Bila Keringat Petani Garam tak Asin Lagi

Tanggal : 7 Februari 2007
Sumber : http://acehupdate.degromiest.nl/archives/001928.php

Reporter: Cut Ida - Lhokseumawe


Sebagai daerah yang dekat dengan pesisir pantai, Kecamatan Tanah Pasir dikenal sebagai salah satu sentra produksi garam di Aceh Utara. Tak kurang dari 97 kepala keluarga menggantungkan hidup dengan memproduksi garam secara tradisional yang dikenal dengan sebutan meulancang.


Itu belum termasuk para mugee (agen) yang juga menggelayutkan hidup keluarganya dari produktivitas garam. Yang jelas, lebih dari 300 jiwa secara langsung hidup dari garam. Secara tidak langsung jumlahnya tentu lebih banyak lagi.


Dulu, setiap hari para petani garam di Desa Matang Tunong dan Kuala Cangkoi, Tanah Pasir, memproduksi garam dari air laut. Mereka bekerja di bawah terik matahari yang membakar kulit dan kepala. Sinar yang panas menyengat tidak membuat mereka mengeluh. Sebaliknya, sinar menyengat mereka sambut dengan gembira karena dari sanalah produksi garam berjalan. Sinar berlimpah, berarti penguapan air cepat terjadi, dan tinggallah butiran garam.


Para petani yang berjalan di atas lahan produksi garam dengan mendorong pengeruk adalah pemandangan sehari-hari di Matang Tunong dan Kuala Cangkoi sebelum badai tsunami datang.


Dalam satu gubuk yang biasanya memiliki satu kepala keluarga atau lebih, mampu menghasilkan 405 kilogram (kg) garam per hari. “Total produksi dalam satu hari, kira-kira 4 ton dengan luas lahan kira-kira 100 hektar,” kata Kepala Kemukiman Lapang, Tgk Zainal Abidin kepada acehkita, Sabtu (5/2). Kemukiman adalah gabungan beberapa desa terdekat.


Kini para petani garam hidup di bawah tenda pengungsian dengan berbagai persoalan yang menyertainya. Kulit mereka tidak lagi dibakar sinar matahari. Tak ada lagi keringat yang mengalir di sekujur tubuh. Kalau pun ada, itu disebabkan atap-atap tenda tidak mampu meredam panasnya matahari. Bukan dari kerja keras memproduksi garam.


“Tidak mungkin kami meulancang lagi. Lahan sudah ditutupi lumpur setinggi satu meter. Butuh waktu untuk mengeruknya. Dengan tangan tentu saja tidak mungkin,” kata Ibrahim (48), seorang petani garam di Tanah Pasir. Bersama istri dan empat anaknya, lelaki berkulit hitam itu kini tinggal bersama ribuan pengungsi di lapangan belakang pasar Tanah Pasir. Saat ditemui sore itu, ia sedang mengangkut air dari mobil tanki milik PDAM Tirta Mon Pase.


Ibrahim mengaku tak bisa melakukan apa-apa lagi selain menunggu. Hidup keluarganya pun digantungkan pada bantuan yang diberikan kepada pengungsi dengan lauk pauk seadanya. Terkadang mereka memang menikmati ikan segar, tapi lebih sering ikan asin dengan kualitas rendah.


“Tapi yang lebih susah bila anak-anak minta jajan. Mengungsi dekat pasar susah. Setiap saat anak-anak melintasi orang jualan. Namanya juga anak-anak. Mana tahu mereka orang tuanya lagi susah. Terpaksa saya mengutang dari orang lain. Masalahnya, orang lain sekarang hidupnya seperti saya. Belum bisa bekerja....” tambah Ibrahim.


Keluhan senada juga datang dari Ben Arifin (50). Sehari-hari, lelaki empat anak itu memang tidak memproduksi garam. Tapi Ben adalah mugee garam. Sebelum bencana tsunami datang, ia membeli garam dari petani di Matang Tunong dan Kuala Cangkoi kemudian menjualnya ke beberapa kecamatan di sekitar Tanah Pasir seperti Syamtalira Aron, Lhoksukon, atau Geudong. Karena kendaraan yang digunakan hanya sepeda butut, daya jelajah Ben memang terbatas.


“Kini sepedanya pun sudah hanyut dibawa air,” katanya.


Saat menyaksikan percakapan wartawan dengan sejumlah petani garam, Ben mengira ada pihak yang akan membagi-bagikan bantuan. Ia bertanya apakah setelah didata akan datang bantuan untuk mereka. Begitu bergantungnya pengungsi dari kemurahan orang lain sehingga wartawan datang sering dikira pihak yang akan menyalurkan bantuan.


Seorang pedagang angsuran pakaian, M Majid Daud (38), juga mengaku tidak bisa melakukan apa-apa setelah berada di bawah tenda pengungsian. Sebelumnya, penduduk Desa Kuala Keureuto itu menjelajahi setiap desa untuk menjajakan dagangannya. Pasarnya selama ini adalah desa pesisir di Tanah Pasir seperti Kuala Cangkoi, Matang Baroh, Matang Tunong, Keude Lapang, dan Kuala Keureuto.


“Sekarang aktivitas masyarakat di desa terhenti. Otomatis daya belinya juga turun. Jadi, kalaupun saya berjualan, tidak ada yang beli. Bahkan orang yang mengangsur pakaian sampai hari ini belum bisa bayar,” kata Majid.


Namun, ketika ditanyakan mengapa ia tidak menjajakan dagangannya ke desa yang tidak terkena tsunami, lelaki itu terdiam lama. Kemudian dia kembali mengatakan bahwa saat ini masyarakat tidak memiliki aktivitas sehingga tidak mempunyai penghasilan. Bencana tsunami telah membuat banyak masyarakat kehilangan pekerjaan. “Karena itu kami butuh pekerjaan...”


“Tapi Bapak bisa berjualan di desa yang tidak terkena tsunami. Masyarakat di sana, kan, tidak kehilangan pekerjaan. Mereka juga tidak hidup di tenda pengungsian.”


Pedagang pakaian angsuran itu kembali terdiam.


***


Tanah Pasir memang termasuk salah satu kecamatan di Aceh Utara yang paling parah tingkat kehancurannya dan menelan korban jiwa paling banyak. Menurut Camat Tanah Pasir, Abu Bakar, sebanyak 1.080 kepala keluarga atau 3.820 jiwa kini hidup di bawah tenda pengungsian.


Mungkin karena alasan tingkat kerusakan paling tinggi, Tanah Pasir selalu menjadi pilihan pejabat pusat yang ingin melihat langsung daerah-daerah yang diterjang tsunami. Selain Muara Batu, Pemkab Aceh Utara selalu mengarahkannya ke Tanah Pasir, seperti dulu sebelum Pemkot Lhokseumawe lahir, di mana Pusong selalu dijadikan sampel tingkat kemiskinan di Aceh Utara.


Keluhan para pengungsi memang lebih banyak terdengar dibandingkan rencana mereka menata masa depan. Padahal, masih banyak yang bisa mereka lakukan kendati dalam kondisi yang serba terbatas. Hal itulah yang ditunjukkan keluarga Badriah (49), yang sore itu ditemui sedang membersihkan lahan produksi garam.


Bersama empat anggota keluarganya, perempuan itu mengeruk lumpur yang menutupi lahan mereka. Di beberapa sudut terlihat tumpukan lumpur yang menggunung sebelum dibuang ke daratan.


“Kami harus membuang lumpur ini dulu sebelum bisa memproduksi garam,” kata Badriah yang hanya bekerja dengan peralatan seadanya. Ia memperkirakan, pekerjaan itu bisa diselesaikan dalam seminggu mengingat tebalnya lumpur yang dikirim tsunami dari dasar laut.


Tidak ada keluhan dari mulutnya tentang keterbatasan yang ada. Bahkan, perempuan itu tampak tersenyum-senyum ketika wartawan TV mengambil gambarnya yang sedang bekerja. “Ka tamoeng TV lom,” katanya. Terjemahannya; sudah masuk TV lagi.


Sayangnya, semangat Badriah tidak bisa ditularkan kepada petani garam lain yang juga menjadi korban tsunami. Dari 97 KK yang hidup dari kegiatan meulancang seperti yang disebutkan Kepala Mukim, Zainal Abidin, baru satu keluarga yang mulai bekerja membersihkan lahan. Selebihnya, masih berdiam diri di bawah tenda pengungsian.


Menurut Zainal, masyarakat pesisir di Tanah Pasir sebenarnya sudah jenuh hidup menjadi pengungsi tanpa kegiatan apa pun. Namun di antara mereka banyak yang tidak bisa memulainya karena tidak memiliki alat untuk bekerja.


“Yang nelayan sudah kehilangan perahu, yang mugee pisang sudah kehilangan sepeda. Tanpa peralatan seperti itu, mereka tentu tidak bisa bekerja,” katanya.


Karena itu dia sangat mendukung dengan rencana pemerintah yang dibantu lembaga swadaya masyarakat untuk menyerahkan 50 unit perahu kepada nelayan agar bisa bekerja. Namun bantuan sarana penunjang pekerjaan diharapkan juga diberikan kepada warga yang berprofesi lain, ya seperti petani garam itu.

0 komentar: