Fenomena Nasi Aking dalam Potret Kemiskinan

Tanggal : 18 September 2006
Sumber: http://opini.wordpress.com/2006/09/18/fenomena-nasi-aking-dalam-potret-kemiskinan/


- Akhir-akhir ini fenomena nasi aking muncul dalam pemberitaan di media massa. Warga di beberapa daerah mulai mengonsumsi hasil pengeringan nasi, yang ditanak lagi itu. Antara lain dialami oleh nelayan di wilayah Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes. Kemungkinan besar kasus serupa juga terjadi di daerah-daerah lain, tetapi tidak atau belum terjangkau media massa. Fenomena nasi aking sangat memprihatinkan, karena selama ini dikenal sebagai pakan bebek. Jika pakan binatang sudah diambil alih oleh manusia, apalagi penyebabnya kalau bukan kemiskinan? Keterpaksaan oleh keadaanlah yang membuat mereka tidak lagi segan atau malu.


- Kasus nasi aking di Brebes itu hanya merupakan gambaran kecil dari nestapa kemiskinan, yang melingkupi para nelayan di kawasan pantai utara. Pendapatan mereka rata-rata hanya Rp 3.000-Rp 5.000 per hari. Bandingkanlah dengan harga beras yang telah mencapai Rp 4.500 lebih untuk kualitas medium atau layak konsumsi. Padahal, dalam setahun mereka akan mengalami musim paceklik, karena tak bisa melaut selama hampir enam bulan. Sejak Juli lalu, para nelayan, yang sebagian besar berkategori tradisional itu, tidak bisa melaut, karena musim memasuki angin barat, yang ditandai oleh ombak tinggi dan besar. Berarti mereka tidak memiliki penghasilan.


- Tak mengherankan jika kemudian mereka mengonsumsi nasi aking. Bahan pangan tersebut bisa diperoleh seharga Rp 1.000/kg. Para nelayan itu mengatakan, nasi aking lebih mengenyangkan ketimbang nasi jagung, yang harganya tak terpaut banyak. Dalam keadaan tidak ada pemasukan untuk membeli nasi aking pun, kalau bukan menjual barang-barang berharga yang masih tersisa, tentu mengutang kepada tetangga atau penjualnya. Sungguh kenyataan yang mengenaskan. Namun, jika menoleh ke belakang, kita akan bisa memaklumi keadaan semacam itu. Kenaikan harga BBM tahun lalu merontokkan daya beli kaum miskin, termasuk nelayan.


- Penanganan untuk mengentaskan kaum miskin dari kemiskinan, yang dilakukan sejak beberapa waktu lalu, sejauh ini masih dipertanyakan efektivitasnya. Mulai jaring pengaman sosial (JPS) hingga subsidi langsung tunai (SLT) seolah-olah menguap begitu saja. Program-program yang dimaksudkan untuk membantu orang miskin itu justru menimbulkan dampak tak sedap berupa penyelewengan. Sejak awal, upaya tersebut memang diragukan oleh berbagai pihak, karena sifatnya lebih sebagai memberi ikan, bukan kail. Cara-cara demikian hanya akan menyebabkan makin tingginya kebergantungan kaum miskin terhadap program sejenis dari pemerintah.


- Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari sekitar 33 juta jiwa penduduk Jateng, 7,5 juta jiwa tergolong miskin. Sekitar 3,2 juta rumah tangga miskin menerima oleh program SLT senilai Rp 1,2 juta per tahun. Dengan asumsi tiap rumah tangga terdiri atas empat jiwa, hampir 12,8 juta jiwa tersentuh oleh subsidi tersebut. Dari jumlah itu 60% merupakan kategori miskin dan sangat miskin. Melihat angka-angka tersebut, kita berharap semestinya tidak terjadi fenomena mengonsumsi nasi aking. Namun, memang harus disadari, kemiskinan bukan sekadar angka. Standar yang lemah dan pendataan yang kurang valid bisa menyebabkan banyak yang lolos.


- Terlepas dari pro dan kontra atas jumlah orang miskin dan metode pengukurannya, kita tidak boleh berhenti berusaha mengentaskan kelompok yang kurang beruntung itu dari belitan kemiskinan. Khusus para nelayan di pantai utara, ada yang menyebutkan kemiskinan telah menjadi “budaya”. Untuk memutus lingkaran kemiskinan itu, dibutuhkan program-program semacam pendidikan, pelatihan-pelatihan keterampilan, serta dibantu permodalan. Lewat langkah tersebut diharapkan kemiskinan tidak lagi diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Pengalaman selama ini, program yang bersifat charity sulit diharapkan bisa menuntaskan.