Menggagas Pesantren Perikanan

Tanggal : 25 Februari 2008
Sumber : http://www.hupelita.com/baca.php?id=12960
Oleh : Pomo Jatmiko


NAMPAKNYA perhatian pemerintah mulai tertuju pada pembangunan wilayah pesisir yang selama ini termarginalkan dari kebijakan nasional. Hal tersebut dicerminkan dengan adanya kepercayaan (trust) pihak pemodal atau perbankan untuk mau memberikan kredit pada masyarakat pesisir. Munculnya trust terhadap usaha masyarakat pesisir yang high risk tidak lepas dari getolnya peran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai lokomotif pembangunan perikanan dan kelautan.


Keberhasilan DKP dalam meyakinkan pihak pemodal atau perbankan terbukti dari kesiapan Bank Negara Indonesia (BNI) yang telah menyiapkan plafon kredit kepada nelayan sebesar 3 triliun. Namun demikian, apakah kabar ini akan menjadi angin segar bagi masyarakat nelayan untuk melepaskan diri kubangan kemiskinan? mengingat kebijakan kredit selama ini tidak pernah jelas dan bias kepentingan.


Oleh karena itu, demi tercapainya tujuan mulia dari kebijakan pemberian kredit tersebut, maka DKP harus menyiapkan guideline yang jelas, terencana dan terstruktur. Ada beberapa catatan penting yang harus digarisbawahi dalam pelaksanaan program-program ini nantinya, diantaranya yaitu: Pertama, perubahan paradigma kebijakan yang bersifat proyek an sich menjadi program yang multiyears. Hal ini dikarenakan para pelaku kebijakan menganggap bahwa kesuksesan dari suatu kegiatan hanya dilihat dari output yang dihasilkan dalam jangka waktu yang sangat pendek; dan Kedua, peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat (SDM) pesisir harus menjadi prioritas utama dari program yang akan dijalankan, mengingat minimnya investasi di sektor ini salah satu penyebabnya adalah sikap, perilaku dan kebiasaan masyarakat pesisir khususnya nelayan yang selalu menghambur-hamburkan uang ketika hasil tangkapan banyak.


Sementara itu, sebagai pakar kelembagaan sosial dan ekonomi-IPB, Abubakar Umbari menyebutkan ada 4 aspek penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pemberdayaan masyarakat tersebut, yaitu : (1) aspek ekonomi seperti pada penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan 2) aspek sosial seperti peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, agama, (3) aspek lingkungan yang mengarah pada pelestarian sumberdaya pesisir dan laut, dan (4) infrastuktur yang dibutuhkan untuk memperlancar mobilitas pelaksanaan ekonomi dan sosial. Akan tetapi, keempat aspek tersebut harus ditunjang oleh kelembagaan sosial ekonomi yang kuat dan dikembangkan secara seimbang agar kesejahteraan dapat ditingkatkan secara optimal.


Dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas SDM perikanan, menurut hemat saya perlu adanya fasilitas lembaga pendidikan yang mengakar dan mampu menyiapkan kader-kader penggerak pembangunan di kawasan pesisir dengan nafas spiritual dan menguasai teknik-teknik di dunia perikanan dan kelautan. Ini mengingat aspek sosial juga tak kalah penting dengan ketiga aspek lainnya. Dengan adanya penyiapan kader-kader penggerak diharapkan mampu mendorong akselerasi pembangunan kawasan perikanan dan kelautan yang sejahtera dan lestari.


Kenapa Pesantren


Akan menjadi pertanyaan kenapa bentuk lembaga pendidikan tersebut adalah pesantren. Wilayah pantai kita yang merupakan terpanjang kedua setelah Kanada mungkin hampir 70% dihuni oleh komunitas muslim. Selain itu juga karena Pesantren sejak abad ke tujuh Masehi telah mengisi lembaran sejarah Pendidikan di Indonesia. Selama lebih dari 12 abad Pesantren menjadi lembaga pendidikan yang utama di sebagian besar wilayah di Indonesia. Pesantren adalah lembaga penegak agama (Iqomatuddin) dan merupakan lembaga pendidikan yang khas di Indonesia.


Kehadiran pesantren di tengah suatu masyarakat pada dasarnya merupakan respons asli (genuin) atas kebutuhan masyarakat tersebut yang dengan sukarela menghidupi, bahkan kadang dengan fanatisme mempertahankannya. Tanpa alasan logika yang rumit pesantren dipercaya sebagai lembaga pengayom dan penuntun bagi masyarakat serta pembawa sekian harapan. Dari sini nampak begitu besar arti pesantren bagi masyarakat bila semua itu benar-benar bisa diwujudkan, atau dengan kata lain tidak kecil beban yang dipikul pesantren untuk bisa memenuhi misi dan perannya di tengah masyarakat pendukungnya.


Secara garis besar komponen-komponen yang terdapat dalam sebuah pesantren pada umumnya terdiri dari pondok (asrama santri), masjid, santri, kyai, serta pengajaran kitab-kitab klasik. Pada salah satu komponen Pesantren yakni santri, dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah santri yang datang dari tempat yang jauh sehingga ia tinggal dan menetap di pondok (asrama santri), sedangkan santri "kalong" adalah yang datang dari wilayah sekitar Pesantren sehingga mereka tidak memerlukan untuk tinggal di pondok, mereka bolak-balik dari rumahnya masing-masing.


Dalam kaitannya terhadap pembentukan kualitas SDM yang handal, tentu perubahan kurikulum di pesantren mutlak diperlukan, hal ini sejalan dengan cita-cita lulusan Pesantren yang diharapkan sebagai motor perubahan masyarakat. Maka idealnya pendidikan dalam Pesantren mengembangkan minat yang ada serta disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh pengembangan kurikulum di Pesantren bisa diklasifikasikan menjadi 2 kategori paket mata ajaran. Paket pertama yakni Paket Kepesantrenan yang meliputi: Aqidah, Akhlak, Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir, dan lain sebagainya.


Sedangkan paket kedua yakni Paket Ketrampilan disesuaikan dengan latar budaya dan kondisi sosial ekonomi setempat, namun demikian secara garis besar paket keterampilan ini dapat dijabarkan dalam beberapa kelompok seperti; Paket Pertanian, Paket Perikanan, Paket Kerajinan, pertukangan, bengkel dan yang lainnya, beberapa kurikulum contoh dapat dilihat seperti berikut ini; Teknologi Tepat Guna, Budidaya Perikanan, Manajemen Keuangan, Pengolahan Hasil Perikanan, dan lain sebagainya yang terkait dengan potensi sumberdaya khususnya sumberdaya perikanan dan kelautan.


Dalam pelaksanaan pendidikan yang mengacu pada pendekatan agama dan keterampilan tersebut, perlu adanya dukungan moral, tenaga dan materi guna kelancaran proses pendidikan itu sendiri. Dengan demikian kerjasama antara pesantren dan lembaga-lembaga lain perlu dijalin dengan baik. Mengingat bahwa dalam proses pendidikan tersebut santri diwajibkan membuat rencana usaha baik secara perorangan maupun kelompok untuk kemudian mengadakan kegiatan ekonomi sesuai dengan bidang minatnya. Sehingga ketika proses pendidikan selesai kader-kader langsung bisa diterjunkan kedalam masyarakat sebagai motivator penggerak pembangunan


Penutup


Kegiatan program-program pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari kegiatan pendampingan melalui tenaga-tenaga pendamping yang profesional di bidangnya yang tinggal di tengah-tengah masyarakat dan membantu mulai dari proses penyusunan rencana usaha, pelaksanaan dan tindak lanjut kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Fungsi motivator, administrator dan katalisator harus terus dilakukan oleh tenaga-tenaga ini.


Keberadaan Pesantren perikanan di tengah-tengah masyarakat mempunyai harapan besar terhadap 3 fungsi yang harus diemban tersebut. Sehingga pada saat nantinya cita-cita bersama ini yakni perubahan perilaku masyarakat yang mandiri dan kreatif sekaligus sebagai pelaku-pelaku pelestarian lingkungan akan terwujud. Amien.( Penulis adalah alumni Pesantren Pertanian Darul Fallah-Bogor dan Ketua Yayasan Bhakti Persada)


Warga Kepulauan Aru Dapat Listrik Tenaga Surya


Sumber :http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=160456


AMBON--MI: Pihak Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PTD) siap membantu lagi pengembangan Pembangunan Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kabupaten Kepulauan Aru yang sebagian besar masyarakatnya belum menikmati listrik dari pelayanan PT.(Persero) PLN setempat.


Tahun anggaran 2007 Kementerian PDT Memberikan bantuan 486 unit PLTS bagi 10 Desa di Kepulauan Aru. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat(BPM) Kepulauan Aru, Arens


Uniplaitta, kepada ANTARA dari Dobo, ibukota Kabupaten Kepulauan Aru, Sabtu (23/2), mengemukakan, telah menerima surat dari Kementerian PDT bahwa tiga Kecamatan yakni Aru Tengah, Aru Utara dan Aru Selatan kebagian masing-masing mesin listrik berkapasitas 5.000 KW.


Begitu pun, Desa Miror dan Papakula, Kecamatan Aru Utara sebanyak 110 unit PLTS serta Desa Kajabi, Kecamatan Aru Tengah sebanyak 75 unit.


Arens mengakui, kepedulian Kementerian PDT mengenai listrik di Kepulauan Aru yang dimekarkan dari Maluku Tenggara, Januari 2004 disambut baik karena wilayahnya berupa Pulau-Pulau sehingga sulit dijangkau pelayanan PT (Persero) PLN yang mengandalkan PLTD.


"Kami sudah melakukan peta Desa soal pelayanan PLTD ternyata hanya sekitar 15 persen bisa dijangkau, sedangkan sisanya membutuhkan terobosan pengembangan PLTS, angin, air/ombak," tambahnya.


Pengembangan listrik, kata Arens, dibutuhkan masyarakat Kepulauan Aru untuk mendukung pengembangan sektor lainnya sehingga bisa mempercepat penuntasan kemiskinan di sini.


"Bayangkan, saat ini Kepulauan Aru memiliki sedikitnya 11.527 Keluarga Miskin (Gakin) dengan 57.735 jiwa dari penduduknya yang hanya 76.625 jiwa," ujarnya.


Ditanya tentang bantuan pemerintah pusat pada tahun 2008 untuk pemberdayaan Gakin, menurut Arens, sebesar Rp12 miliar ditambah anggaran pendamping dari Pemkab setempat Rp3 miliar lebih.


Dana Rp15 miliar lebih ini dibagikan kepada Kecamatan Aru Utara, Aru Tengah dan Aru Selatan masing-masing Rp3 miliar, sedangkan empat Kecamatan baru masing-masing Rp1,75 miliar.


Anggaran yang ditransfer langsung ke rekening masyarakat itu dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur dan memenuhi kebutuhan dasar hidup masyarakat Desa.


"Terus terang tingkat kemiskinan masyarakat Kepulauan Aru yang dimekarkan dari Maluku tenggara, 7 Janauari 2004 masih tinggi sehingga saat ini dibuat peta angka kemiskinan sehingga program penanggulangannya tepat sasaran maupun tepat kebutuhan," demikian Arens Uniplaitta. (Ant/OL-2)

Ribuan Gakin di Kepulauan Aru Butuh Bantuan

Tahun 2008
Sumber : http://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=159219


AMBON—MI: Sedikitnya 11.527 keluarga miskin (gakin) dengan 57.735 jiwa di Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, perlu uluran tangan dan bantuan agar hidup layak sebagaimana warga Indonesia lainnya.


Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat(BPM) Kepulauan Aru Arens Uniplaitta, ketika dikonfirmasi, Kamis (14/2), membenarkan, sekitar 60% lebih dari penduduknya sebanyak 76.625 jiwa tergolong miskin.


Upaya mengangkat derajat belasan ribu KK Gakin ini pun melibatkan Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, Dinas PU Perikanan, dan Disperindag karena juga memiliki dana pemberdayaan.


Pemkab Kepulauan Aru, kata Arens, mendapatkan alokasi pemerintah pusat tahun anggaran 2008 untuk pemberdayaan Gakin sebesar Rp12 miliar ditambah anggaran pendamping dari pemkab setempat Rp3 miliar lebih.


Dana Rp15 miliar lebih ini dibagikan Kecamatan Aru Utara, Aru Tengah, dan Aru Selatan masing-masing Rp3 miliar, sedangkan empat kecamatan baru masing-masing Rp1,75 miliar.


Anggaran yang ditransfer langsung ke rekening masyarakat itu dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur dan memenuhi kebutuhan dasar hidup masyarakat Desa.


"Terus terang tingkat kemiskinan masyarakat Kepulauan Aru yang dimekarkan dari Maluku tenggara, 7 Janauari 2004 masih tinggi sehingga saat ini dibuat peta angka kemiskinan sehingga program penanggulangannya tepat sasaran maupun tepat kebutuhan," kata Arens.


Kepulauan Aru dengan Laut Arafura merupakan kawasan ilegal fishing, namun ternyata juga kaya udang, mutiara, rumput laut, batulaga, dan aneka potensi sumberdaya hayati laut lainnya yang bernilai ekonomis.


Hanya saja, pemasokannya terkendala transportasi, terutama penerbangan untuk tujuan ekspor sehingga volume maupun nilainya dari sektor perikanan dan kelautan relatif rendah. (Ant/OL-01)


Melongok Nasib Miris Masyarakat Pesisir Barsel Aceh

Tanggal : 22 Februari 2008
Sumber : http://www.pelita.or.id/baca.php?id=36434
Oleh : Syahruddin Hamzah


Meskipun sumber daya alam tersedia melimpah, namun nasib masyarakat pesisir pantai barat dan selatan (Barsel) tidak sebaik mereka yang bermukim di sepanjang pantai utara dan timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Realita itu dituding sebagai bentuk ketidakadilan Pemerintah Aceh dalam membagi kue pembangunan pada masa lalu, sehingga kini berdampak pada tingkat kesejahteraan yang masih sangat buruk dibandingkan mereka di pantai utara dan timur Aceh.

Bupati Aceh Barat Barat, Akmal Ibrahim, di hadapan peserta seminar sehari tentang strategi percepatan pembangunan kawasan pesisir Barsel Aceh yang terintegrasi membeberkan kondisi miris itu yang masih melilit berbagai sendi kehidupan masyarakat di sana.

Pesisir Barsel Aceh mencakup delapan kabupaten/kota, yakni Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barkotaat Daya, Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, dan Kota Sibulussalam.

Kesenjangan itu terlihat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik sosial, budaya maupun dalam prilaku sehari-hari, akibat terlalu terlanjur menjadi \"anak tiri\".

Angka kemiskinan di masing-masing kabupaten di pesisir Barsel Aceh di atas 50 persen dari jumlah penduduk, kata Akmal Ibrahim.

Contoh lain disebutkan, kalau selama ini dikenal orang di wilayah utara dan timur meninggal akibat jalan aspal mulus, di pesisir Barsel meninggal karena dimakan buaya (Aceh Singkil), dimangsa harimau (Aceh Selatan) dan diamuk gajah (Aceh Barat).

Kasus tersebut membuktikan betapa senjangnya pembangunan antara pesisir dengan pantai utara dan timur Aceh, katanya.

Secara ekstrem, masyarakat di pesisir Barsel itu hingga kini belum menikmati hasil kemerdekaan, walaupun Indonesia telah 62 tahun merdeka, karena \"kue\" pembangunan yang ada selama ini pembagiannya tidak merata sampai ke pesisir Aceh.

Lebih sedih lagi, Aceh Jaya dan Aceh Barat merupakan dua kabupaten bertetangga yang terkena dampai bencana tsunami 26 Desember 2004 cukup parah, namun sukses rehabilitasi dan rekonstruksi bukan di daerah itu. Mengapa?

Tragedi tsunami telah berlalu tiga tahun lalu, tapi sarana pelayanan umum (kantor pemerintah), terutama di Aceh Jaya masih darurat yang terbuat dari papan, belum lagi nasib para korban yang selamat dari bencana alama itu, katanya.

Prioritas tahun 2008

Sementara itu, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Prof DR Abdul Rahman Lubis MSi menyebutkan agenda pembangunan Aceh tahun 2008 lebih diarahkan kepada pemberdayaan ekonomi, kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan.

Program lain meliputi pemeliharaan infrastruktur investasi, menata pendidikan yang bermutu, peningkatan pelayanan kesehatan lebih berkualitas serta pembangunan sosial budaya dan Agama.

Setidaknya tiga sektor ekonomi unggulan yang telah terindentifikasi untuk seluruh wilayah Aceh, yakni pertanian (agro-industri, agro-bisnis, kehutanan, perkebunan dan perikanan) serta perdagangan (termasuk transportasi regional), dan sektor pariwisata (wisata budaya, eko-wisata dan wisata bisnis).

Seminar yang diprakarsai Kaukus Pantai Barsel Aceh itu diikuti 1.000 peserta dengan menampilkan empat pamateri, yakni Bupati Aceh Barat Daya Akmal Ibrahim, Ketua Bappeda Abdul Rahman Lubis, Ir Elysa Wulandari MT (Unsyiah) dan pengamat Politik Fachri Aly (Jakarta).

Pengamat sosial dari Unsyiah, Elysa Wulandari, menyebutkan membangun wilayah pesisir Barsel Aceh harus mengedepankan kawasan permukiman pedesaan dan ekonomi pertanian terpadu yang berbasis pendekatan geografis perlindungan daerah bencana.

Solusinnya, pusat pengembangan dimulai dari permukiman pedesaan sesuai dengan karakter geografis dan potensi alam, seperti daerah aliran sungai dan rawa harus disesuaikan dengan kultur masyarakat di sekitar itu.

Perubahan peradaban masyarakat harus dilakukan secara bergenerasi melalui pendidikan dengan memunculkan kebutuhan masyarakat untuk bertempat tinggal di lokasi yang aman bencana dan dapat hidup secara terorganisir.

Hasilnya tidak diperoleh sesaat, tapi akan dirasakan para generasi mendatang di pesisir Barsel Aceh, katanya.

Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar dalam sambutan tertulis yang dibacakan Asisten IV Setda NAD T Harnawan menyebutkan kalau memang terjadi ketimpangan dalam pembagian kue pembangunan Aceh, ke depan harus diperbaiki, agar hasilnya dapat dinikmati masyarakat Barsel Aceh.

Sangat tidak arif kalau lari dari kenyataan, dan isu ketimpangan antara pantai utara dan timur dengan Barsel Aceh harus dicari solusi yang tepat dan cepat, katanya.

Pemerintah Aceh tidak keberatan untuk menata kembali bagaimana yang terbaik dalam membagi kue pembangunan Aceh, guna menghilangkan kesan pesisir Barsel Aceh sebagai anak tiri dan terpinggirkan.

Sebelumnya, masyarakat enam kabupaten pesisir Barsel Aceh (tidak termasuk Aceh Singkil dan Sibulussalam) sempat memunculkan wacana pemekaran provinsi yang terpisah dari NAD, karena mereka kesal diperlakukan tidak adil selama ini.

Apa pun langkah strategis yang dilakukan Kaukus Barsel Aceh tujuannya baik--hanya menuntut keadilan dan pemerataan pembangunan yang selama ini seperti sengaja ditelantarkan ketimbang pantai utara dan timur berkembang secara spektakuler.

Tuntutan keadilan dan pemerataan pembagian kue pembangunan Aceh itu merupakan hal yang wajar, setelah puluhan tahun tertinggal-kalau tidak disebut dizalimi untuk melanggengkan perdamaian hidup bersama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir

Tanggal : 2 Oktober 2006
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan.php?dw.150


Wilayah pesisir merupakan kawasan pembangunan yang penting karena sekitar 60% masyarakat bermukim di kawasan ini (Dahuri, 2002). Namun ironis, kawasan ini merupakan kantong-kantong kemiskinan, karena sekitar 60% masyarakat miskin bermukim di kawasan pesisir (www.dkp.go.id). Padahal, negara kepulauan yang memiliki panjang garis pantai 81.000 km ini menyimpan potensi ekonomi luar biasa untuk kesejahteraan rakyatnya.
Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir oleh Dr. Rusfidra, S.Pt.
Dalam konteks ini, pengembangan peternakan di wilayah pesisir merupakan salah satu bentuk usaha alternatif yang bermanfaat. Ternak dapat diusahakan untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir. Selain menghasilkan bahan pangan, ternak merupakan aset biologis (plasma nutfah), sumber pendapatan, tenaga kerja, tabungan hidup, biogas dan pupuk organik.
Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir oleh Dr. Rusfidra, S.Pt.
Rendahnya asupan protein hewani pada tingkat rumahtangga berisiko terhadap munculnya kasus malnutrisi, gangguan pertumbuhan otak anak balita, meningkatnya risiko sakit, terganggunya perkembangan mental, menurunkan performans anak sekolah dan produktivitas pekerja. Protein hewani memiliki komposisi asam amino lengkap, mudah dicerna dan dibutuhkan tubuh. Protein hewani berperan penting dalam mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang cerdas, kreatif, inovatif, produktif dan sehat.
Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir oleh Dr. Rusfidra, S.Pt.
Makalah ini akan mendiskusikan pentingnya peran ternak dalam pengentasan kemiskinan, menjaga ketahanan pangan, dan meningkatkan kecerdasan masyarakat pesisir. Ternak yang potensial dikembangkan di wilayah pesisir adalah sapi (khususnya sapi pesisir), kambing, ayam lokal dan itik. Pada bagian akhir diusulkan model program “Family Poultry” (FP) berbasis ayam lokal yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir.
Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir oleh Dr. Rusfidra, S.Pt.
Sapi pesisir merupakan merupakan sapi asli yang berkembang di kawasan pesisir Sumatera Barat (Anwar, 2004; Rusfidra, 2006; Saladin, 1983). Sapi yang memiliki tubuh kecil ini mampu beradaptasi dengan pakan hijauan yang mengandung kadar garam tinggi. Sapi pesisir berperan penting sebagai sumber pendapatan, daging, dan tabungan hidup masyarakat pesisir Sumatera Barat. Sapi pesisir diduga dapat dikembangkan di pulau-pulau kecil yang tidak memiliki penghuni di negeri kepulauan ini.
Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir oleh Dr. Rusfidra, S.Pt.
“Family Poultry” (FP) merupakan program Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) untuk mendukung tersedianya protein hewani, pendapatan dan pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang. Dengan melihat keberhasilan program FP di beberapa negara berkembang, penulis menduga bahwa program ini agaknya dapat dikembangkan di Indonesia.
Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir oleh Dr. Rusfidra, S.Pt.
Pengembangan peternakan di wilayah pesisir agaknya dapat dipertimbangkan sebagai sebuah solusi mengentaskan kemiskinan, menjaga ketahanan pangan dan meningkatkan mutu SDM masyarakat pesisir.
Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir oleh Dr. Rusfidra, S.Pt.
Kata kunci : sapi pesisir, peternakan, kemiskinan, kecerdasan, dan “family poultry”.

Nelayan Aluh Aluh Nekat Melaut

Tanggal : 22 Februari 2008
Sumber : http://banjarkab.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1259&Itemid=9


MARTAPURA, BPOST - Agar tetap mendapat penghasilan untuk menghidupi keluarga, puluhan nelayan Aluh Aluh Banjar nekat melaut meski gelombang di pesisir pantai di kawasan ini sangat tinggi. Mereka rela mempertaruhkan nyawanya di antara debur ombak setinggi 3-5 meter.


Seorang nelayan, Baseran mengaku tetap melaut meski risiko perahu mereka terbalik. Tapi, karena cuaca sedang buruk, hasil tangkapan para nelayan setempat merosot cukup tajam.


"Biasanya, kami bisa mendapat uang Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu, tapi sejak ada angin kencang dan ombak besar seminggu terakhir, penghasilan kami merosot tajam. Sehari kami hanya dapat uang Rp 25 ribu," kata Baseran, Rabu (20/2).


Menurutnya, para nelayan nekat melaut pada siang hari, karena anginnya relatif agak kecil. Mereka harus sampai rumah sore hari karena pada malam hari angin dan gelombang laut sangat besar. Jika malam hari, dipastikan tidak ada nelayan yang berani melaut karena gelombangnya sangat tinggi.


Baseran, mengatakan, puluhan nelayan rekannya tidak berani melaut karena takut perahunya terguling. Mereka memilih memperbaiki jaring dan perahu yang rusak. Mereka istirahat dari melaut selama beberapa hari ke depan sambil menunggu badai reda.


Pambakal Desa Podok Aluh Aluh Banjar Mahlan, mengatakan, akibat badai besar di pesisir pantai desanya, sebanyak 70 nelayan di desanya beralih profesi menjadi petani. Mereka terpaksa bertani sambil menunggu badai laut mereda.


"Kebetulan saat ini sudah masuk musim tanam, jadi mereka memanfaatkan istirahat melaut untuk bercocok tanam. Kalau badai sudah reda, nelayan akan kembali melaut," kata Mahlan.


Dia mengakui ada beberapa nelayan di desanya yang nekat melaut meski angin di laut cukup kencang. Tapi, biasanya para nelayan ini hanya melaut saat siang, dan malam harinya pulang karena angin kencang. Akibat badai tersebut, kata dia, penghasilan nelayan merosot, sekarang tinggal 25 persen.


"Bahkan ada nelayan yang hanya begadang karena tidak dapat tangkapan," kata Mahlan.


Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Banjar, Mh Suhadi mengatakan, saat badai besar seperti ini kebanyakan nelayan Banjar istirahat menunggu badai reda. Menurutnya, sebagian besar nelayan di kawasan pantai Aluh Aluh hanya untuk sampingan, sementara pekerjaan utama mereka adalah bertani. (sig)


AWAS GELOMBANG TINGGI :

Tinggi Gelombang Berbahaya Untuk

• 2 sampai 2,5 meter Kapal tongkang dan nelayan
• 2,5 sampai 3 meter Kapal roro/fery
• Di atas 3,5 meter Semua jenis kapal wajib mewaspadai

Bayar Karbon, Bayar Kemiskinan

Tahun : 2007
Sumber : http://www.kpshk.org/index.php?option=com_content&task=view&id=85&Itemid=2
Ditulis oleh tJong Paniti

"Sebenarnya nelayan kerja mati-matian, tapi tetap miskin! Kami tidak mau dikatan malas. Renungan saya , hampir semua pulau telah saya singgahi, tetapi nelayan tetap miskin! Saya nelayan yang bodoh, tapi apakah yang di atas (Pemerintah -red) juga bodoh? Padahal Indonesia kaya sumberdaya alam." (Sopuan 66 tahun, nelayan Semarang, Maret 2003)


Rezim Kemiskinan


Negara miskin adalah sebutan bagi negara yang mayoritas penduduknya miskin. Indonesia tergolong negara miskin. Sekalipun, kekayaan alam Indonesia sangat melimpah ruah.


Kesalahan terbesar terjadinya kemiskinan Indonesia justru diakibatkan ketidakbecusan rezim pemerintahan mengatur kekayaan alam yang berada di darat, laut, udara dan dalam perut bumi untuk kepentingan warga negara. Bad governance menimbulkan kemiskinan struktural yang berkepanjangan.


Pembangunan di segala bidang sebagai jalan memperbaiki kehidupan warga Indonesia untuk sejajar dengan warga dunia lainnya sudah dimulai sejak pergantian pemerintahan di tahun 1960-an. Presiden Soeharto (1967-1998) telah menerapkan pembangunan berbasis eksploitasi kekayaan alam secara besar-besar. Pembangunan berjalan demi pelunasan utang luar negeri --Pemerintahan Soekarno meninggalkan utang luar negeri sebesar 2 milyar dollar Amerika di tahun 1966.


Pergantian rezim pemerintahan tidak jua memperbaiki kondisi kesejahteraan warga negara. Perilaku buruk para administratur negara (Pemerintah) semakin kentara. Kolusi, korupsi, dan nepotisme dari rezim ke rezim tetap berlangsung. Korupsi atas dana pembangunan asal hutang dan hasil-hasilnya telah menyebabkan hutang Indonesia per sepuluh tahun semakin bertambah, saat ini sudah mencapai 150 milyar dollar Amerika.


Saat ekonomi dunia menilai kemiskinan warga dunia dengan daya konsumsi senilai 20 dollar Amerika per hari per orang, 48,8 % penduduk Indonesia terkategori miskin (World Bank, 2005) --BPS melalui survey dengan penghitungan sampling, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 30% pada tahun yang sama, sementara dengan menggunakan index kemiskinan dunia, Suharto (2006) menyebutkan 60% penduduk Indonesia miskin.


Miskin di Hutan dan Laut


Jauh sebelum masa penjajahan, di kawasan Nusantara sebagian besar masyarakatnya mengandalkan penghidupan dari sumber kekayaan alam di daratan dan lautan, sehingga saat lahirnya negara baru pasca kolonial, Indonesia menikberatkan pengelolaan kekayaan alamnya kepada kekuatan agraris dan maritim (ekonomi, politik, sosial dan budaya). Indonesia yang agrasis sekaligus maritim berlangsung hingga sekarang.


Kejayaan Indonesia sebagai negara agraris sekaligus maritim tidak pernah dibuktikan secara sungguh-sungguh oleh rezim pemerintahan dari jaman ke jaman. Pembangunan agraria dan maritim tidak ditujukan demi kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar masih hidup mengandalkan pertanian, kehutanan dan perikanan darat-laut. Kaum tani dan nelayan sebagai tulang punggung negara agraris dan maritim menjadi kaum pekerja di sektor agraria dan maritim, karena tidak ada jaminan hak dan akses atas agraria dan maritim. Kebijakan agraria (termasuk kehutanan) dan maritim hampir 40 tahun hanya memberikan peluang seluas-luasnya bagi pengembangan industri berbasis sumberdaya alam. Revolusi Hijau dan Revolusi Biru hanya sekedar jargon pemerintah yang semakin memiskinkan warga negara kelas bawah.


Petani menjadi miskin di hutan. Luas kawasan berhutan Indonesia hampir mencapai 143 juta hektar, akibat pengelolaan dan pemberian ijin pembukaan hutan bagi industri kehutanan dan pertambangan. Petani hutan yang terkelompok dalam komunitas-komunitas adat dan lokal tidak berdaya, sedari penerapan Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967, mereka tidak dijamin untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan, padahal kehidupan keseharian mereka semisal memanfaatkan hutan sebagai sumber kayu bakar, tanaman obat, madu, buah-buahan, padi dan lain-lain sangat bergantung langsung dengan hutan.


Kebijakan yang mengatur kepentingan petani hutan dalam sejarah kehutanan Indonesia tidak pernah diluncurkan. Masyarakat petani hutan di Padang Cermin, Lampung Selatan, sejak mereka mengusulkan kawasan Gunung Betung untuk menjadi kawasan pengelolaan masyarakat selalu mendapat penolakan sedari tahun 1980-an oleh pemerintah daerah maupun pusat (Departemen Kehutanan RI).


Di Pulau Jawa, seorang petani hutan memiliki lahan hanya 0,2 hektar, padahal luas minimum untuk pemenuhan kebutuhan hidup per-KK (kepala keluarga) di Jawa membutuhkan 0,5 hektar (Awang, 2006).


Bahkan kelompok masyarakat tani di Gunung Kidul, Yogyakarta, mendefinisikan miskin di hutan seperti ungkapan mereka, "Orang miskin itu bukan karena tidak memiliki beras, tetapi orang miskin tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka karena tidak ada jaminan penghasilan". Jaminan penghasilan bagi petani hutan adalah akses terhadap kawasan hutan (lahan produksi).


Di luar Jawa, terkadang petani hutan terusir dari kawasan hutan. 62 tahun Indonesia merdeka, petani hutan dalam kelompok-kelompok masyarakat adat mendapat perlakuan "relokasi", masyarakat dijauhkan dari ruang hidup sebenarnya -data terakhir yang terpantau oleh jaringan kehutanan sosial di Indonesia, ada sekitar 1.800 desa yang berbatasan dengan 14 kawasan konservasi di 5 pulau besar di Indonesia.


Tak jarang konflik-konflik terbuka antara petani dan petugas kehutanan mencuat hingga awal 2000-an. Pengusiran masyarakat adat Moronene di Nusatenggara dari kawasan hutan, bagaimana lahan dan tanaman kopi petani dirusak karena petani dianggap masuk ke kawasan hutan konservasi. Masyarakat adat Lore Lindu di Sulawesi Tengah sudah beberapa kali mengalami "resettlement". Masyarakat Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara, ladang-ladang mereka dibakar aparat kehutanan dan pemerintah karena pokok-pokok pohon jati yang menggiurkan, sehingga kawasan yang turun-temurun itu diolah masyarakat Kontu dianggap kawasan lindung yang pengawasannya di bawah kehutanan dan pemerintah daerah. Dan banyak kasus "resettlement" dilakukan dengan berbagai alas an. Petani hutan menjadi miskin di hutan.


Nelayan miskin di laut. Kemaritiman Indonesia ditandai oleh garis pantai Indonesia yang mencapai hingga 81.000 km. Dan dengan begitu tidak salah bila Indonesia memiliki 67.439 desa pesisir (41 juta jiwa warga Indonesia berada di pesisir sebagai nelayan dan petani tambak). Akibat pembangunan maritim yang tidak berpihak kepada nelayan dan petani tambak, kurang lebih 9.261 desa pesisir adalah basis kemiskinan Indonesia.


Kemiskinan di masyarakat pesisir sudah berlangsung sejak lama, seperti yang diungkapkan Sopuan 66 tahun (Maret 2003), "Sebenarnya nelayan kerja mati-matian, tapi tetap miskin! Kami tidak mau dikatan malas. Renungan saya , hampir semua pulau telah saya singgahi, tetapi nelayan tetap miskin! Saya nelayan yang bodoh, tapi apakah yang di atas (Pemerintah -red) juga bodoh? Padahal Indonesia kaya sumberdaya alam."


Nelayan-nelayan Indonesia adalah nelayan-nelayan tradisional. Penangkapan ikan disesuaikan dengan ilmu perbintangan untuk melihat pergantian musim, tanpa mengikuti perkembangan teknologi modern. Kemiskinan pada nelayan terjadi karena seperti apa yang mereka definisikan, "nelayan miskin adalah nelayan yang kehidupannya terancam karena penghasilannya rendah, tidak memiliki akses terhadap sumberdaya alam dan tata produksi secara adil serta tidak terpenuhinya hak-hak dasarnya sebagai komunitas dan masyarakat yang bermartabat."—rekomendasi pertemuan nelayan se-Jawa Tengah, Semarang 2003).


Permasalahan lain, masyarakat adat yang masih hidup secara nomaden di sepanjang laut pesisir di hampir semua pulau-pulau besar Indonesia dan negara tetangga, sering kali dianggap terbelakang dan miskin. Manusia perahu atau lebih dikenal dengan Suku Bajau dipaksa pindah ke daratan untuk program pengentasan kemiskinan yang justru semakin menjauhkan nelayan Bajau dari kehidupan sejatinya. Nelayan menjadi miskin di laut.



Dana Hijau (Utang dan Hibah)


Pembicaraan hangat negara-negara yang tergabung dalam PBB baru-baru ini tentang berbagai skema global dalam mengurangi terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim (lingkungan hidup) telah mendorong terbukanya peluang aliran dana bantuan (utang dan hibah) baru dari negara kaya kepada negara-negara miskin. Dana hijau akan segera masuk melalui skema-skema perdagangan karbon -pelepasan emisi karbon oleh aktivitas pembakaran mesin-mesin berbahan bakar fosil yang menyebabkan efek rumah kaca adalah faktor pendorong terjadinya pemanasan global.


Berkaca kepada masa lalu, belum hilangnya budaya kolusi, korupsi, dan nepotisme di kalangan birokrasi Indonesia, dana hijau ini tentu cenderung untuk diselewengkan. Padahal dana hijau ini adalah alat politik dan ekonomi internasional dalam menemukan jalur baru penguasaan geopolitik dunia setelah cadangan minyak dunia menipis -- Bank Dunia, saat ini mengelolah tidak kurang dari 10 dana karbon global yang bernilai 2 milyar USD atas nama 16 pemerintah dan 64 perusahaan swasta. Dan pilihan Indonesia untuk ini adalah skema REDD.


Jalur Karbon

Kompensasi dari adaptasi REDD (reduksi emisi dari pencegahan deforestasi bagi negara-negara berkembang) sangat menggiurkan. Dengan bermodal 144 milliar rupiah untuk penyelenggaraan UN Climate Change di Bali dalam sepekan di Desember nanti, Indonesia berharap untung hingga 33,75 trilliun rupiah pertahun bagi penjagaan kawasan hutan ke depan (Antara, 2007).


Untung ini tidak kecil bagi Indonesia. Bahkan, sebelum Rahmat Witoelar, Nabil Makarim yang menjabat Menteri Lingkungan Hidup pada pemerintahan Megawati memprediksikan Indonesia bisa mengantongi keuntungan sebesar 18 juta dollar Amerika pertahun dengan hanya menjaga hutan yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara dari kerusakan. Dan sayangnya, Indonesia era itu tidak segera meratifikasi Protokol Kyoto (1997). Dan tidak bisa dibayangkan dampaknya kini, mungkin APBN Indonesia tidak selalu dihantui oleh "defisit anggaran" yang setahun sekali selalu memaksa Pemerintah merevisinya.


Itu jikalau, sedari awal Prokol Kyoto diratifikasi dan Indonesia sungguh-sungguh menjaga hutannya.


Mediodre


Dasar pejabat dan orang-orang kita masih memiliki mental "inlander", dipikirnya uang 33,75 trilliun rupiah pertahun bisa membantu Indonesia lepas dari semua persoalan pembangunan (defisit APBN, kemiskinan, pengangguran, penipisan sumberdaya alam, korupsi, nepotisme, kehancuran lingkungan dan lain-lain). Bahkan hal yang sudah jelas saja semisal "pengerukan" sumberdaya hutan, tambang dan mineral yang ditengarai untuk membayar utang dan biaya pembangunan Indonesia sejak 1967 yang lebih besar dari nilai estimasi adaptasi REDD, tak jua bikin negeri ini lepas dari persoalan pembangunan dan dampaknya.


Tak salah memang apa yang disebut Rocky Gerung untuk para pemimpin Indonesia saat ini sebagai "mediocre" (low ability, value, quality, atau performance -dari Meriam-Webster) pada sebuah artikel hasil wawancara Maria Hartiningsih dengannya, di Harian Kompas beberapa waktu lalu. Pejabat LH dan delegasi RI untuk UN Climate Change agaknya pantas disebut para "mediocre".


Geopolitik


Kalau kita mengingat bersama istilah "Jalur Sutera" yang diperkenalkan seorang geografer Jerman, Ferdinand von Richthofen, pada awal abad 19-an, fenomena perdagangan karbon akan membentuk "Jalur Karbon".


Penguasaan geopolitik "Jalur Sutera" oleh pemain-pemain besar negeri penghasil sutera seperti India, China, Roma, Persia dan Arab tampak terasa di berbagai belahan dunia terutama bagi negeri-negeri kecil. Intervensi perdagangan global menciptakan perubahan peradaban baru. Negeri-negeri kecil di dunia menjadi kecina-cinaan, keindia-indian, keroma-romaan, kearab-araban, kepersia-persian.


Penguasaan geopolitik "Jalur Karbon" yang tertuang dalam berbagai perangkap Framework on Climate Change-nya PBB bisa jadi adalah duplikasi strategi geopolitik "Jalur Sutera". Tentu pemain terbesarnya para penghasil emisi karbon adalah China, Amerika, Perancis, Jerman, Jepang, Australia, Inggris dan negara maju lainnya (Annex I). Negara-negara miskin yang diming-imingi uang sebagai imbal jasa menjaga hutannya di Selatan sudah terbayang akan seperti apa. Kebijakan politik dan ekonomi negara miskin (Selatan) akan diatur oleh negara-negara Utara, termasuk Indonesia.


Posisi Si Miskin


Melihat berbagai hal yang diuraikan sebelumnya, kemiskinan di Indonesia adalah kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang diakibatkan bad governance. Tanpa perbaikan kebijakan atas ruang hidup dan sumberdaya alam yang berpihak kepada kepentingan rakyat banyak, bantuan-bantuan melalui skema apapun untuk mengurangi terjadinya kemiskinan akan mengalami kendala yang serupa di masa lalu.


Sikap yang perlu diambil dalam konteks skema bantuan (utang dan hibah) melalui Jalur Karbon bagi kemiskinan Indonesia adalah:

  1. Menolak skema bantuan Jalur Karbon dalam bentuk utang (kredit), karena akan semakin menambah jumlah utang luar negeri Indonesia yang saat ini sudah mencapai 150 milyar dollar Amerika (batas toleransi rasio terhadap pendapatan negara sebesar 40%, dan utang Indonesia sudah menjadi 4 kali lipatnya, 160% dan angka ini juga karena pemerintah menanggung penuh utang-utang swasta). Dalam kondisi bad governance, pemerintah akan melenyapkan begitu saja utang-utang hijau ini untuk kepentingan golongan tertentu (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sehingga kemiskinan semakin tidak terurus.
  2. Menolak skema utang Jalur Karbon yang akan diimplentasikan oleh swasta yang bergerak dalam industri "jasa hijau". Swasta lalai melihat rambu-rambu sosial dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan dan laut dimana proyek penyerapan karbon dilakukan, bad corporate governance sering kali terjadi dan melanggar hak dasar kemanusiaan (HAM) masyarakat semisal intimidasi, teror, dan pembatasan gerak masyarakat dalam kawasan hidupnya dimana proyek-proyek swasta berlangsung.
  3. Mepertimbangkan secara seksama bantuan hibah asal Jalur Karbon terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia. Hibah Jalur Karbon akan hanya difokuskan kepada penyemalatan kawasan-kawasan hijau di hutan dan laut yang melalaikan keberadaan lingkungan sosial setempat. Menjauhkan masyarakat dari ruang hidup asalnya akan semakin memiskinkan.
  4. Menerima hibah Jalur Karbon dengan syarat, hibah digunakan untuk perbaikan dan melahirkan kebijakan-kebijakan sumberdaya alam yang mempercepat pengakuan-pengakuan hak dan akses rakyat atas sumberdaya alam yang selama ini menjadi persoalan kaum miskin utama di Indonesia.
  5. Semua aliran dana hibah Jalur Karbon harus dikontrol dan dimonitoring oleh para negara "pembeli" dan "penjual" karbon dalam kelembagaan yang partisipatif dan multipihak (konsorsium antar negara). Agar negara-negara pembeli memiliki tanggungjawab penuh (termasuk pembiayaan) atas proyek penyelamatan bumi ini dan meminimalisir terjadinya penyelewengan-penyelewengan penggunaan.

Pemberdayaan Nelayan Suku Kamoro

Tanggal : 18 Februari 2008
Sumber : http://bentara-online.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=1161&Itemid=3


Potensi sumber daya laut yang berada hak ulayat Suku Kamoro sangat melimpah. Suku Kamoro dikenal dengam masyarakat nelayan. Kekayaan sumber daya alam disektor perikanan dapat mensejahteraan masyarakat. Potensi dan peluang ini dilirik oleh Gereja Katolik di Keuskupan Timika untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Suku Kamoro.


Keprihatinan Keuskupan Timika dilaksanakan dalam mengumpul dan menampung ikan yang mampu dijual dipasaran. Keuskupan Timika melalui Koperasi Maria Bintang Laut bekerjasama dengan Sosial Lokal Development PTFI untuk membeli ikan dari sekitar ratusan nelayan dari Masyarakat Suku Kamoro.


Pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat Suku Kamoro dalam membeli hasil tangkapan ikan sudah dilaksanakan sejak Mei 2006. Demikian dijelaskan Pengurus Koperasi Maria Bintang Laut, Sr Yulia kepada wartawan di Ujung Tanggul Barat, Sabtu (16/2).


Sr Yulia menjelaskan, koperasi menampung ikan dari Neyalan Masyarakat Suku Kamoro demi peningkatan kesejahteraan mereka. Koperasi membeli Ikan dari nelayan seharga Rp 8000 perkilogram langsung diambil dan ditimbang ditempat para nelayan berkumpul yakni di Ujung Tanggul Barat.


“Kegiatan ini sudah berjalan hamper dua tahun dan realisasinya bahwa para nelayan dari Masyarakat Suku Kamoro sangat mendukung bahwa ikan tangkapan mereka dijual kepada Koperasi. Disamping itu, koperasi juga menyediakan bahan bakar minyak (BBM) kepada nelayan serta menyediankan sembilan bahan pokok (Sembako) sehingga mereka langsung membeli untuk kebutuhan keluarga,” jelasnya.


Sr Yulia mengatakan, sarana dan prasarana kepada nelayan Masyarakat Suku disediakan oleh Perusahaan seperti mesin perahu, jaring dan kebutuhan lainnya. Koperasi membina sejumlah kampong di Distrik Mimika Timur Jauh seperti Kampung Nawaripi, ampung Koperapoka, Kampung Nayaro, Kampung Otakwa, Kampung Pulau Karaka, Kampung Fanamo dan Omawita.


“Kami menimbang dan membeli ikan-ikan dari nelayan yang sangat bagus untuk didistribusikan kepada konsumen kami di Rumah Sakit Mitra Masyarakat. Setiap kali menimbang sebanyak 1,5 ton,” jelasnya.


Mama Bibiana Tapawe mengaku, nelayan dari Masyarakat Suku Kamoro sangat diuntungkan dari apa yang dilakukan oleh Koperasi ini, sebab para tidak lagi menghabiskan ongkos transportasi ke Kota Timika untuk menjual ikan di pasar. Petugas dari Koperasi langsung menimbang ikan ditempat yang sudah ditentukan.


Group Leader dari Social Local Development PTFI, Yahya Alkatiri menjelaskan, perusahaan sangat mendukung disetiap pembinaan dan pemberdayaan serta pendampingan kepada semua suku di lingkungan operasional PT Freeport Indonesia . Pemberdayaan nelayan masyarakat Suku Kamoro bekerjasama dengan keuskupan Timika untuk membina nelayan terhadap potensi ikan yang sangat melimpah.


Kekayaan sumber daya laut di wilayah hak ulayat Suku Kamoro terus diberikan perhatian dan menjadi tanggungjawab perusahaan dalam mensejahteraan masyarakat. Disamping itu, perusahaan juga menyiapkan bus untuk masyarakat yang mengangkut hasil tangkapan mereka untuk dijual di Pasar Timika.


“Potensi ikan di Nelayan Suku Kamoro sangat banyak sehingga pemberdayaan terus dilakukan dengan bekerjasama dengan Keuskupan Timika yang dikelola oleh Koperasi Maria Bintang Laut,” jelas Alkatiri. (markus makur)


Dislutkan Fokuskan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil

Tanggal : 4 Februari 2008
Sumber : Dislutkan Fokuskan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil

Sumbawa Besar, Nusatenggaranews.com.-
Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Sumbawa Tahun Anggaran 2008 ini akan memfokuskan program pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau kecil di daerah ini.

Ir. Dirmawan, Kadislutkan Sumbawa menjelaskan bahwa sejumlah program strategis akan dilaksanakan tahun ini guna menggerakkan ekonomi kerakyatan.

Dari 15 program yang ada adalah program prioritas diantaranya pegembangan perikanan budidaya, perikanan tangkap, pengembangan ekonomi masyarakat pesisir serta pengembangan sarana dan prasarana.
Program pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau kecil misalnya, kata Dirmawan, pihaknya akan melaksanakan pengembangan prasarana dan infrastruktur di sejumlah pulau kecil di daerah ini, seperti penataan jalan lingkungan dan menyediakan sarana kelistrikan yakni PLTS, termasuk membangun tempat tambatan perahu bagi nelayan, selain pengembangan ekonomi produktif untuk masyarakat pulau kecil. "Program tersebut diharapkan agar masyarakat di daerah terpencil dapat mengejar ketertinggalannya dengan daerah lain," tukas Dirmawan.

Bukan hanya itu, lanjutnya, pihaknya juga memfokuskan program pengembangan budidaya rakyat, baik laut maupun di darat, seperti pengembangan budidaya rumput laut di sejumlah wilayah pesisir, perikanan air tawar dan air payau. Untuk perikanan tangkap, kata Dirmawan, pihaknya akan mengembangkan sarana dan prasarana tangkap, seperti jaring dan armada tangkap.

"Selain dukungan terhadap pengembangan infrastruktur tempat pendaratan ikan di Labuhan Jambu dan Prajak," sebutnya.

Terkait hal itu, kata dia, perlu dilakukan pengkajian dan penerapan teknologi perikanan, sosialisasi Perda budidaya perikanan serta pembinaan dan penguatan kelembagaan bagi nelayan. Untuk semua kegiatan tersebut dialokasikan dari dana alokasi khusus dan APBD sekitar Rp. 4 Milyar lebih. "Begitu juga dengan program fisik lainnya sudah direncanakan dan akan action sekitar Juni mendatang," tandasnya. (sumeks)

POINTER PROJECT "Fish Marketing Information For NAD"

Tanggal : 4 Februari 2008
sumber: http://www.indonesia.go.id/id/index.php?task=view&option=com_content&id=248&Itemid=752&limit=10&limitstart=20

Dalam rangka mengembangkan sistem informasi pemasaran hasil perikanan yang dapat menjangkau para pembudidaya ikan, nelayan, pengolah, pengepul, distributor dan eksportir hasil perikanan, secara cepat, tepat dan akurat, Ditjen P2HP mendapat bantuan teknik dari FAO.

Dampak yang diharapkan dapat dihasilkan oleh proyek ini adalah Propinsi NAD dapat menghasilkan produk perikanan yang berkualitas baik dan dapat bersaing secara ekonomi baik dalam lingkup pasar lokal, nasional dan internasional. Proyek ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan pada masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan di Propinsi NAD. Proyek ini akan menyediakan akses untuk informasi pemasaran bagi stakeholder yang terlibat pada perdagangan produk perikanan dan pelatihan mengenai cara untuk menggunakan sistem informasi tersebut bagi pihak pengolah produk perikanan.

Hal yang melatarbelakangi proyek ini adalah kepedulian dunia internasional terhadap perbaikan perekonominan masyarakat Propinsi NAD pasca bencana Tsunami dan gempa bumi. Dari waktu ke waktu telah banyak kegiatan bantuan yang telah dilakukan oleh pemerintah, para negara dan organisasi donor terhadap rehabilitasi dan rekonstruksi perikanan di NAD dan memberikan hasil dengan hampir pulihnya kondisi perikanan di NAD. Kebutuhan akan produk perikanan di Propinsi NAD sangatlah besar baik untuk pasar lokal, pembeli di Medan dan bahkan untuk ekspor ke Malaysia dan Singapura. Namun, dengan sistem pemasaran yang ada, nelayan memiliki kesempatan yang sangat kecil untuk mempengaruhi harga yang mereka terima karena keterbatasan informasi terhadap harga dan permintaan produk perikanan. Mereka terpaksa harus menerima harga yang telah ditetapkan oleh pihak pertama pada rantai pasar yaitu Toke Bangku (pihak dimana para nelayan biasa berhutang biaya operasional penangkapan ikan). Harga yang diterima oleh Toke Bangku juga ditentukan oleh Penjual ikan di pasar/pengolah ikan yang akan menjual ikan tersebut ke Medan dan mendapatkan ketentuan harga dari pedagang ikan di Medan. Pedagang ikan di Medanlah yang akan memegang peranan penting untuk penentuan harga sampai pada tingkat ekspor.

Proyek ini bermaksud untuk mendukung terbentuknya sebuah sistem informasi yang dapat diakses secara luas baik oleh produsen dan pedagang dan menyediakan informasi pemasaran ikan yang dapat diakses setiap saat oleh nelayan, pembudidaya ikan, pengepul dan pedagang ikan. Informasi akan didistribusikan melalui sistem yang transparan, menggunakan jaringan yang sudah tersedia, dapat melalui internet, sms, media cetak dan radio/TV. Informasi pemasaran yang akan disediakan akan termasuk tingkat kualitas sehingga penilaian yang realistis terhadap unit harga dapat dibuat pada nilai jual pertama. Pengaturan sistem informasi pemasaran hasil perikanan ini dibuat untuk pemasaran lingkup domestik dan juga internasional dengan maksud untuk memberikan keuntungan bagi nelayan/pembudidaya dan pengolah ikan skala kecil.

Berikut ringkasan proyek tersebut:

Nama Proyek : Fish Marketing Information For NAD

Anggaran : US$401150 Nomor Poyek : GCP/INS/078/SPA

Periode : Januari s/d Desember 2008

Negara : Agenda Espanola de Cooperacion Internacional (AECI) Government of Spainonor

Target Penerima :
Pengolah ikan wilayah NAD yang terkena dampak Tsunami
Nelayan NAD yang terkena dampak Tsunami
Pembudidaya ikan
Pengepul
Distributor dan eksportir hasil perikanan


Pelaksana :
  1. Staf Nasional (konsultan pemasaran ikan 12 orang bulan; konsultan informasi 16 minggu dan staff penunjang)
  2. Tenaga ahli asing (ketua konsultan 5 bulan; konsultan asing pada capacity building pemasaran dan promosi pemasaran 3 bulan)

Tujuan
  1. Pengembangan sistem informasi pemasaran untuk pemberdayaan masyarakat pesisir/nelayan dan pengolah ikan skala kecil dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
  2. Pengembangan sistem informasi pemasaran untuk meningkatkan daya saing dalam rangka pemasaran hasil perikanan.
  3. Pengembangan sistem informasi pemasaran untuk melindungi sumberdaya lingkungan dan konservasi.

Output : Sistem transparasi informasi pemasaran ikan
Kegiatan untuk mewujudkan output :
  1. Mengumpulkan data untuk identifikasi, koleksi dan merekap informasi pemasaran.
  2. Mengimplementasikan data tersebut melalui percontohan mekanisme informasi pemasaran.
  3. Melakukan pelatihan tentang cara-cara pemasaran, misalnya pelatihan pengumpulan data/harga pada pemasaran ikan lokal.
  4. Melakukan pelatihan tentang penjelasan informasi pemasaran, misalnya workshop untuk training semua stakeholders terkait.
  5. Menentukan perusahaan/partner dalam pemasaran antara NAD dengan pembeli pada suatu wilayah tertentu.
  6. Memfasilitasi penjual antara pedagang NAD dan partner dalam usaha dagang di Malaysia.

Indikator Output :
  1. Paket training/pelatihan tentang informasi pemasaran ikan yang terlibat dalam perdagangan.
  2. Kerjasama perikanan di Malaysia berhubungan dengan informasi pemasaran.
  3. Langkah yang sudah dilakukan :
  4. Mr. Sudari dari INFOFISH, Malaysia telah mengumpulkan data di Jakarta. Sumatera Utara dan Aceh pada akhir bulan Agustus 2007.
  5. Ditjen P2HP dengan perwakilan FAO di Jakarta telah membahas pilot project ini.

Saran :
Berdasarkan hasil ringkasan diatas, sebaiknya perlu adanya lembaga yang nantinya akan mengelola sistem informasi tersebut secara rutin, misalnya Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi/kabupaten/kota.