sebagai perpanjangan tangan para kapitalis saja.

Penulis meraih gelar PhD bidang Ekonomi Kelembagaan dari Department Resource Economics, Humboldt University, Berlin, Jerman. Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Sekretaris Program Magister (S2) Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, IPB.

2006 - Laporan Akhir Studi Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif

Tanggal : 3 Januari 2008
Sumber : http://regional.coremap.or.id/selayar/baseline_study/article.php?id=602


Hasil laut adalah sumber utama penghidupan masyarakat pesisir dan pulau.Kenyataan ini telah menjadi persepsi umum yang berkembang menyangkut perekonomian masyarakat pesisir dan kepulauan. Persepsi tersebut tidak lepas dari kondisi perekonomian di wilayah kepulauan yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari pengusahaan hasil laut, atau bahkan dapat dikatakan bahwa basis perekonomian masyarakat pesisir dan pulau adalah sektor perikanan.


Tingginya unsur ketidakpastian dalam pengusahaan hasil laut, khususnya bagi yang berprofesi sebagai nelayan menjadi salah satu penyebab ketidakpastian pemenuhan kebutuhan hidup keluarga nelayan dan umumnya masyarakat pesisir kepulauan. Sejarah kemiskinan keluarga yang menggantungkan hidup dari apa yang diberikan laut kemudian sering menjadi gambaran tekanan situasi di sektor ini.


Tekanan situasi yang dialami masyarakat pesisir dan pulau tersebut diatas, memungkinkan penggunaan segala cara dalam pengusahaan atau pemanfaatan sumberdaya laut, termasuk cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Pernyataan tersebut bukan lagi sebuah premise belaka, tetapi sebuah realitas yang terjadi dan berkembang saat ini di hampir semua lokasi COREMAP.


Tekanan yang cukup berat dialami oleh ekosistem terumbu karang yang diketahui oleh masyarakat sebagai lokasi berkumpulnya kekayaan laut yang dibutuhkan masyarakat. Dengan dasar pemikiran tersebut, program COREMAP menganggap penting untuk memasukkan kegiatan pengembangan Mata Pencaharian Alternative (MPA) sebagai salah satu komponen dalam program.


Kabupaten Selayar sebagai satu-satunya kabupaten yang terpisah dari daratan Sulawesi dan sebagian besar wilayahnya adalah lautan, memiliki potensi sumberdaya laut yang cukup besar. Sebagian besar penduduk di wilayah ini, khususnya pada daerah penelitian yakni Pulau Tambolongan, Pulau Bembe, Pulau Kayuadi dan Pulau Pasitallu, adalah masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup dari laut, dimana hasil yang didapat sangat bergantung dengan kondisi alam. Penduduk di pulau-pulau ini memiliki tingkat ekonomi yang relative rendah, dimana pada musim barat sebagian besar nelayan tidak melaut dan mereka tidak mempunyai pekerjaan sampingan yang bisa menambah pendapatan keluarga.


Dengan melihat hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan upaya pengembangan mata pencaharian alternative sebagai salah satu cara yang harus diprioritaskan dalam membantu masyarakat meningkatkan perekonomian keluarga, juga mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang.


Sumber : CRITC Selayar

Nelayan Podok Tak Bisa Melaut

Tanggal : 2 Januari 2008
Sumber : http://banjarkab.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1127&Itemid=10


MARTAPURA– Cuaca ekstrim yang terus melanda, berdampak hebat bagi para nelayan. Nalayan Desa Podok Kecamatan Aluh-Aluh salah satunya. Sudah dua pekan ini terpaksa berdiam diri di rumah. Angin kencang disertai gelombang besar adalah alasan mengapa mereka memilih tidak turun ke laut mencari nafkah.


“Sudah setengah bulan kami tidak berani mencari ikan ke laut. Anginnya sangat kencang. Kalau pun ada yang turun, paling hanya di sungai-sungai pinggir laut, tidak ada yang berani jauh ke laut. Sebagian lagi memilih mencari usaha lain,” ungkap Pembakal Pondok Mahlan, kemarin.


Keputusan para nelayan setempat untuk tidak mengambil rIsiko bukannya tanpa alasan. Pada tahun-tahun sebelumnya, terutama di akhir tahun 2006 lalu, angin ribut disertai gelombang tinggi selalu terjadi. Bahkan puncaknya angin ribut tahun lalu mengakibatkan puluhan rumah rusak bahkan sampai menelan satu orang korban jiwa.


“Kalau mencari ikan di laut memang hasilnya lumayan. Dalam sehari satu orang bisa mendapatkan penghasilan Rp40 ribu sampai Rp50 ribu. Jauh lebih besar dibanding mencari ikan di sungai yang hanya Rp10 ribu hingga Rp15 ribu per hari,” katanya.


Di bagian lain, Mahlan mengaku masyarakatnya yang didominasi nelayan saat ini sedang mengalami kesulitan yang luamayan berat. Selain tidak bisa melaut karena cuaca, ditambah lagi meningkatnya harga bahan bakal klotok dari harga normal solar, Rp4000-an per liter kini naik menjadri Rp6000 per liternya.


“Dengan kondisi seperti ini, kalau pun cuaca nanti sudah tenang, biasanya pertengahan Januari sudah tenang, penghasilan nelayan sepertinya bakal menurun. Ini jika harga jual ikan tetap sedangkan bahan bakal klotok masih tidak normal,” katanya.


Sementara itu, hal yang sama juga dialami para nelayan di desa lainnya di Kecamatan Aluh-Aluh. Nasib yang sama dialami nelayan seperti dari Desa Terapu dan Desa Aluh-Aluh Kecil.


“Biasanya kalau musim seperti ini, warga lebih banyak yang pasrah. Karena memang tidak bisa terlalu berharap banyak. Tetapi khusus untuk harga solar, kami jelas berharap banyak pemerintah dapat mengatasinya. Kalau tidak, bagaimana masyarakat bisa sejahtera, kalau kebutuhan pokoknya terus melambung,” katanya.(yan)

Pembangunan SPDN Untuk Meredam Beban Masyarakat Pesisir

Tanggal : 1 Januari 2008
Sumber : http://ikanmania.wordpress.com/2008/01/01/pembangunan-spdn-untuk-meredam-beban-masyarakat-pesisir/


Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), telah memasuki tahun ke tujuh. Seperti apa yang telah dicita-citakan bahwa Program PEMP saat ini sudah memasuki tahap diversifikasi, setelah melewati tahap institusionalisasi. Untuk itu pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), secara simultan meluncurkan pemberdayaan yang diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.


Terdapat tiga program yang secara sistimatis bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, yakni Program Program Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN)/Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Untuk Nelayan (SPBN), Pembangunan Kedai Pesisir, dan Program Penguatan Modal bagi masyarakat pesisir yang bekerjasama dengan lembaga keuangan. Program SPDN/SPBN bertujuan untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM dengan menghadirkan SPDN/SPBN yang diharapkan memberikan pelayanan kepada masyarakat pesisir akan kebutuhan BBM dengan harga terbaik sesuai ketetapan pemerintah. Melalui program ini beban hidup masyarakat pesisir diharapkan mampu ditekan sampai pada tingkat yang signifikan .


Khusus bagi nelayan skala usaha mikro dan kecil, Bahan Bakar Minyak (BBM) memang merupakan elemen sangat penting dalam menjalankan kegiatannya, karena komponen biaya BBM berkisar antara 40-60 % dari seluruh biaya operasional penangkapan ikan. Hal tersebut juga berpengaruh pada usaha perikanan budidaya, karena semakin meningkatnya penggunaan BBM sebagai bahan bakar genset untuk pompa air, kincir air dan penerangan. Budidaya udang misalnya, biaya BBM mencapai 13-16 % dari biaya produksi.


Saat ini armada perikanan tangkap yang beroperasi di Indonesia berjumlah kurang lebih 474.540 buah, terdiri dari 230.360 perahu tanpa motor, 125.580 motor tempel, dan 118.600 kapal motor. Dari komposisi tersebut didominasi kapal yang berukuran dibawah 30 GT dengan jumlah 106.330 buah. Kelompok ini yang paling merasakan dampak kenaikan harga BBM.

Kenaikan harga BBM jenis solar sebesar 28% akan menambah beban biaya produksi penangkapan sebesar 28% x 40% = 11,2% (dengan asumsi biaya BBM Solar = 40% dari biaya produksi total). Artinya dengan kenaikan tersebut, nelayan mengalami beban tambahan yang harus dikeluarkan sebesar 11,2%. Kejadian seperti ini sangat memberatkan nelayan. Selama ini masyarakat pesisir pada umumnya memenuhi kebutuhan BBM Solar melalui pihak ketiga (tengkulak), yang harganya lebih mahal sekitar 30% dari harga ketentuan Pemerintah. Untuk itu program pembangunan SPDN dihadirkan guna membantu nelayan dan pembudidaya ikan skala mikro dan kecil dalam pemenuhan kebutuhan BBM.


Melalui kerjasama yang sinergis antara DKP, Pertamina, dan Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPP HNSI), maka pembangunan SPDN di daerah akan terwujud. Program ini mulai diinisiasi pada Tahun 2003, hasilnya pun cukup menggembirakan karena sampai dengan Tahun 2006 telah terbangun 140 SPDN. Namun, dalam perjalanannya, berbagai kendala (seperti jumlah kebutuhan BBM nelayan yang terlalu sedikit pada lokasi yang diusulkan, akses jalan bagi mobil angkut Pertamina, dan ketersediaan lahan yang memenuhi syarat serta ketidaksiapan pengelola) sehingga percepatan pembangunan SPDN tersebut dikaji ulang sesuai kondisi lapangan.


Mulai Tahun 2006, Direktorat Pemberdayaan Masyarkat Pesisir mengalokasikan dana untuk pembangunan SPDN di 45 kabupaten/kota dan Tahun 2007 dialokasikan dana pembangunan SPDN untuk 51 kabupaten/kota. Sampai akhir Juli 2007 Pembangunan SPDN/SPBN dan PPDN telah beroperasi sebanyak 196 unit.


Belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya dan melihat kondisi obyektif di lapangan, maka tahun 2007 mekanisme pembangunan dan pendirian SPDN/SPBN tetap akan didesentralisasikan ke tingkat provinsi dengan memberi kewenangan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi untuk mengeluarkan rekomendasi langsung ke General Manager UPms setempat. Dengan demikian diharapkan peran Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi dan UPms Pertamina akan lebih efektif dalam percepatan program pembangunan SPDN/SPBN.


Mekanisme Pembangunan SPDN

  • SPDN APBN
  • Bupati/walikot membentuk Tim Kabupaten/kota yang diketui oleh Kepala Dinas Kelautn dan Perikanan Kbupten/kota dengan anggota terdiri dari Wira Penjualan Pertamina dan DPC HNSI.
  • Tim Kabupaten/kota melkukan verifikasi kebutuhan, lokasi, dan calon pengelola, Hasil Verifikasi tersebut, oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/kota diusulkan kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dengan tembusan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
  • Kepala Dinas Kelautan dan Periknan Provinsi dapat melakukan verifikasi lokasi dan koiperasi pengelola berdasarkan usulan Tim Kabupaten/kota dan merekomendasikan kepada UPms Pertamina setempat dengan tembusan Direktorat Jenderal Kelutan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
  • Koperasi Pengelola SPDN adalah kopersi berbasis LEPP-M3, koperasi perikanan. Atau koperasi masyarakat pesisir lainnya yang minimal sudah mengadakan rapat anggota tahunan (RAT) yang telah ditetapkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi mengajukan permohonan kepada UPms Pertamina setempat dengan melampirkn semua persyaratan yang telah ditetapkan.
  • Koperasi pengelola SPDN yang telh ditunjuk dan mendapat ijin prinsip dari UPms Pertamina setempat melaksanakan konstruksi fasilitsi SPDN secara swakelola dengan mengikuti persyaratn teknis yang ditetapkan Pertamina.
  • SPDN/SPBN Swadana
  • Bupati/walikot membentuk Tim Kabupaten/kota yang diketui oleh Kepala Dinas Kelautn dan Perikanan Kbupten/kota dengan anggota terdiri dari Wira Penjualan Pertamina dan DPC HNSI.
  • Calon pengelola SPDN/SPBN mengajukan permohonan SPDN/SPBN untu diverifiksi Tim Kabupaten/kota untuk direkomendasikan.
  • Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/kota mengusulkn lokasi dan calon pengelola SPDN/SPBN hasil verifikasi kepada Kepala Dinas Kelautn dan Perikanan Provinsi dengan tembusan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
  • Kepala Dinas Kelautan dan Periknan Provinsi dapat melakukan verifikasi lokasi dan koiperasi pengelola berdasarkan usulan Tim Kabupaten/kota dan merekomendasikan kepada UPms Pertamina setempat dengan tembusan Direktorat Jenderal Kelutan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
  • Calon pengelola SPDN/SPBNyang telah direkomendasikan, mengajukan permohonn kepada UPms Pertamina setempat dengan melampirkan semua persyaratan yang telah ditetapkan.
  • Calon pengelolaSPDN/SPBN yng telah direkomendsikan dan mendapat ijin prinsip dari UPms Pertamina setempat melaksanakan konstruksi fasilitsi SPDN secara swakelola dengan mengikuti persyaratn teknis yang ditetapkan Pertamina.


3. SPDN/SPBN di Wilayah Pelbuhan Perikanan


Khusus pembangunan SPDN/SPBN dalam wilyah kerja Pelabuhan perikanan Tipe A (Samudera), Tipe B (Nusantara), Tipe C (Pantai), mekanismenya diatur tersendiri sebagai berikut :


  • Calon Pengelola SPDN/SPBN mengusulkan kepada Kepala Pelbuhan Perikanan setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten/kota.
  • Kepala Pelabuhan Perikanan bersama dengan Tim Kabupaten/kota melakukan verifikasi untuk selanjutnya diusulkan kepad Kepala Dinas Kelutan dan Perikanan Provinsi.
  • Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi merekomendasikan kepada UPms setempat dengan tembusan keada Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
  • Calon pengelola SPDN/SPBNyang telah direkomendasikan, mengajukan permohonn kepada UPms Pertamina setempat dengan melampirkan semua persyaratan yang telah ditetapkan.
  • Calon pengelolaSPDN/SPBN yng telah direkomendsikan dan mendapat ijin prinsip dari UPms Pertamina setempat melaksanakan konstruksi fasilitsi SPDN secara swakelola dengan mengikuti persyaratn teknis yang ditetapkan Pertamina.


Pengembangan Jaringan Ekonomi Masyarakat Pesisir: Upaya Mencapai Tujuan MDGs

Tanggal : 1 Januari 2008
Sumber: http://ikanmania.wordpress.com/2008/01/01/pengembangan-jaringan-ekonomi-masyarakat-pesisir-upaya-mencapai-tujuan-mdgs/


“Masyarakat pesisir yang mendiami 8.090 desa diperkirakan berjumlah 16,42 juta jiwa. Komunitas ini relatif masih tertinggal, yang ditandai dengan poverty headcount index masih 0,28. Dengan kata lain, masih terdapat kira-kira 28% dari populasi tergolong miskin. Fenomena kemiskinan masyarakat pesisir ini sungguh sangat ironis, karena negeri ini memiliki potensi sumberdaya kelautan yang kaya”, demikian dikemukakan oleh Dr. Sudirman Saad (Direktur Pembedayaan Masyarakat Pesisir) dalam acara jumpa pers pada tanggal 6 September 2005.


Pada bagian lain Dr. Sudirman Saad mengatakan bahwa ”pemerintah, melalui Departemen Kelautan dan Perikanan, telah mengambil berbagai kebijakan untuk memberdayakan masyarakat pesisir, di antaranya Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Kebijakan tersebut sejalan dengan program Millenium Development Goals (MDGs) yaitu memberantas kemiskinan dan kelaparan, dimana targetnya antara tahun 1990-2015 masyarakat mempunyai dapat mempunyai pendapatan 1,5 US dolar per hari.”


Dengan target tersebut maka diharapkan melalui program PEMP sampai tahun 2009 dapat menaikkan pendapatan 281.200 (delapan ratus delapan pluh satu ribu dua ratus) orang, dari Rp. 300.000,- menjadi Rp. 500.000,- atau sekitar 10 % dari masyarakat miskin pesisir.


Program PEMP dengan dana yang berasal dari APBN dan dana kompensasi BBM, telah dilaksanakan di 265 kabupaten/kota, dan telah menghasilkan LEPP-M3 323 buah. Dalam memperkuat permodalan, melalui program PEMP pada tahun 2001 telah dilaksanakan di 125 kabupaten/kota, tahun 2002, 90 kabupaten/kota, tahun 2003 dilaksanakan di 126 kabupaten/kota, tahun 2004 di 160 kabupaten/kota, dan tahun 2005 sebanyak 111 kab/kota.


Periodisasi program PEMP dapat dibagi sebagai berikut: a. Pada 2001 – 2003 sebagai periode inisiasi, b. Tahun 2004-2006 adalah periode institusional. Pada periode institusional ini, fokusnya adalah merevatilisasi LEPP-M3 sehingga menjadi korporasi milik masyarakat pesisir,yang di satu sisi mampu melayani kebutuhan hidup sehari-hari dan di sisi lain dapat memenuhi keperluan usaha seperti modal dan sarana produksi.


Tahun pertama periode institusionalisasi telah terlampaui. Hasilnya pun cukup menggembirakan, 160 LEPP-M3 terevitalisasi hingga berbadan hukum koperasi. Di antaranya 142 memiliki LKM Swamitra Mina, 9 buah Pra-BPR Pesisir, dan 9 buah Unit Simpan Pinjam (USP). Diharapkan dalam periode institusionalisasi ini LKM tersebut sudah mampu mencapai BEP (break event point) serta 9 buah BPR-Pesisir resmi operasional. Sampai saat ini tercatat 45 LKM Swamitra Mina yang on line. Tenaga pengelola Swamitra Mina sebelumnya telah mendapatkan pelatihan untuk operasionalisasi Informasi Teknologi.


Hadirnya LKM Swamitra Mina maka secara bertahap peran tengkulak dan rentenir akan berkurang dan LKM dapat memobilisasi dana masyarakat dengan adanya suku bunga tabungan yang menarik. Dengan lancarnya pengelolaan LKM Swamitra Mina maka lambat laun bantuan modal yang disalurkan di masyarakat pesisir bukan lagi berasal dari APBN, tapi dari LKM Swamitra Mina.


Upaya untuk mewujudkan Koperasi LEPP-M3 sebagai holding company diharapkan ada pikiran cerdas yang bisa mengoptimalkan koperasi LEPP-M3. Dengan demikian maka diperlukan adanya jaringan nasional yang bisa menjadi penguatan kelembagaan untuk memperkuat permodalan bagi masyarakat pesisir. Untuk itu pada tahun 2004 telah dilaksanakan Musyawarah Nasional Masyarakat Pesisir di Balikpapan yang menyepakati adanya wadah yang bisa menjembatani percepatan terwujudnya holding company pada Koperasi LEPP-M3. Wadah tersebut adalah Jaringan Ekonomi Masyarakat Pesisir (JEMPI). Setelah setahun terbentuknya JEMPI maka ditindaklanjuti dengan mengadakan Rapat Kerja Nasional I yang dilaksanakan di Bogor 30 Agustus 2005 dihadiri 142 kabupaten/kota.


Oleh karena itu dua tahun tersisa periode institusionalisasi, selain terus menumbuhkembangkan koperasi dengan LKM-nya, juga akan merintis pembukaan Kedai Pesisir dan SPDN. Kedua kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mengurangi beban masyarakat pesisir. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa rendahnya pendapatan masyarakat pesisir antara lain disebabkan oleh besarnya beban pengeluaran yang harus dikeluarkan, baik di waktu melaut maupun untuk kebutuhan sehari-harinya. Ke depan jaringan kedai pesisir akan dikelola secara profesional dengan pendekatan waralaba. Akan tetapi mekanisme pengelolaannya akan ditata sedemikian rupa sehingga keuntungan terbesar kedai pesisir akan kembali kepada masyarakat pesisir melalui koperasi. Pada akhir 2006, ditargetkan telah berdiri Induk Koperasi Masyarakat Pesisir.


Berdasarkan skenario dua periode di atas, maka pada 2 atau 3 tahun yang akan datang, alokasi dana APBN untuk penguatan modal sudah dapat diakhiri sehingga dana PEMP akan turun signifikan, mengingat 80% di antaranya merupakan penguatan modal. Pada saat itu diharapkan jaringan ekonomi masyarakat pesisir di sekitar 160 sentra pemberdayaan tersebut sudah terbangun sehingga akan bergerak lebih mandiri dan lebih dinamis.


Selain itu, dalam rangka mendukung transparansi terhadap penyaluran dana pada lembaga Swamitra Mina, Departemen Kelautan dan Perikanan telah membuta website www.swamitra.com, sebagai sarana komunikasi dan memudahkan masyarakat luas untuk selalu memantau lembaga mana yang layak untuk mendapatkan penyaluran dana.


Sumber :
Humas Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil