Penanganan Kesehatan Nelayan Garut Mulai dipedulikan

Tanggal : 31 Desember 2005
Sumber: http://pub.garut.go.id/pub/news/detail/889-penanganan-kesehatan-nelayan-garut-mulai-dipedulikan.html

Kelompok usaha non formal terdiri para nelayan di pesisir pantai selatan Kabupaten Garut, Jawa Barat, kini penanganan kondisi kesehatannya mulai dipedulikan yang selama ini mereka sama sekali tidak memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM), padahal bekerja dilepas pantai sangat berisiko tinggi.

Maka sebanyak 25 orang pimpinan kelompok nelayan dari Kecamatan Pameungpeuk, Cibalong, Cikelet, Mekarmukti dan Kecamatan Caringin berserta unsur dari Puskesmas-nya masing-masing dan aparat desa, telah diberikan pemahaman secara detail tentang penanganan masalah-masalah yang dihadapi nelayan akibat resiko dari pekerjaannya, kata Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Garut Dr H. Tjetjep Hariaman MKes kepada garut.go.id, Jumat.

Namun para nelayanpun mengharapkan, penyediaan sarana kesehatan tidak hanya terkonsentrasi sepenuhnya di ibukota Kecamatan Pameungpeuk namun mereka mendesak agar bisa dikembangkan ke arah barat Garut selatan seperti antara lain di Kecamatan Mekarmukti dan Caringin, ujar Tjetjep Hariaman.

Maka solusinya melalui peningkatan Puskesmas Pembantu (Pustu) yang tersedia selama ini menjadu Puskesmas juga dari Puskesmas yang ada menjadi Puskesmas Dengan Tempat perawatan (DTP), sedangkan di Kecamatan Pameungpeuk tetap sesuai dengan rencana akan dibangun sarana rumah sakit, katanya.

Sedangkan untuk adanya jaminan kesehatan nelayan kini tengah direncanakan diproses pengurusan JPKM-nya, merekapun secara bertahap akan terus diberikan pemahaman dan keterampilan pemanfaatan kotak P3K sebagai upaya pertolongan pertama pada kecelakaan di laut ketika mereka tengah menangkap ikan, katanya.

Meski kini para nelayan dari lima kecamatan di kawasan Garut selatan itu mengusulkan adanya penyediaan dua uniut mobil ambulance, namun tetap diperlukan upaya peningkatan status Puskesmas yang selama ini tersedia di Cijayana maupun daerah terisolir lainnya di wilayah Garut selatan itu, ujar Hariaman menambahkan.

32 Persen Masyarakat Pesisir Hidup Miskin

Tanggal : 28 Desember 2005
Sumber : http://www.balipost.co.id/Balipostcetak/2005/12/28/e1.htm


Gianyar (Bali Post) -

Masyarakat Indonesia yang bermukim di daerah pesisir yang menekuni aktiivitas sebagai nelayan dengan peralatan yang sangat sederhana identik dengan kemiskinan. Tercatat sekitar 32 persen hidup di bawah garis kemiskinan. Demikian dikemukan Fariandi Leluasa dalam kunjungan kerja Komisi IV DPR-RI, Selasa (27/12) kemarin, di Koperasi LEPM3 Damar Pesisir Gianyar, di Desa Medahan, Gianyar.


Melihat kenyataan itu, lanjutnya, perekonomian masyarakat pesisir harus secepatnya dibangun. Jika masyarakat yang ada di pesisir mengalami tingkat ekonomi yang bagus maka hal itu membuktikan bahwa departemen Kelautan dan Perikanan ada. Jika masyarakat pesisir ekonominya memprihatinkan berarti departemen yang kenangani masalah tersebut tidak berfungsi.


Menurut Fariandi, kawasan pesisir merupakan kawasan yang mempunyai keanekaragaman. Pesisir juga memberikan apresiasi kesejahteraan dan hal lainnya kepada masyarakat. Di samping itu, keberadaan pesisir juga mempunyai korelasi yang erat dengan agama dan budaya. Untuk itu tidak semestinya masyarakat di kawasan pesisir mengalami hambatan di dalam pemberdayaan ekonomi.


Seiring kemajuan yang terjadi, khususnya di Bali di mana perkembangan kawasan pesisir kebanyakan untuk pariwisata maka ke depan sudah saatnya pengelolaan kawasan pesisir perlu diatur dengan dibentuk payung hukum. "Kami dari dewan sudah membuat rancangan UU pengelolaan kawasan pesisir," jelasnya.


Dibentuknya UU yang baru mengenai kawasan pesisir karena dari 20 UU pengelolaan pesisir yang ada kurang spesial. Sehingga untuk penataan kawasan peisir agar lebih memberdayakan ekonomi masyarakat tersebut perlu diatur lebih baik.


Kunjungan kerja Komisi IV DPR-RI dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat ini disambut oleh Bupati Gianyar AA Gede Agung Bharata, S.H. Dalam sambutannya Bupati Bharata mengungkapkan bahwa untuk daerah pesisir Gianyar kondisinya sangat memprihatinkan. Sepanjang kurang lebih 8 km pantai yang ada di Gianyar mengalami abrasi. Sementara itu, pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir di Gianyar dikembangkan melalui program PEMP.


Dipadukan Pariwisata


Sementara itu, Bupati Badung Anak Agung Gde Agung usai sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir (RUU PWP) di Denpasar mengatakan, daerah pesisir telah menjadi perhatiannya. ''Kami mengembangkan daerah pesisir dipadukan dengan pariwisata. Dengan kemitraan ini, kemiskinan masyarakat di kawasan pesisir dapat dikurangi,'' paparnya.


''Kami memberikan perhatian besar terhadap pembahasan RUU PWP. Kami banyak memberikan masukan ketika sosialisasi,'' katanya. Di antara masukan itu, pesisir Badung yang panjangnya sekitar 25 km berhadapan lansung dengan Samudra India mengandung potensi perikanan yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.


Pengentasan Kemiskinan Nelayan Melalui Departemen Kelautan dan Perikanan

Tanggal : 20 November 2006
Sumber : http://suaraindonesiaraya.com/index.php?USRTYPE=&ACT=NEWS_DETAIL&newsid=8

Jakarta, Duet kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla telah menetapkan prioritas program pembangunan nasional hingga tahun 2009 yaitu salah satunya bahwa menurunkan angka kemiskinan.

Kenyataan menunjukkan bahwa petani dan nelayan tergolong penduduk yang kurang sejahtera.
Sementara penduduk di wilayah pesisir hidup di bawah garis kemiskinan secara prosentasi lebih besar.

Departemen Kelautan dan Perikanan tahun ini memiliki banyak program untuk pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang diharapkan dapat menjangkau sebesar 13% dari populasi penduduk pesisir yang tergolong belum sejahtera.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, komitmen departemen yang dipimpinnya tidak main-main untuk mengentaskan kemiskinan karena sudah ditetapkan bahwa tahun ini pembangunan di sektor tersebut dan termasuk peningkatan kesejahteraan masyarakat pelaku usaha perikanan akan mampu memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 3,1%. Lanjut Numberi, jika semua program di institusinya berhasil dan mampu meningkatkan kesejahteraan para nelayan yang masih tergolong penduduk miskin, maka tidak berkelebihan kalau DKP merupakan ujung tombak dalam mengentaskan kemiskinan di negeri ini.
Di tempat terpisah, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, DKP, Sudirman Saad mengatakan salah satu faktor utama yang menyebabkan masih sulitnya masyarakat pesisir untuk keluar dari lembah kemiskinan adalah minimnya modal kerja yang dimiliki karena susah mendapat tambahan modal.

Menurut Sudirman, untuk mengatasi hal tersebut beberapa tahun yang lalu DKP melalui Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau kecil, khususnya Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir telah membentuk Lembaga Keuangan Mikro di kawasan pesisir untuk membantu masyarakat nelayan.

Sementara itu, Direktur Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, DKP, DR. Ir. Alex S. W. Retraubun, M.Sc mengatakan kepada SIAR pulau-Pulau kecil terluar merupakan wilayah yang selama ini belum tersentuh pembangunannya secara efektif, maka Pemerintah SBY-Kalla melalui Pepres No. 78 Tahun 2005 secara eksklusif mengatur tentang pengelolahan pulau-pulau kecil terluar.

Menurut Alex, di Indonesia terdapat 92 pulau terluar dan berdasarkan pertimbangan bahwa pulau-pulau tersebut adalah kawasan yang sarat dengan konflik karena berhubungan langsung dengan wilayah Internasional.

Untuk kepentingan NKRI wilayah-wilayah ini kalau tidak di urus akan muncul masalah sosial yang mengakibatkan adanya kesenjangan pembangunan, batas-batas maritim dan penegakan hukum, tutur Alex.

Lanjut Alex, masalah penegakan hokum harus ditangani secara serius karena wilayah-wilayah tersebut sangat marak terjadi aktivitas ilegal yaitu: ilegal logging, ilegal fishing, ilegal imigran dan sebagainya.

Pepres yang ditandatangani tanggal 29 Desember 2005 ini lahir sebagai komitmen dari Politicalwill pemerintah SBY-Kalla agar kesenjangan pembangunan di pulau-pulau kecil terluar ini bisa diatasi, tegas Alex.

Sementara itu Kepala Bagian Hukum Organisasi dan Humas, Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP, Ir. Aris Kabul Pranoto, M.Si yang ditemui SIAR di ruang kerjanya mengatakan pengelolahan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keutuhan NKRI serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat perbatasan. Olehnya perlu dilakukan pengelolahan pulau-pulau kecil terluar dengan memperhatikan keterpaduan pembangunan di bidang sosial, budaya, ekonomi, hukum, sumber daya manusia serta pertahanan dan keamanan, kata Aris.

Lanjut Aris, bahwa kelembagaan dalam pengelolahan pulau-pulau kecil terluar dikoordinasikan kepada Tim Koordinasi Pengelolahan yang diketuai langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.

Sedangkan Wakil Ketua I dan II yang juga merangkap anggota adalah Menteri Kelautan dan Perikanan dan Menteri Dalam Negeri serta dilengkapi 17 anggota dalam institusi terkait termasuk Kapolri dan Kepala BIN, ungkap Aris.

Disisi lain, Kepala Biro Perencanaan dan KLN, Sekertariat Jenderal, DKP, Ir. Saut. Hutangalung, M.Sc mengatakan kepada SIAR dengan cairnya dana untuk anggaran perikanan tahun ini Rp.2,6 triliun lebih, dimana sekitar 59%-nya atau sekitar Rp.1,56 triliun di alokasikan untuk pembangunan Kelautan dan Pesisir serta sekitar 20%-nya lagi atau Rp.516 Milyar akan dimanfaatkan untuk kegiatan yang berhubungan dengan budidaya komoditas perikanan.

Hal ini sudah merupakan kebijakan pembangunan Departemen Kelautan dan Perikanan dengan mengacu kepada prioritas pembangunan nasional yang telah tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah (2004 – 2009), serta Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2006 ini, tutur Saut. (Red)

MoU Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Diteken

Tanggal : 17 November 2005
Sumber : http://www.saldymansyur.com/artikel.php?news_id=22


Malili – Perhatian pemerintah terhadap masyarakat nelayan di Luwu Timur cukup besar, buktinya siang kemarin, Pemkab Luwu Timur menandatangani Memorandum of Understanding (MoU), untuk memberdayakan masyarakat nelayan Luwu Timur.Penandatanganan MoU itu dilaksanakan di Aula Kantor Bupati Luwu Timur


MoU itu ditandatangani antara Pemkab Luwu Timur dengan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, Asisten Deputi Kelembagaan Kewirausahaan Pemuda dan Industri Olahraga, Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Community Development PT. Inco.

Penandatangan MoU itu disaksikan langsung Ketua DPRD Luwu Timur H. Andi Hasan, Ketua Komisi B, Andi Rahmawati Sulthani dan Ketua Komisi C, Drs. Sarkawi A Hamid, juga Wakil Bupati H Saldy Mansyur, serta sejumlah kepala dinas dan bagian terkait.

MoU itu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan pesisir luwu timur dan terlaksananya kegiatan peningkatan kualitas sumber daya manusia masyarakat pesisir. "Termasuk pula terlaksananya kegiatan ekonomi produktif masyarakat pesisir dengan pendampingnya yang berkesinambungan dan berdayaguna," ujar Sudirman Saad, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Ditjen KP3K.

Ia mengatakan, masyarakat pesisir menjadi sumber daya kelautan yang ada di Indonesia sangat potensial untuk dikembangkan. Hanya saja, tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir sangat memprihatinkan dengan angka 32 persen di bawah garis kemiskinan.

"Angka ini akan ditekan sehingga angka kemiskinan masyarakat pesisir setiap tahunnya akan mengalami penurunan. Salah satunya dengan program pemberdyaan masyarakat pesisir,"terangnya lagi.

Sementara Pihak Inco yang diwakili Sawedi Muhammad menyatakan, kesiapannya untuk bekerjasama dan bersinergi dengan pemkab Luwu Timur melalui pemberian bantuan lewat Community Development, baik melalui kegiatan social maupun ekonomi untuk memberdayakan masyarakat Luwu Timur.

Sedangkan Bupati Drs. H. A. Hatta Marakarma, MP. Juga menyatakan, sangat merespon semua proses MoU tersebut. Ia mengatakan, potensi SDA yang dimiliki Luwu Timur memang cukup besar, namun potensi tersebut tidak perlu dibanggakan kalau tidak mampu mengelola dengan baik dan professional.

Makanya, untuk mengantisipasi hal itu, Pemkab akan mengupayakan untuk menjalin kemitraan serta bersinergi dengan berbagai pihak yang terkait dengan masyarakat kecil, terutama masyarakat pesisir.

Hatta menyampaikan, terima kasihnya karena hal itu sangat membantu Pemkab Luwu Timur dalam mengentaskan masalah kemiskinan, khususnya masyarakat pesisir Luwu Timur. Selain itu, Bupati juga mengingatkan agar tidak menyalahgunakan APBD Luwu Timur, karena uang tersebut adalah uang rakyat yang harus dikelola dengan baik sehingga dapat dipertanggungjawabkan. (/ama)(Sumber : Palopo Pos, 17/11/05)

Wako Dumai Diminta Berdayakan Masyarakat Pesisir

Tanggal : 30 Oktober 2005
Sumber : http://www.riau.go.id/index.php?module=articles&func=display&ptid=1&aid=1367


DUMAI (Riau Online): Gubernur Riau H.M Rusli Zainal SE mengharapkan Walikota Dumai memberikan perhatian terhadap apa yang sudah dilakukan oleh masyarakat, dan menyiapkan program- program dalam rangka pemberdayaan yang diberikan kepada warga masyarakat, terutama sekali kepada yang ada di pesisir pantai atau nelayan-nelayan yang ada.

‘’ Minggu lalu saya bertemu dengan Menteri Daerah Tertinggal bapak Syaifullah Yusuf dan saya sampaikan rencana-rencana bagai mana beliu dapat membantu dan mendukung program pemberdayaan desa dan kawasan-kawasan tertinggal yang ada di wilayah kita ini,’’ujarnya.
Menurut Gubernur, rencana yang diusulkannya itu mendapat sambutan positif dari Menteri Daerah Tertinggal.Dalam pertemuan itu, Menteri menyatakan kesiapannya untuk mendukung program yang dilakukan oleh pemerintah Riau.

‘’Oleh karena itu saya harapkan wali kota dan bersama dinas terkait untuk dapat menyusun dan kita akan fasilitasi bagaimana supaya program- program pembangunan pemberdayaan masyarakat dapat diwujudkan guna membantu potensi yang kita miliki begitu besar’’ jelasnya Rusli.

Dikatakan untuk dapat mengembangkan potensi-potensi besar ini, perlu mensinergikan dan menyatukan program bersama antara kabupaten/kota, provinsi dan termasuk nasional, untuk membangun potensi kita ini, apalagi kita berbatasan langsung dengan Selat Malaka’’imbuhnya.

Kekayaan Laut Nusa Tenggara Timur, Cuma Dinikmati Angka-angkanya

Tanggal : 29 Oktober 2005
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0510/29/Fokus/2161863.htm
Oleh PASCAL S BIN SAJU


Seorang nelayan mendayung sampannya di tengah laut tidak jauh dari dermaga feri Bolok, Kupang, Nusa Tenggara Timur, awal Oktober ini. Saat itu tim Lintas Timur-Barat Kompas sedang menanti datangnya feri dari Larantuka.


Sampan bagaikan garis kecil yang membayang hitam di tengah luasnya lautan dan cakrawala subuh itu. Dalam perjalanan pulang ke Kupang, tepatnya di Nunbaun Sabu atau Namosain, bertebaran ratusan perahu nelayan. Mereka sudah sejak malam harinya tidak melaut karena mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM), terutama solar serta biaya perawatan mesin. Umumnya perahu mereka menggunakan mesin berkapasitas lima PK.


Fakta yang terlihat itu, baik nelayan, sampan, perahu maupun laut, serta-merta merefleksi ulang kondisi kelautan dan perikanan di NTT. Meski luas wilayah lautnya lebih besar, yakni 199.526 kilometer persegi (76,3 persen), ternyata laut belum berdampak ekonomis bagi penduduknya, terutama bagi warga pesisir.


Penduduk pesisir, seperti diwakili antara lain oleh para nelayan di atas tadi memang masih mengandalkan pada usaha penangkapan secara tradisional. Apalagi usaha produktif sektor kelautan tidak didukung oleh modal yang memadai, seperti terpancar dalam komunitas nelayan Namosain tadi.


Potensi besar


Perairan Laut Sawu, Laut Flores, dan Laut Timor beserta selat-selat yang menjahit 566 pulau ke dalam satu gugus kepulauan NTT memiliki potensi besar. Bidang kelautan memiliki multisektor ekonomi meliputi perikanan, pariwisata, pertambangan laut, industri maritim, transportasi laut, bangunan dan jasa kelautan lainnya.


Subsektor perikanan pada provinsi kepulauan ini memiliki potensi perikanan tangkap yang cukup besar baik untuk jenis cakalang, kerapu, kakap putih, sardin, baronang maupun cumi-cumi. Namun, pemanfaatannya baru mencapai 26,56 persen dari potensi perikanan sekitar 365,1 metrik ton per tahun.


Budidaya perikanan, seperti mutiara dan rumput laut, sebenarnya dapat berkembang baik di sini. Namun, dari potensi alam yang tersedia sekitar 5.150 hektar, yang tergarap baru di bawah 10 persen, tepatnya 8,74 persen atau hanya tergarap pada areal seluas 450 hektar.


Belum lagi di bidang pariwisata bahari, seperti Pantai Nembrala di Rote, Komodo di Manggarai Barat, Taman Wisata Alam Laut 17 Pulau Riung di Ngada, serta Kalabahi di Alor. Usaha di bidang transportasi laut sebenarnya amat terbuka di sini, yang sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal baik di Flores, Timor maupun Sumba.


Dengan masih mengandalkan armada, teknologi penangkapan dan budidaya yang tradisional, seluruh kapasitas, kuantitas, dan kualitas produksi menjadi sangat rendah. Jangan heran jika mayoritas penduduk pesisir NTT, tidak bisa lebih sejahtera dari tahun-tahun sebelumnya, kecuali tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinannya.


Hampir pasti, penduduk di 644 desa dan kelurahan di NTT yang termasuk desa pesisir karena berbatasan langsung dengan laut, terjebak dalam kemiskinan permanen. Jumlah penduduk pesisir ini mencapai 1,2 juta jiwa atau setara 30 persen dari total penduduk NTT sekitar 4.110.929 jiwa (data Februari 2005).


Di Papela, Pulau Rote, dan pantai Tablolong di Kupang Barat, atau Wuring di Sikka dan Labuanbajo di Manggarai (Flores) misalnya, nelayan dan petani rumput laut terjerat utang kepada para tengkulak. Di perkampungan pesisir itu, para tengkulak memberlakukan bunga pinjaman antara 15 persen hingga 20 persen.


Ada banyak juga nelayan yang berjuang mengatasi kemiskinannya dengan menembus Laut Timor, atau Flores, tetapi tetap dengan armada dan teknologi penangkapan tradisional. Nelayan Rote selalu dilumpuhkan patroli Australia yang secara sepihak mengecap nelayan itu telah melakukan penangkapan ilegal di Laut Timor.


Sudah bertahun-tahun nelayan di Laut Timor bergulat sendiri, tanpa sebuah advokasi dan perlindungan hukum. Setiap hari tetap ada nelayan tradisional di perairan ini yang ditangkapi, di mana armada dan alat tangkapnya dimusnahkan.


Gemala atau getupa?


Seperti sudah diungkap tadi, dengan mengandalkan arma- da dan teknologi penang- kapan tradisional, sulit bagi nelayan untuk bernapas lega meski lautnya kaya. Fakta ini sungguh sangat ironis karena sejak 10 tahun lalu Pemerintah Provinsi NTT telah menggalakkan pro- gram gerakan masuk Laut (Gemala).


Artinya, dengan Gemala itu seharusnya telah terjadi perubahan yang signifikan pada wajah sektor kelautan dan perikanan pada provinsi dengan 566 pulau itu. Meski ada Gemala, sebenarnya kelautan dan perikanan masih diposisikan sebagai sektor pinggiran dalam pembangunan daerah, bahkan hingga di era otonomi daerah saat ini.


Tampaknya Gemala sebagai sebuah gerakan perlu dikoreksi dan dikaji ulang. Seharusnya yang dilakukan pertama sebelum bergulirnya Gemala adalah gerakan turun ke pantai (Getupa), sebuah gerakan mempersiapkan masyarakat yang lahannya telah kritis untuk mengenal karakter usaha di pesisir atau laut.


Gemala hanya mungkin efektif untuk keluarga nelayan. Jika yang dimaksud adalah dalam konteks pendekatan totalitas fungsi dan potensi laut, maka harus didahului dengan pembangunan jalan lingkar pantai. Tidak mudah mempersiapkan kondisi ini jika tidak sungguh-sungguh menggarap potensi kelautan dan perikanan tadi.


Memang pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan investasi. Tetapi menciptakan kondisi daerah agar investor tertarik ke wilayah itu amatlah penting. Pertumbuhan investasi di bidang kelautan tidak pernah terjadi sejak tahun 2001, kecuali sebelumnya, yakni tahun 2001 dan 2002, total investasi dalam negeri 15 buah.


Laut di NTT belum menjadi arus utama dalam kebijakan ekonomi, belum diolah, kecuali hanya dilihat sebagai ”peluang”. Dari waktu ke waktu para pengambil keputusan di provinsi ini hanya bangga menampilkan angka-angka potensi, entah sampai kapan akan dieksploitasi bagi kepentingan rakyat di seluruh kawasan.(BD/ANS/COK/YNS/DNU/ RIE/ISW/JL)

Mengangkat Harkat Generasi Nelayan

Tanggal : 17 September 2005
Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=121636
Oleh Aris Kabul Pranoto

Masalah kemiskinan nelayan yang berdampak terhadap keselamatan generasi nelayan, baik di tingkat internasional, nasional maupun lokal telah mendapat perhatian serius. Lewat pertemuan tingkat menteri bertajuk Regional Ministrial Meeting on Millenium Development Goal's (MDGs) in Asia and The Pacific: The Way Forward 2015 di Jakarta, 3-5 Agustus lalu, masalah kemiskinannelayan itu menjadi topik bahasan utama. Pertemuan itu sendiri dilatarbelakangi Resolusi Sidang Majelis Umum PBB Nomor 59/145 yang mendorong negara-negara anggota PBB untuk turut serta secara konstruktif melaksanakan proses konsultasi formal di tingkat sub-regional atau regional menuju ke arah terselenggaranya High Level Plenary Meeting (HLPM).

Proses konsultasi tersebut diharapkan menghasilkan masukan strategis bagi penyelenggaraan HLPM, September 2005 ini. Salah satu hasil penting Jakarta Declaration adalah kesepakatan menyusun kerja sama konkret yang melibatkan semua pihak untuk mengurangi kemiskinan dan mencapai target MDGs secara tepat waktu.

Deklarasi Jakarta antara lain memperkuat komitmen mencapai MDGs pada 2015 dengan mengintegrasikannya dalam strategi kerja sama regional. Kemudian, meningkatkan solidaritas dan kerja sama konkret negara-negara di Asia Pasifik untuk melakukan upaya bersama dalam suatu kemitraan regional, serta mendorong upaya percepatan pencapaian MGDs melalui program tujuan jangka panjang dan program praktis jangka pendek melalui quick win.

Kenaikan harga minyak dunia dinilai dapat memengaruhi pencapaian MDGs. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama negara-negara kawasan untuk mengatasi masalah ini termasuk melalui pencarian sumber-sumber energi alternatif dan mendukung pelaksanaan efisiensi energi.

Deklarasi Jakarta menghasilkan pula komitmen meningkatkan ketersediaan sumber keuangan untuk pencapaian MDGs melalui pendanaan inovatif, seperti debt for MDGs swap dan skema melalui keuangan mikro bagi pencapaian tujuan-tujuan MDGs. Di samping, meminta Badan Komisi PBB untuk Asia Pasifik (UN ESCAP) menyusun roadmap pencapaian 2015 serta membantu mobilisasi sumber dana pembiayaan MDGs yang akan menjadi agenda bahasan pada pertemuan UN ESCAP ke-62 di Jakarta, April 2006.

Departemen Kelautan dan Perikanan sendiri melalui Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil telah memiliki program unggulan yang diimplementasikan sejak tahun 2001 berupa Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang diinisiasi untuk memecahkan persoalan-persoalan kemiskinan terstruktur masyarakat pesisir. Program ini memiliki dua tujuan. Pertama, memfasilitasi proses transformasi kultur wira-usaha masyarakat pesisir ke manajemen modern berorientasi bisnis. Kedua, memfasilitasi pembentukan lembaga keuangan mikro (LKM): swamitra mina, BPR Pesisir, dan unit simpan pinjam.

Tujuan ini diupayakan dalam semangat desentralisasi sehingga pelaksanaannya menggunakan metode block grant langsung ke kabupaten atau kota dengan misi-misi tertentu. Pertama, peningkatan kualitas hidup masyarakat pesisir melalui peningkatan pendapatan. Kedua, perluasan kesempatan dan peluang kerja berusaha. Ketiga, peningkatan kualitas SDM. Keempat, pemanfaatan sumber daya lokal secara bertanggung jawab serta pelibatan masyarakat dalam upaya pelestarian dan peningkatan mutu lingkungan.

Program PEMP telah berkembang di 160 kabupaten/kota yang memiliki potensi pesisir. Lewat program ini diharapkan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya para nelayan meningkat sehingga membawa dampak positif bagi pendidikan dan kesehatan anak-anak nelayan. Selain itu, dalam rangka menjalankan misi peningkatan kualitas SDM, telah dirintis program regenerasi nelayan karena akses pendidikan dan ekonomi nelayan sangat rendah, begitu juga akses memperoleh modal kerja. Regenerasi nelayan adalah sebuah terobosan untuk mempersiapkan SDM dengan mendidik putra-putri nelayan agar memiliki kemampuan dan keterampilan di bidang usaha perikanan.

Pola regenerasi nelayan mengembangkan proses kemitraan lewat kerja sama antara Departemen Kelautan dan Perikanan, pemerintah kabupaten, perusahaan pembimbing, akademisi kelautan dan perikanan. Pengembangan dilakukan melalui inisiasi pilot project regenerasi nelayan dengan sistem anggaran menggunakan Dana Ekonomi Produktif (DEP). Pilot project regenerasi nelayan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan telah dilaksanakan di Kabupaten Sumenep (Madura) Kabupaten Luwu dan Situbondo, dimulai sejak tahun 2003.

Program pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengutamakan asas manfaat dengan tetap menjaga sustainabilitas lingkungan. Hal ini mengingat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat peka dan rentan terhadap perubahan lingkungan. Untuk itulah, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara baik dan bijaksana dengan tetap memerhatikan kelestarian lingkungan yang berbasis masyarakat setempat.

Untuk mengelola sumber daya pesisir dan laut telah diterapkan kebijakan yang bersifat reaktif dan proaktif. Kebijakan reaktif lebih dititikberatkan pada rehabilitasi dan pemulihan ekosistem yang rusak, pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat pesisir, pengembangan mata pencaharian alternatif serta pengayaan sumber daya pesisir. Sedangkan kebijakan proaktif mendesentralisasikan pengelolaan wilayah pesisir dan laut, menyusun kebijakan umum yang memberikan arahan bagi pemanfaatan sumber daya pesisir secara lestari, merumuskan manual perencanaan pengelolaan pesisir terpadu, serta menyusun RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir agar pemanfaatan sumber daya pesisir diregulasi secara bertanggung jawab dengan landasan hukum yang tegas dan jelas.

Salah satu strategi untuk mengatasi kelemahan kapasitas kelembagaan di daerah dalam pembangunan kelautan dan perikanan adalah mengembangkan Program Mitra Bahari. Melalui program ini, kelemahan sumber daya manusia dapat diperkuat universitas; dan kegiatan kelautan dan perikanan dapat diakselerasi melalui inovasi dan aplikasi iptek di bidang kelautan dan perikanan. Program ini juga memberikan manfaat kepada Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, Kabupaten, Kota dan badan otonom daerah, sekaligus meningkatkan kapasitas perguruan tinggi itu sendiri. Penguatan kapasitas kelembagaan daerah ini memacu pertumbuhan ekonomi berbasis kelautan dan memperkuat otonomi daerah secara bertanggung jawab. ***

Penulis Kabag Hukum, Organisasi dan Humas Ditjen Kelautan,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Menteri Meutia Hatta kunjungi perempuan pesisir di marunda

Tanggal : 31 JULI 2005
Sumber : www.jakartautara.com/modules/news/article.php?storyid=639 - 32k -

Cilincing (Pos Kota) – Perempuan memiliki peranan strategis untuk meningkatkan komisi ikan dalam menu keluarga sehari-hari. Karena itu, mereka perlu dibekali pengetahuan bagaimana cara mengolah dan mendiversikasi produk ikan.

Menurut Meutia ikan merupakan makanan dengan sumber protein yang sangat tinggi. Jika saja masyarakat sudah terbiasa makan ikan sebagaimana menu sehari-hari, ia yakni kasus busung lapar tidak perlu terjadi.

“banyak perempuan yang kurang memahami tentang kandungan gizi dalam ikan. Karenanya jarang mereka menyajikannya dalam menu sehari-hari,” ujar Meutia.
Karena itu Meutia berjanji akan melakukan sosialisasi tentang pentingnya ikan sebagai sumber protein ini. Termasuk keterampilan mengolah ikan menjadi aneka makanan yang enak dan menarik.

Walikota Jakut Effendi Anas membenarkan bahwa banyak perempuan pesisir yang memang kurang mengetahui tentang manfaat ikan ini. Buktinya selain banyaknya kasus anak kurang gizi, pendududk di daerah pesisir pantai Marunda banyak yang hidup dibawah garis kemiskinan. Kalau saja ikan sudah diolah menjadi produk olahan menarik, tentu ekonomi masyarakat setempat menjadi terangkat. Termasuk soal gizi anak- anak.

Karena itu pihaknya menyambut baik rencana Kementerian Pemberdayaan Kelautan untuk memberikan ketrampilan bagi perempuan pesisir di wilayah Marunda.
Ketrampilan mengolah produk ikan ini diharapkan bisa memperbaiki kondisi perekonomian masyarakat setempat.

Kemiskinan Masyarakat Pesisir Disebabkan Rendahnya Pendidikan

Tanggal : 25 Juli 2005
Sumber : http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/7/25/e2.htm


Denpasar (Bali Post) -
Kemiskinan masyarakat pesisir Indonesia sudah mencapai angka cukup tinggi yakni sekitar 80 persen dengan pendidikan rendah. Padahal, wilayah pesisir yang mencapai sekitar 81.000 km merupakan salah satu kekayaan yang paling besar yang dimiliki Indonesia. Kekayaan ini bukannya tidak dimanfaatkan dalam berbagai bentuk kegiatan pembangunan, melainkan sudah digunakan untuk kegiatan perikanan, pariwisata bahari, dan pertambangan. Bahkan, sudah menjadi sumber hidup jutaan penduduk Indonesia. Demikian disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Ir. Ali Supardan, M.Sc. baru-baru ini.


Menurutnya, kemiskinan yang dialami masyarakat pesisir ini bisa terjadi karena masih rendahnya pendidikan dan banyaknya konflik kepentingan yang ingin memanfaatkan wilayah pesisir. Menyoal rendahnya pendidikan ini, ia mengatakan DKP sudah bekerja sama dengan Departemen Pendidikan untuk mengupayakan fasilitas pendidikan masyarakat nelayan. ''Kami juga berusaha mengupayakan agar pendidikan yang diperoleh masyarakat nelayan ini bisa gratis,'' katanya.


Diharapkan melalui pendidikan yang lebih tinggi, kesejahteraan masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan ini bisa ditingkatkan. Selain itu, pemerintah juga menyalurkan program bantuan modal kepada masyarakat pesisir yang dinamakan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP).


Dia memaparkan selama 2000-2003, pola yang diterapkan dalam PEMP ini berupa bantuan dana bergulir yang bisa dipinjam dan dikelola koperasi. Namun, pada 2004 hingga saat ini sistem dana bergulir itu diubah dan diserahkan melalui perbankan. Dalam hal ini peminjam masih berasal dari koperasi, namun yang hanya koperasi simpan pinjam yang merupakan binaan perbankan dengan nama Swamitra Mina Koperasi. ''PEMP yang digulirkan sejak tahun 2004 murni menggunakan sistem perbankan,'' jelasnya.


Dia mengemukakan untuk 2005 ini besar dana PEMP yang disediakan pemerintah mencapai sekitar Rp 120 milyar untuk 147 kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Setiap kabupaten/kota memperoleh bagian sekitar Rp 600 - 800 juta. Secara umum, lanjutnya, berdasarkan beberapa laporan mengenai PEMP ini terdapat peningkatan pendapatan peserta program hingga 60 persen. Di samping itu, tumbuh pula minat menabung dari kalangan peserta dan semakin eratnya kerja sama antarindividu dalam hal pembagian informasi pasar. Lebih penting lagi, tekannya, keterikatan dengan tengkulak perlahan-lahan mulai bisa diminimalisasi.


Terkait konflik pemannfaatan ruang wilayah pesisir, dikatakan Supardan, saat ini telah ada rancangan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir (RUU PWP). Sementara ini, RUU tersebut masih berupa draf yang sedang disempurnakan. Bila telah rampung penyempurnaannya, draf RUU PWP itu akan dibawa ke DPR melalui pembuatan Amanat Presiden, karena sifatnya yang sangat diperlukan dalam waktu secepatnya. ''Kalau bisa 2005 ini sudah bisa disahkan, sebab keberadaan UU ini sangat penting untuk kepastian hukum jaminan usaha berbagai sektor yang menyangkut pemanfaatan laut dan wilayah pesisir,'' ujarnya. (kmb18)


Globalisasi dan Kemiskinan Nelayan

Tanggal : 15 Juni 2005
Sumber : http://www.mail-archive.com/ppiindia@yahoogroups.com/msg22089.html
Oleh : Muhamad Karim


Globalisasi yang melanda seantero dunia saat ini seolah-olah telah menjadi idiologi baru. Di forum-forum seminar, lokakarya, konvensi dan kongres suatu organisasi selalu menempatkan kata "globalisasi" dalam tema acara.


Seolah-olah jika tidak menempatkan kata ini, terkesan ketinggalan jaman. Premisnya, kalau tidak siap menghadapi globalisasi, maka kita akan tergilas
olehnya. Benar memang pernyataan itu. Akan tetapi, apakah kita seolah-olah pasrah saja dan tidak boleh melakukan langkah antisipatif bahkan perlawanan? Inilah yang mendasari mengapa menulis artikel ini. Mungkin orang akan bertanya apa keterkaitan globalisasi dengan kemiskinan nelayan ? Bagaimana proyek globalisasi beroperasi sehingga kemiskinan nelayan bertambah parah ?


Politik Globalisasi


Politik globalisasi tidak hanya diaktualisasikan dalam perekonomian dunia yang berbentuk perdagangan bebas dan investasi. Melainkan globalisasi telah melanda seluruh sendi-sendi penunjang kehidupan umat manusia, yaitu dari aspek sosial, ekologis dan sumberdaya alam. Dengan mengusung idiologi neo-liberalisme, globalisasi telah menimbulkan berbagai dampak negatif bagi pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, termasuk sektor kelautan dan perikanan. Hegemoni politik globalisasi dalam sektor kelautan dan perikanan telah menjadi "paradigma pemikiran" kalangan pengambil kebijakan di negara berkembang seperti Indonesia. Dengan perkataan lain, pemerintah dan kalangan legislatif di Indonesia secara tidak sadar telah mempraktekkan idiologi neo-liberalisme dalam kebijakan pembangunan.

Apabila kita mencermati, hegemoni globalisasi dalam sektor kelautan dan perikanan bergerak pada level global dan regional serta internal negara Pada level global dan regional, politik globalisasi membangun hegemoninya lewat intervensi perubahan hukum-hukum laut internasional, standarisasi dan labelisasi perdagangan produk hasil laut serta "dominasi dan penguasaan"melalui organisasi internasional maupun regional. Intervensi melalui hukum-hukum laut internasional diusung melalui isu lingkungan sehinggamelahirkan model pengelolaan laut secara global.

Alasannya, lautan memiliki keterkaitan ekologis yang membentuk sebuah kesatuan ekosistem, sehingga perlu pengelolaan bersama lintas negara. Standarisasi dan labelisasi perdagangan produk hasil diusung lewat isu lingkungan guna menciptakan produk pangan yang aman. Alasannya, negara-negara berkembang banyak mengalami pencemaran lingkungan dan bahkan isu terbaru yang dikembangkan yakni bio-terorism. Ditolaknya produk udang Indonesia beberapawaktu lalu merupakan contoh kongkrit implementasi politik globalisasi.

Dominasi dan penguasaan melalui organisasi internasional seperti Indian Ocean Tuna Comission (IOTC), yaitu sebuah organisasi regional yang mengelolan perikanan tuna di perairan Samudera Hindia. Parahnya, Indonesia sulit sekali menjadi anggota organisasi ini padahal perairannya berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan nelayan Indonesia kerap menangkap ikan diperairan itu.

Anehnya, Jepang yang sama sekali tidak menguasai perairan itu justru menjadi anggota dan memiliki pengaruh yang kuat terutama dalam pengaturan kuota penangkapan ikan dan jumlah kuota yang dimiliki setiap anggota. Melalui organisasi Convention for Conservation of Sourthern Bluefin Tuna (CCSBT), Jepang, bersama Australia dan Selandia Baru mengklaim penguasaan atas perikanan tuna sirip biru (blue fin tuna) di Samudera Hindia. Jepang berhak atas kuota 52 %, Australia 45 % dan Selandia Baru 3 %. Negara yang bukan anggota CCSBT apabila ketahuan menangkap ikan tuna di Samudera Hindia dianggap illegal fishing atau free rider, terkecuali mengikuti syarat-syarat tertentu.

Utang Luar Negeri

Hal lain yang juga menarik dari politik globalisasi adalah pemberian utang luar negeri yang dibungkus oleh isu pengelolaan sumberdaya kelautan seperti terumbu karang (coral reef), mangrove, dan kemiskinan. Kita mengenal program Coral reef Rehabilitation and Management Programe (COREMAP) untuk merehabilitasi terumbu karang, Program Kemitraan bahari (Sea grant), Program Co-fish dan Marine Coastal Resources and Management Programe (MCRMP) yang semuanya dibiayai utang luar negeri dari Bank Dunia (World Bank) maupun Asian Development Bank (ADB). Kedua organisasi ini merupakan lembaga keuangan internasional yang menopang politik globalisasi. Parahnya, hasil-hasil program ini tidak mampu mengangkat harkat dan martabat nelayan dari lingkaran setan kemiskinan.

Indonesia pun tetap mengalami ketergantungan keuangan pada organisasi-organisasi internasional itu. Dampaknya, adalah politik globalisasi bukan mengurangi kemiskinan nelayan, melainkan memperparah kemiskinan itu sendiri. Kalaupun ada yang mengatakan bahwa program-program itu mampu memperbaiki lingkungan, menaikan pendapatan nelayan dan produksi hasil perikanan, penulis masih sangksi. Buktinya, banyak program yang telah dijalankan hanya berlalu tanpa bekas sedikit pun dan tidak berkelanjutan (unsustainable) atau gagal sama sekali.

Sebagai perbandingan bahwa kegagalan program-program Bank Dunia di Afrika tahun fiskal 1998-1999 pernah diungkapkan Bruce Rich (2003) yakni proyek-proyek yang berkelanjutan hanya mencapai 34 %, yang berdampak pada pengembangan kelembagaan 26 % dan sektor lingkungan hidup mengalami penurunan dari 55 % menjadi 50 %. Jelas, bahwa politik globalisasi belum terbukti mensejahterakan di negara-negara berkembang dan menanggulangi kemiskinan.

Pada level internal negara, hegemoni politik globalisasi dalam bidang kelautan di Indonesia dilakukan melalui intervensi perundang-undangan. Undang-Undang Perikanan (UUP) No. 31 Tahun 2004 merupakan fakta yang terbantahkan. Beberapa yang dapat diungkap, umpamanya, (i) adanya klausal yang memperbolehkan kapal asing beroperasi di wilayah perairan Indonesia.


Lucunya, pemerintah malah membuat pernyataan bahwa tahun 2007 semua kapal asing dilarang beroperasi di perairan Indonesia. Bukankah hal ini bertentangan dengan UUP yang juga disepakati pemerintah dan DPR; (ii) dalam UU itu program pemberdayaan nelayan dimasukkan menjadi pasal-pasal tersendiri.


Bukankah hal ini secara "terselubung" merupakan upaya untuk mempertahankan pemerintah agar tetap mendapatkan utang luar negeri dari organisasi-organisasi keuangan internasional dengan dalih mengurangi kemiskinan nelayan? Penulis mencurigai bahwa beberapa pasal dalam UUP tersebut diintervensi oleh kepentingan-kepentingan negara maju dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Fenomenanya tidak berbeda jauh dengan UU Pengelolaan Sumberdaya Air yang diundangkan karena menjadi syarat pengucuran dana sebesar US$ 400 juta dari Bank Dunia.

Penyakit Kronis

Kita sebagai bangsa Indonesia tidak menyadari bahwa globalisasi sebenarnya sudah lama meramba sektor kelautan dan perikanan. Kalau mau jujur,sejak program modernisasi perikanan tahun 70-an dengan slogan "Revolusi Biru",globalisasi secara perlahan memasuki ranah perikanan Indonesia. Dampaknya sekitar 30 tahun kemudian, hampir seluruh wilayah perikanan Indonesia, terkecuali Samudera Hindia dan Pasifik, mengalami tangkap lebih (over fishing)akibat beroperasinya kapal-kapal perikanan modern baik dimiliki perusahaan domestik maupun asing. Bahkan kebanyakan kapal asing yang beroperasi di Indonesia bersifat ilegal. Dalam perikanan budidaya hal yang sama tidak jauh berbeda. Bentuknya lebih parah lagi karena hampir seluruh aktivitas perikanan budidaya tambak udang di Indonesia sejak "bom" udang tahun 80-an dikuasai oleh perusahaan multinasional.

Penguasaan ini tidak hanya berbentuk pesatnya kemajuan industri pertambakan udang. Akan tetapi, pemilik modal menguasai lahan yang dulunya milik petani tambak tradisional yang dibeli dengan harga murah. Dampaknya adalah selain memperparah kemiskinan nelayan karena pada akhirnya melahirkan kelas buruh nelayan (anak buah kapal dan buruh tambak), juga menciptakan kerusakan lingkungan yaitu kehancuran hutan mangrove hampir di seluruh pesisir pantai Indonesia. Inilah awal dampak globalisasi yang merasuk dalam dunia kelautan dan perikanan Indonesia.

Globalisasi dengan segala varian dan bentuknya telah menghancurkan sumberdaya kelautan dan perikanan serta menciptakan kemiskinan struktural di Indonesia. Kini sudah saat melakukan perubahan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan tanpa harus menggantungkan diri lagi pada lembaga-lembaga keuangan internasional. Janganlah kemiskinan nelayan dijadilan alat untuk mendapatkan utang luar negeri dengan dalih mengentaskan kemiskinan itu sendiri.

Terdapat banyak langkah dan upaya yang dapat dilakukan untuk menoptimalkan sumberdaya lokal untuk melahirkan kebijakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan serta pengentasan kemiskinan nelayan. Dengan demikian, kekuatan posisi tawar kita pada level global maupun regional akan semakin kuat, karena kita tidak mengantungkan diri pada kekuatan-kekuatan penggerak globalisasi.


Untuk mewujudkan hal itu prasyarat utamanya adalah pemerintah harus menegakan hukum, memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta membangun politik diplomasi kelautan yang intensif di level internasional. Sebab, penyakit kronis yang mengakibatkan politik globalisasi dengan mudah merasuki sektor kelautan dan perikanan, termasuk sektor pembangunan lainnya adalah kemiskinan, KKN, dan utang luar negeri. Apabila semua hal ini dapat secara perlahan-lahan disembuhkan, maka globalisasi tidak akan mudah menghegemoni kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan secara totalitas. Semoga !

Benang Kusut Kemiskinan Nelayan

Tanggal : 01 Juni 2005
Sumber : http://www.mail-archive.com/proletar@yahoogroups.com/msg08676.html
Oleh : Muhamad Karim

Beberapa minggu terakhir media massa ibu kota termasuk koran ini memberitakan kasus kematian dan penangkapan nelayan Indonesia oleh aparat keamanan Australia. Pihak Australia menganggap mereka menangkap ikan di perairannya. Anehnya, pemerintah Indonesia tidak memiliki kepedulian sama sekali, sehingga seorang nelayan kita meninggal dunia. Kejadian ini semakin menguatkan tesis yang mengatakan bahwa penyebab kemiskinan nelayan adalah kemiskinan struktural. Dengan kata lain, bagaimana mungkin kita mengharapkanpemerintah untuk mengembangkan kebijakan pembangunan yang menghargai harkat dan martabat nelayan miskin.


Problem kemiskinan

Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya sebagian besar bersumber dari aktivitas menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya. Mereka umumnya hidup di kawasan pesisir pantai dan sangat dipengauhi kondisi alam terutama angin, gelombang, dan arus laut, sehingga aktivitas penangkapan ikan tidak berlangsung sepanjang tahun. Pada periode waktu tertentu nelayan melaut karena angin kencang, gelombang besar dan arus laut yang kuat.


Kondisi alam ini kerapkali disebut musim paceklik yaitu suatu musim dimana nelayan tidak beraktivitas sama sekali. Guna mencukupi kebutuhan hidupnya, mereka umumnya mengutang pada juragan yakni pemilik kapal dan alat tangkap.


Utang akan dibayar saat kondisi alam membaik dan hasil tangkapan ikan melimpah. Prasyaratnya adalah nelayan harus menjaul hasil tangkapannya pada juragan dengan harga ditentukan juragan. Dampaknya buruk dari hubungan nelayan dan juragan ini adalah pada saat musim ikan ternyata nelayan tidak memperoleh hasil yang memuaskan. Akibatnya, utang tidak mampu dilunasi dan menumpuk karena musim paceklik berikutnya nelayan kembali mengutang pada juragan.

Pola hubungan nelayan-juragan ini kerap disebut sebagai patron-client (patronase). Pola hubungan ini mengakibatkan kemiskinan struktural nelayan menjadi lestari. Penyebabnya adalah nelayan tidak memiliki mata pencaharian alternatif dan sumber keuangan untuk menutupi hidup saat musim paceklik. Kemiskinan struktural pada masyarakat nelayan juga disebabkan oleh pola bagi hasil antara buruh nelayan dan juragan yang tidak adil dan terkesan eksploitatif. Pola bagi hasil dalam perikanan tangkap ditentukan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan, misalnya gill net, purse seine atau pukat layang. Contohnya, pola bagi hasil dengan menggunakan alat tangkap gill net yaitu 50:50. Artinya, juragan mendapatkan bagian dan buruh nelayan bagian setelah dikurangi biaya operasional.

Anehnya, pola bagi hasil ini diberlakukan sampai umur ekonomis alat tangkap itu habis. Padahal dalam sistem investasi terdapat penyusutan alat. Pola bagi hasil dalam perikanan tangkap tidak pernah memperhitungkan penyusutan alat, sehingga sekalipun kemampuan dan kapasitas alat tangkap menurun, tetap saja juragan mendapatkan bagian 50 persen sejak alat itu dioperasikan. Problem pola bagi hasil inilah yang terlupakan oleh Raymond Firth ketika menyebutkan karakteristik penyebab kemiskinan nelayan yakni pendapatan nelayan yang bersifat harian (daily increment) dan sulit ditentukan jumlahnya; dari aspek pendidikan, komunitas nelayan dan anak-anak nelayan pada umumnya rendah; dari sifat produk yang dihasilkan nelayan pada umumnya berhubungan dengan ekonomi tukar menukar karena produk yang dihasilkan bukan makanan pokok; sektor perikanan yang menjadi mata pencaharian nelayan membutuhkan investasi besar dan cenderung beresiko tinggi dibandingkan sektor lainnya; dan kehidupan nelayan yang miskin diliputi oleh kerentanan, misalnya terbatasnya anggota keluarga yang terlibat secara langsung dalam kegiatan produksi dan ketergantungam mata pencaharian pada kegiatan menangkap ikan.

Kemiskinan struktural nelayan di Indonesia juga berkaitan dengan tindakan ekspolitasi sumberdaya ikan yang dilakukan oleh pemodal besar dan mendapat dukungan dari penguasa dan aparat keamanan. Salah satu penyebab mengapa nelayan NTT menangkap ikan sampai memasuki perairan Australia adalah ketidakmampuan mereka bersaing dengan armada penangkapan modern baik legal maupun ilegal yang beroperasi di perairan Arafuru. Padahal perairan ini dulunya menjadi tempat mereka menangkap ikan. Beroperasinya armada perikanan modern pada akhirnya memarjinalkan nelayan tradisional yang menggunakan motor tempel ataupun perahu bermotor. Problem seperti ini terjadi karena hak dasar nelayan untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya ikan tidak dilindugi dan dupenuhi oleh negara.

Negara lebih mengutamakan pengusaha perikanan modern. Selain itu, perkembangan kawasan pesisir sebagai daerah wisata maupun perikanan tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan nelayan. Hasil kajian penulis dengan menghitung indeks perkembangan wilayah tahun 2004 di Pelabuhanratu, Sukabumi, menggambarkan bahwa infrastruktur wilayah yang berkembang pesat tidak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Justru di kawasan inil malahan menjadi kantong-kantong kemiskinan yang dicirikan oleh banyaknya perumahan kumuh, tingginya angka pengangguran, tingginya jumlah penduduk yang bermukim di bantaran sungai, dan penduduk pra-sejahtera dan sejahtera I. Dengan perkataan lain, perkembangan infrastruktur wilayah seperti PPN Pelabuhanratu dan Koperasi Mina ternyata tidak mampu menanggulangi kemiskinan nelayan. Hal ini berarti terjadi proses pembangunan kawasan pesisir untuk daerah wisata yang mengorbankan masyarakat komunitas nelayan di kawasan itu. Semua uraian ini meninjukkan bahwa problem kemiskinan nelayan bagaikan benang kusut yang belum dapat diurai secara tuntas.

Paradigma baru

Hal lain yang perlu dikritisi berkaitan dengan kebijakan pemerintah adalah ketidakjelasan implementasi program-program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan nelayan, misalnya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program-program ini di hampir semua daerah mengalami kegagalan.


Kalaupun ada yang berhasil itu hanya di atas kertas semata yaitu dalam laporan akhir proyek. Pada kenyataannya berbeda seratus delapan puluh derajat di lapangan. Penyebabnya adalah cara berpikir pengambil kebijakan di negeri ini tentang kemiskinan masih menggunakan prinsip neoliberal yaitu kemiskinan merupakan persoalan individu yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan atau pilihan-pilihan individu berangkutan.

Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Oleh karenanya strategi yang harus diterapkan dalam penanggulangan kemiskikan adalah bersifat residual, sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok swadaya, atau lembaga keagamaan. Keterlibatan negara hanya sebagai ''penjaga malam'' yang baru ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya. Dalam program penanggulangan kemiskinan nelayan prinsip ini diterapkan dalam bentuk program bantuan alat tangkap, pelatihan manajemen keuangan dan bahkan intervensi kelembagaan yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) maupun Bappenas.

Hasil temuan penulis kurun waktu tahun 2002-2004 mengenai pemberdayaan nelayan di Deli Serdang, Asahan, Karawang, dan Sukabumi menunjukkan bahwa strategi ala neoliberalisme ini banyak diaplikasikan sehingga mengalami kegagalan pada tingkat implementasi. Dalam strategi ini bukan malahan meningkatkan kapasitas dan memperkuat organisasi nelayan itu sendiri.


Melainkan, program-program itu lebih banyak dijalankan dan dikuasai kelompok elite pada lingkaran kekuasaan pemerintahan desa, intitusi bakul dan juragan serta pengelola KUD Mina. Mereka bahkan menutup sama sekali akses informasi bagi masyarakat lain yang ingin mengetahui program yang dikembangkan. Jadi, jangan berharap program itu akan berhasil dan berkelanjutan serta memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan.


Persoalan kemiskinan termasuku komunitas nelayan ternyata tidak hanya mencakup dimensi ekonomi semata, tetapi lebih bersifat komperehensif dan terintegrasi yang mencakup kekuasaan politik, kelembagaan (hukum dan aturan main), kebijakan, budaya, dan lingkungan fisik termasuk kerusakan ekologis. Oleh karenanya memerlukan paradigma baru dalam dalam kebijakan mengurangi kemiskinan yaitu menganggap orang miskin sebagai manusia yang bermartabat.

Oleh karenanya, kebijakan yang dibutuhkan bukanlah kebijakan yang memihakmereka, tetapi bagaimana kebijakan itu mampu membangkitkan kepentingan hak-hakdasar orang miskin. Strategi yang dikembangkan adalah memastikan bahwa hak-hakdasar orang miskin harus diakui, misalnya hak untuk mengakses terhadap sumberdaya alam dan ekonomi; hak-hak dasar orang miskin tidak dapat diberikanatau dicabut; negara melaksanakan tanggungjawabnya dan kewajibannya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak nelayan miskin; dan wilayah strategi penanggulangan kemiskinan sangat ditentukan oleh konteks wilayah dan sektor yang menjadi mata pencaharian pokok masyarakat miskin, umpamanya nelayan.

Maksudnya, kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat tunggal seperti apa yang disarankan pemerintah pusat, akan tetapi tergantung pada kebutuhan dan kepentingan orang miskin serta kondisi lingkungan mereka menetap. Dengan perspektif ini kita mengharapkan pemerintah memiliki cara pandang baru dalam penanggulangan kemiskinan nelayan.

Pemerintah Minta Industri Perikanan Kembangkan Armada Lokal

Tanggal : 27 Mei 2005
Sumber : http://www.kapanlagi.com/h/0000065333.html


Kapanlagi.com
- Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengharapkan industri perikanan nasional tidak lagi menggantungkan pada luar negeri untuk pengadaan armada tangkapnya namun turut berperan dalam pengembangannya.

Usai menutup Rapat Kerja Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tahun 2005 di Jakarta, menteri menyatakan, diperlukan komitmen seluruh kalangan baik pemerintah maupun swasta, termasuk industri perikanan untuk mengembangkan armada perikanan dalam negeri.


"Oleh karena itu industri perikanan juga mesti memanfaatkan armada penangkap ikan dari dalam negeri." katanya.


Menurut dia, selama ini armada perikanan yang didatangkan dari luar, terutama Cina, dirancang untuk menangkap ikan dengan menggunakan "double trawl" akibatnya bisa merusak lingkungan.


Freddy menyatakan, kapal-kapal penangkap ikan yang diproduksi industri perikanan dalam negeri harus dirancang agar tidak merusak lingkungan guna menjaga kelestarian sumberdaya laut.


Sementara itu Dirjen Perikanan Tangkap Husni Manggabarani menyatakan, pengembangan kapal perikanan dan alat penangkap ikan merupakan salah satu prioritas program pembangunan bidang perikanan tangkap pada 2006.


Melalui program tersebut, tambahnya, pihaknya akan melakukan berbagai kegiatan seperti pengembangan teknologi penangkapan produktif dan ramah lingkungan, restrukturisasi armada perikanan nasional, pengembangan alat bantu penangkapan yang ramah lingkungan.


Standardisasi sarana perikanan tangkap, penyiapan rancangan dasar kapa dan alat tangkap ikan sebagai percontohan, pembangunan prototipe kapa spesifik daerah penangkapan dan target spesies serta penerapan standar kapa dan alat penangkap ikan.


Tekan Kemiskinan


Pada kesempatan tersebut menteri juga menyatakan, pemerintah menargetkan mampu menekan tingkat kemiskinan pada masyarakat nelayan hingga mencapai 10,2 juta orang pada 2009 dari saat ini sebanyak sekitar 30 juta orang.


"Jumlah penduduk miskin di tanah air saat ini sekitar 47 juta jiwa yang mana 60 persen diantaranya merupakan masyrakat pesisir dan diharapkan pada 2009 hanya 7,5 persen," katanya.


Menurut dia, kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multi dimensi dan ditengarai disebabkan tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat seperti kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan infrastruktur.


Selain itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan serta budaya dan gaya hidup masyarkat pesisir yang cenderung boros.


Freddy menyatakan, upaya untuk menekan angka kemiskinan masyarakat pesisir dilakukan dengan menarik investor asing mengembangkan usaha di sektor perikanan di tanah air sehingga mampu membuka lapangan kerja bagi masyarkat pesisir.


Untuk nelayan miskin di wilayah yang telah mengalami kelebihan tangkap, seperti di Jawa, pemerintah akan melakukan relokasi atau penempatan ke daerah lain yang dinilai potensi perikanannya masih tinggi dengan jumlah nelayan yang tidak terlalu padat.