Tanggal : 12 Februari 2003
Sumber: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_12/artikel_3.htm
1. Gambaran Umum
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak pada 8° - 12° Lintang Selatan dan 118° - 125° Bujur Timur. Secara geografis, NTT terletak di belahan paling Selatan Indonesia. Di bagian barat berbatasan dengan Propinsi Nusa Tenggara Barat, di sebelah utara berbatasan dengan Selat Makasar, di timur berbatasan dengan Propinsi Makuku dan Negara Timor Lorosae serta di selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Propinsi ini terdiri atas 566 pulau, dimana 246 pulau mempunyai nama dan 320 pulau lainnya belum mempunyai nama, sementara hanya 42 pulau yang berpenghuni dan selebihnya hanya merupakan tempat persinggahan nelayan. Pulau-pulau besarnya antara lain: Pulau Sumba, Sabu, Rote, Ndao, Timor (bagian barat), Flores, Andonara dan pulau-pulau lain di Kepulauan Alor. Luas daratan di propinsi ini 47.349,9 Km² dan luas lautan ± 200.000 Km². Dengan demikian, propinsi ini sebenarnya merupakan daerah kepulauan.
Secara administratif, Propinsi Nusa Tenggara Timur terbagai atas 14 daerah tingkat II, yaitu: Kabupaten Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Lembata, Alor, Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kupang, Rote-Ndao, Sumba Timur dan Sumba Barat.
Jumlah penduduk di propinsi (tahun 1999) sebesar 3.706.536 jiwa sehingga kepadatan penduduknya relatif jarang yaitu sebesar 8.28 per km². Persebaran penduduk antar kabupatennya, dapat dikatakan tidak seimbang. Kabupaten Sumba Timur mempunyai kepadatan penduduk paling rendah dibanding wilayah lain yaitu 26 jiwa per km². Sebaliknya, Kabupaten Kupang dan Kabupaten Sikka memiliki kepadatan yang relatif tinggi yaitu 1.379 jiwa per km² dan 148 jiwa per km². Sedangkan kepadatan di kabupaten-kabupaten lain berkisar antara 54-115 jiwa per km².
Salah satu ciri khas di Propinsi Nusa Tenggara Timur adalah keanekaragaman etnis, ada lebih dari 20 ethno-linguistic groups yang tidak memiliki tradisi kebersamaan yang kokoh. Hal ini menyebabkan adanya keterpisahan secara kultural. Keterpisahan ini juga dipengaruhi oleh adanya pembatas-pembatas topografi perbukitan dan pegunungan, serta kondisi kepulauan.
Struktur ekonomi Propinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2000 bersandar pada sektor pertanian dan jasa pemerintahan. Ini terlihat dari sumbangan setiap sektor terhadap PDRB. Sektor pertanian memberi sumbangan sebesar 37,69 %, yang kemudian diikuti dengan sektor jasa pemerintah sebesar 20,25 %, sektor perdagangan sebesar 14,20 %, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 10,76 %, sektor bangunan dan kontruksi sebesar 6,5 %. sedangkan sektor yang lain sumbangannya kurang dari 5%.
Dari data penggunaan lahan, penggunaan lahan untuk ladang/kebun/tegal, padang rumput dan lahan yang tidak diusahakan, sangat dominan. Hal ini mencerminkan budaya nafkah mereka yang mengandalkan usaha tani ladang dan peternakan, sebagai sumber nafkah utamanya. Berdasarkan penggunaan lahannya, Kabupaten Kupang merupakan Kabupaten yang paling mirip dengan gambaran Propinsi NTT sehingga dipilih sebagai salah satu kabupaten Kasus.
Sebaliknya, Kota Kupang merupakan salah satu daerah yang paling berbeda dengan gambaran propinsi. Penggunaan lahan di Kota Kupang, justru didominasi oleh pemukiman dan bangunan untuk usaha. Hal ini dapat dimaklumi karena Kota Kupang merupakan pusat aktivitas pemerintahan dan aktivitas ekonomi bagi propinsi NTT. Agar dapat melihat keterkaitan (linkage) antara Kota Kupang dengan kabupaten lainnya (hitterland) maka kota Kupang dipilih sebagai daerah kasus.
2. Ekosistem
Sebagai propinsi yang terletak di sebelah selatan garis katulistiwa, tepatnya di 8o – 12o Lintang Selatan dan 118o – 125o Bujur Timur, propinsi ini memiliki iklim yang sangat tipikal. Iklim di propinsi ini dicirikan oleh musim penghujan yang relatif pendek (3-4 bulan dalam setahun), dengan rata-rata curah hujan berkisar 800 – 3000 mm per tahun serta panjang hari hujan rata-rata 100 hari per tahun (BPS Propinsi NTT, 0000). Suhu minimum dan maksimum berkisar antara 23o – 34o Celcius. Iklim semacam ini menyebabkan propinsi ini cenderung tergolong dalam iklim semi-arid (lahan kering).
Kondisi iklim di atas, ditambah lagi dengan kondisi topografi yang kurang menguntungkan pula. Di semua pulau, topografinya dominan berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Lahan yang relatif datar umumnya memanjang sepanjang pantai atau diapit oleh dataran tinggi atau perbukitan. Lahan yang memiliki kemiringan di atas 40 % mencapai 35,07 % dari luas seluruh daratan. Begitu pula dengan lahan yang memiliki kemiringan 15-40 % mencapai 35,46 %. Dengan demikian, lahan yang relatif datar (kemiringan kurang dari 15 %) hanya sebesar 29,47 % dari luas seluruh daratannya (Pemda Propinsi Nusa Tenggara Timur, 0000).
Jenis tanah di Propinsi NTT meliputi jenis tanah meditarania seluas 1.110.807 ha(23,45 %); Listosol seluas 1.903.184 (40,19 %); Alufial seluas 136.250 ha (2,46 %); Grumusol seluas 136.750 ha (2,88%) dan Regosol seluas 64.250 ha (1,36 %). Kedalaman tanah (top soil) propinsi ini relatif tipis. Kedalaman tanah yang kurang dari 30 cm mencapai luas 1.938.403 ha (40,49 %), kedalaman 31-60 cm seluas 1.186.801 ha (25,06 %), kedalaman 61-90 cm seluas 199.707 ha (10,55 %) dan yang lebih dari 90 cm hanya seluas 995.489 ha (21,03 %). Dari kedalaman tanah ini terlihat bahwa Propinsi Nusa Tenggara Timur didominasi oleh lahan yang memiliki kedalaman tanah di bawah 60 cm (65,55 %). Kendalaman tanah yang tipis ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti struktur batuan induk berupa koral dan tanah yang terbuka karena vegetasi penutup yang sedikit sehingga rentan terhadap erosi.
Kondisi iklim, topografi dan tanah ini menyebabkan vegetasi yang dapat tumbuh di Propinsi Nusa Tenggara Timur relatif terbatas yang akhirnya memunculkan ekosistem yang unik yang serupa dengan ekosistem di lingkungan semi-arid atau ekosistem lahan kering. Kondisi ekosistem ini pula yang menyebabkan propinsi NTT memiliki budaya nafkah yang unik, sebagai bentuk adaptasi penduduknya terhadap lingkungan fisik yang cenderung memberikan pembatas bagi usaha-usaha pertaniannya.
Ekosistem Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, yang terletak di Pulau Timor Bagian Barat, dapat dikatakan sama dengan ekosistem Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kondisi kedua daerah yang saling berbatasan ini, dapat dikatakan merupakan cermin dari ekosistem di Propinsi Nusa Tenggara Timur.
3. Budaya Nafkah
Bila pola penggunaan lahan dianggap sebagai salah satu cerminan budaya nafkah maka budaya nafkah yang dominan di Propinsi Nusa Tenggara Timur adalah budaya tani ladang dan ternak gembala. Hal ini terlihat dari dominannya luas lahan di Propinsi Nusa Tenggara Timur di tahun 2000 (BPS Propinsi NTT, 2001) yang diperuntukkan kebun/ladang/huma (21,30 %) dan penggembalaan ternak (22,70 %). Luasnya lahan untuk ladang dan penggembalaan ini diikuti dengan luasnya lahan yang tidak diusahakan (25,30 %) dan lahan hutan rakyat (12,60 %).
Penggunaan lahan di Kabupaten Kupang tidak berbeda jauh dengan pola penggunaan lahan di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2001, luas lahan yang diperuntukkan kebun/ladang/huma mencapai 91.351 ha atau 12,73 % dan penggembalaan ternak mencapai 116.465 ha atau 16,22 % (BPS Kabuaten Kupang. 2002). Luasnya lahan untuk ladang dan penggembalaan ini diikuti dengan luasnya lahan yang tidak diusahakan (133.677 ha atau 18,62 %) dan lahan hutan rakyat (54.245 ha atau 7.56 %). Dengan demikian luas ke empat jenis penggunaan lahan tersebut mencapai 395.738 ha atau 55,15 % dari seluruh luas Kabupaten Kupang.
Pola penggunaan lahan di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Kupang mencerminkan pola budaya nafkah agro-pastoral. Dalam budaya nafkah agro-pastoral, umumnya mereka menyandarkan sumber nafkahnya pada aktivitas ladang/kebun dan beternak. Salah satu ciri budaya nafkah di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Kupang adalah aktivitas pertanian ladang/kebun umumnya tidak berorientasi pada pasar melainkan berorientasi untuk pemenuhan konsumsi keluarga sehari-hari (subsisten). Sementara investasi mereka diwujudkan dalam bentuk usaha peternakan (ekstensif dengan cara penggembalaan).
Bagi sebagian besar penduduk di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Kupang, ternak merupakan salah satu bentuk investasi sosial. Kepemilikan ternak (terutama ternak sapi dan kuda) mencerminkan status sosial suatu keluarga. Ternak tersebut umumnya digunakan sebagai mas kawin (belis menurut istilah setempat) dan upacara-upacara adat lainnya. Karena ternak sapi dan kuda memiliki nilai sosial yang tinggi maka umumnya jarang dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (kecuali untuk kebutuhan sehari-hari yang sangat mendesak). Di beberapa tempat seperti di Kabupaten Manggarai, mereka masih menggunakan ternak kerbau sebagi belis.
Bila diperhatikan lebih dalam pola sumber-nafkah agro-pastoral dapat dikatakan merupakan salah satu cara mereka menjamin ketersediaan pangan secara berlapis-lapis (food secutiry) untuk menghadapi kondisi lingkungan fisik yang kurang bersahabat bagi usaha-usaha pertanian. Dengan pola sumber nafkah semacam ini mereka memiliki tiga penyangga ketersediaan pangan yaitu: Penyanggah pertama adalah usaha tani ladang (jagung, ketela pohon dan kacang-kacangan). Produksi usaha tani ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (pada dasarnya pola hidup mereka berorientasi pada kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak berorientasi pada pasar).
Bila penyangga pertama runtuh (misal karena ada panceklik) maka mereka masih memiliki penyangga kedua yaitu ternak besar (terutama sapi, kerbau dan kuda). Mereka masih mampu menjual ternaknya untuk memperoleh kebutuhan pangan. Bila penyanggah kedua ini tidak berhasil maka mereka masih memiliki peyanggah ketiga, yaitu tanaman pangan yang tersedia di hutan (non budidaya–liar) seperti: ubi hutan – berbentuk bulat sebesar kelereng dan bewarna hitam, talas lias, dan lain-lain.
Bentuk ketahanan pangan yang berlapis-lapis ini disadari manfaatnya oleh pemerintah daerah setempat. Kesadaran ini tercermin sejak era pemerintahan Gubernur Ben Mboy (sejak 1984). Bahkan sejak Gubernur Ben Boy, pemerintah daerah memiliki ambisi untuk menambah penyangga pangan berupa kerajinan rakyat. Dengan kerajinan rakyat ini diharapkan dapat menjadi salah satu penyangga pangan tambahan bagi penduduk di Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Dibandingkan dengan Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Kupang, pola penggunaan lahan di Kota Kupang terlihat berbeda. Penggunaan lahan di kota ini pada tahun 2000 (BPS Kota Kupang, 2001), didominasi untuk perumahan, lahan pekarangan dan untuk bangunan lain yang mencapai 35,03 % dan tegal/ladang/kebun yang mencapai 53,03 %. Luas lahan untuk padang rumput maupun lahan yang tidak diusahan relatif kecil yaitu masing-masing sebesar 4,61 % dan 3,43 %.
Kondisi penggunaan lahan seperti di atas disebabkan karena Kota Kupang merupakan ibukota dari dua daerah yaitu Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Kota Kupang itu sendiri. Bahkan secara de facto[1], saat ini Kota Kupang masih berfungsi sebagai ibukota Kabupaten Kupang. Kondisi tersebut menyebabkan Kota Kupang menjadi tumpuan aktivitas pemerintahan, perdagangan dan jasa. Dengan terkonsentrasinya aktivitas pemerintah, perdagangan dan jasa ini menyebabkan lahan-lahan yang semula digunakan untuk ladang/huma/kebun dan penggembalaan banyak yang beralih fungsi untuk lahan pemukiman, perkantoran dan perdagangan.
[1] Sekalipun sejak 1996 secara legal formal Kabupaten Kupang dan Kota Kupang telah menjadi dua daerah administratif yang terpisah tetapi secara de facto Kota Kupang masih berfungsi sebagai ibukota Kabupaten Kupang. Sebagian besar kantor dinas pemerintah Kabupaten Kupang masih terletak di Kota Kupang. Bahkan Kantor Bupati KDH Tk. II Kupang dan DPRD nya, masih berkantor di Kota Kupang. Hal ini disebabkan proses pemindahan Ibukota Kupang ke Kecamatan Sulamu (Kabupaten Kupang), belum selesai dilakukan.
Proses transisi ini menyebabkan perekonomian Kota Kupang menjadi agak unik. Di satu sisi, aktivitas pertanian ladang masih berjalan (terutama di kelurahan-kelurahan di lingkar luar Kota Kupang) dan di sisi lain aktivitas perdagangan dan jasa mulai tumbuh (terutama di kelurahan-kelurahan yang termasuk pusat kota). Proses transisi ini menyebabkan di Kota Kupang terjadi dualisme antara aktivitas ekonomi modern dan aktivitas ekonomi tradisional (dualisme ekonomi). Di satu sisi masih banyak penduduknya yang sumber nafkahnya bertumpu pada sektor pertanian ladang/kebun dan di sisi lain banyak pula yang sumber nafkahnya bertumpu pada sektor perdagangan dan jasa (terutama jasa pemerintahan). Bahkan banyak pula penduduk yang selain melakukan aktivitas di sektor pertanian ladang/kebun, juga melakukan aktivitas pedagangan (terutama di sektor informal). Sekalipun Kota Kupang secara legal formal berstatus sebagai kota tetapi sebagian besar penduduknya belum dapat melepaskan dirinya dari budaya tani ladang-ternak.
Dalam proses peralihan tersebut peranan sub sektor peternakan dapat dikatakan mengalami penurunan. Aktivitas peternakan dengan cara penggembalaan menjadi sangat terbatas karena lahan penggembalaan yang luas menjadi sangat langka. Sekalipun dilihat dari total luas lahan, luas lahan kosong masih relatif luas tetapi sebagian besar tidak terkosentrasi. Lahan kosong umumnya diselangi dengan lahan untuk kebun/ladang dan pemukiman sehingga menjadi pembatas bagi aktivitas penggembalaan ternak. Sekalipun lahan penggembalaan semakin menyusut, budaya ternak di sebagian besar penduduknya belum hilang. Sebagian besar keluarga (terutama di kelurahan-kelurahan di lingkat luar Kota Kupang) masih memelihara ‘satu-dua’ ekor ternak kecil, seperti: kambing dan babi.
Mulai hilangnya lahan penggembalaan ini diduga menjadi menyebab mengapa banyak penduduknya yang mulai merambah aktivitas perdagangan, terutama di sektor informal. Mereka umumnya mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari dengan berkebun (jagung, ketela pohon dan ubi jalar). Sedangkan untuk kebutuhan non-pangan dipenuhi dengan cara berdagang kecil-kecilan (kios rokok, berjualan di pasar dan lain-lain).
4. Modal Sosial
Propinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki banyak suku. Suku-suku tersebut umumnya memiliki budaya dan bahasa yang acapkali berbeda satu dengan lainnya[2]. Kondisi sosial-budaya seperti di atas juga terlihat di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang.
[2] Menurut Hidayat (1984), secara budaya Propinsi Nusa Tenggara Timur terdiri dari banyak suku, seperti: Suku Sabu (di Pulau Sabu), Suku Helong (di Pulau Semau dan di Kabupaten Kupang bagian barat daya), Suku Dawan/Atoni (di Kabuapten Kupang, Timor Tengah Selatan dan sebagian Timor Tengah Utara), Suku Tetun (di Kabupaten Belu dan sebagian Kabupaten Timor Tengah Utara), Suku Bunak (di wilayah Kabupaten Belu), Suku Kemak (di wilayah Kabuoaten Belu), Suku Kisar (di Pulau Kisar), Suku Alor (di Kepulauan Alor), Suku Manggarai, Ngada, Ende, Nge Reo, Lio, Sikka, Larantuka (di Pulau Flores), Suku Solor (di Kepulauan Solor) dan Suku Sumba (di Pulau Sumba).
Wilayah Kabupaten Kupang sendiri sebagian besar besar dihuni oleh Suku Dawan (atau disebut pula Suku Atoni), yang menempati sebagian besar wilayah di Pulau Timor Bagian Barat. Selain Suku Dawan, terdapat pula Suku Helong yang menempati wilayah-wilayah yang berbatasan dengan bagian Barat Daya Kota Kupang. Selain kedua suku tersebut, di Kabupaten Kupang terdapat suku Sabu di Pulau Sabu dan beberapa suku kecil di Pulau Rote dan Ndao yang memiliki bahasa dan budaya yang saling berbeda pula. Di Pulau Rote dan Ndao terdapat 18 suku atau kerajaan kecil (Nusak menurut istilah setempat) yang memiliki budaya dan bahasa yang berbeda satu dengan lainnya..
Sebagian besar suku di Kabupaten Kupang ini (bahkan juga di Propinsi Nusa Tenggara) umumnya menganut genealogis teritorial. Mereka percaya bahwa seluruh warga suku sebenarnya merupakan satu asal keturunan, yang memiliki budaya, bahasa dan wilayah adat tertentu.
Pengelolaan wilayah adat ini menjadi wewenang para pemuka adatnya, mulai dari Sonbay (gelar raja untuk Suku Dawan), fetor (setara dengan bupati saat ini) hingga temukung (setara dengan kepala desa). Hubungan antara sonbay dengan para fetor dan temukung-nya sebenarnya relatif longgar (semacam kerajaan paguyuban). Tiap fetor dan temukung dapat dikatakan memiliki kewenangan semi-otonom dalam mengelola lahan adatnya. Dengan demikian, lahan-lahan adat yang ada di Kabupaten Kupang sebenarnya dikuasai oleh para fetor dan temukung. Para fetor dan temukung inilah yang mengatur pemanfaatan lahan adat bagi warga adatnya. Tanah suku yang tidak digarap oleh raja dan fetor dibagikan kepada warga sukunya untuk dijadikan lahan garapan dengan hak pakai (bukan hak milik)[3]. Hak pakai inilah yang selanjutnya diwarisi dari orangtua ke anaknya. Jadi secara budaya sebenarnya di Kabupaten Kupang tidak ada kepemilikan lahan secara pribadi. Setiap warga adat berhak menggarap lahan milik sukunya asalnya meminta ijin terlebih dahulu kepada para pemuka adatnya (temukung atau fetor).
[3] Dalam Suku Dawan, tanah suku adalah milik dari pemuka atau pendiri pertama kesatuan etnis di suatu daerah. Mereka mengenal 3 jenis tanah suku yaitu: (1) Mnuki atau manuke yaitu tanah suku bekas tanah ladang yang ditinggal oleh seseorang yang biasanya berupa lahan kering, (2) afutanasa yaitu tanah suku yang berada di daerah yang banyak airnya dan (3) poan yaitu tanah pekarangan yang banyak airnya yang banyak terdapat tanaman umur panjang (seperti sirih, pinang, kelapa dan lain-lain). Semakin dekat hubungan kekerabatan seseorang dengan fetor atau temukung semakin baik lahan garapan yang diperolehnya.
Para temukung ini menjadi patron bagi para warga adatnya. Selanjutnya para fetor menjadi patron bagi para temukung yang ada di wilayah kekuasaan adatnya (beserta dengan para warga adatnya). Jadi dalam kehidupan sehari-hari, para fetor ini dapat dikatakan merupakan raja-raja kecil yang berkuasa atas lahan-lahan adatnya. Kekuasaan sonbay umumnya baru nampak pada saat ada upacara perkawinan dan kematian. Bila ada keluarga sonbay yang menikah atau meninggal, seluruh warga suku berkewajiban memberi sapi, kerbau, kuda dan kebutuhan pesta lainnya.
Ikatan sosial dalam suatu kefetoran (sub suku) sangat kuat. Fetor (termasuk pula para temukung-nya) berkewajiban membagi secara adil semua kekayaan adatnya, mulai dari tanah hingga ternak kepada para warga adatnya. Mereka mempunyai kewajiban menjaga agar para warga adatnya hidup sejahtera. Kelaparan yang menimpa warga adatnya dianggap merupakan tamparan yang memalukan bagi si fetor. Pola hubungan patron-client semacam ini sebenarnya dapat dikatakan merupakan jaring pengaman sosial (traditionally social safety net). Dan ini dapat dikategorikan sebagai modal sosial. Kuatnya peranan para pemuka adat dan tidak adanya kepemilikan lahan menyebabkan banyak aturan-aturan adat yang harus dilalui oleh seorang warga adat bila ingin menggarap lahan adatnya. Sebagai contoh bila sebuah keluarga besar (kanaf) ingin membuka lahan mereka terlebih dahulu harus bertanya kepada seorang dukun (mnane). Setelah memperoleh petunjuk tentang lokasi lahan yang akan digarap, mereka selanjutnya meminta ijin kepada tobe selaku wakil sonbay (dalam hal ini juga wakil fetor) yang memiliki kewenangan mengelola lahan adat[4]. Selanjutnya mereka diharuskan melaksanakan upacara adat yang secara simbolis memberikan persembahan kepada Dewa Langit (Uis Neno)[5]. Dalam upacara adat tersebut secara simbolis mereka juga meminta ijin kepada sonbay yang dianggapnya sebagai pemilik bibit tanaman. Setelah panen, penggarap tanah diwajibkan memberi bunga tanah (pak su fan) sebagai ucapan terima kasih kepada sonbay dan fetor melalui tobe.
[4] Saat meminta ijin ini mereka menyerahkan hadiah berupa uang perak dan air tuak. Selain itu mereka juga diharuskan mengorbankan kerbau sebagai sesajian sebelum tanah tersebut digarap.
[5] Upacara persembahan kepada Dewa Langit ini dipimpin oleh kepala ume di lingkungannya yang dianggap merupakan perantara antara warga adat dengan roh nenek-moyangnya.
Kuatnya ikatan sosial dalam satu kefetoran, terlebih dalam keluarga besar (kanaf) terlihat hingga sekarang. Salah satu cermin dari kuatnya ikatan sosial ini terlihat saat upacara perkawinan. Bila seorang pria akan menikah, biasanya melakukan kumpul keluarga. Dalam kumpul keluarga tersebut setiap anggota keluarga pria berkewajiban ikut menanggung belis (mahar) yang besarnya ditentukan keluarga wanita.
Ikatan sosial kefetoran yang kuat ini semakin diperkuat dengan adanya persaingan antar kefetoran. Persaingan ini (dahulu bahkan seringkali menjurus ke perang suku) umumnya memperebutkan lahan dan ternak. Adanya persaingan ini di satu sisi memperkuat kerekatan sosial dalam satu kefetoran (modal sosial) tetapi di lain pihak menumbuhkan situasi saling mencurigai antar kefetoran (kerugian sosial).
Situasi saling mencurigai antar kefetoran ini masih tampak bekasnya hingga sekarang. Salah satunya terlihat dari pola pemukiman mereka. Pemukiman asli mereka umumnya terletak di lereng-lereng bukit yang secara geografis seringkali sulit dijangkau guna mencegah serangan dari pihak lawan. Jarang sekali terdapat pemukiman asli mereka yang terletak di dataran rendah atau pesisir pantai[6]. Latar belakang ini dapat menjadi penjelas mengapa mereka tidak memiliki tradisi sebagai nelayan sekalipun pesisir pantai di Kabupaten Kupang relatif luas[7]. Salah satu kasus yang menarik terlihat dari sejarah terbentuknya Desa Oeledo di Kecamatan Pantai Baru (Kabupaten Rote-Ndao)[8] dan proses pergeseran sumber-nafkah.
6] Dari tutur beberapa tokoh masyarakat di Kabupaten Kupang, semula pemukiman asal penduduk di Kabupaten Kupang terletak di kaki-kaki bukit. Baru pada sekitar tahun 1960-an mereka mulai bermukim di dataran rendah dan daerah-daerah pesisir setelah ada himbauan dari pemerintah.
[7] Kabupaten Kupang sebenarnya dikeliling oleh laut. Hanya di bagian timurnya saja yang berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan. [8] Pemekaran dari Kabupaten Kupang, yang secara resmi menjadi kabupaten tersendiri sejak 1 Juli 2002 Adanya penerapan Undang-Undang Pokok Agraria yang mengakui kepemilikan pribadi terhadap lahan menyebabkan terjadinya pergerseran pola kepemilikan lahan. Secara peralahan-lahan status tanah adat beralih menjadi tanah pribadi. Adanya peralihan status kepemilikan lahan ini mengarah ke kondisi dimana penguasaan tanah cenderung terpusat ke para pemuka adat (sonbay, fetor dan temukung). Para pemuka adat inilah yang umumnya memiliki lahan yang jauh lebih luas dibandingkan warga adat biasa. Mereka umumnya juga memiliki ternak dalam jumlah yang sangat banyak karena lahan yang dimilikinya memungkinkan untuk melakukan penggembalaan. Pergeseran ini menyebabkan warga adat biasa umumnya hanyalah menjadi penggembala ternak milik para pemuka adatnya (dengan sistem paron).
Pergeseran kepemilikan lahan ini diduga menyebabkan terjadinya perubahan bentuk kemiskinan yaitu dari kemiskinan alamiah ke kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah yang semula dihadapi oleh sebagian besar penduduk di Kabupaten Kupang karena kondisi lingkungan fisiknya yang kurang bersahabat diduga mulai bergeser ke kemiskinan struktural yang terlihat dari mulai adanya gap kepemilikan lahan dan ternak antara para pemuka adatnya dengan warga biasa. Hanya sayang perubahan ini sulit dibuktikan karena keterbatasan data tentang kepemilikan lahan dan ternak.
Bila dugaan di atas benar maka hal tersebut dapat dikatakan merupakan biaya sosial dari pembangunan yang ditanggung oleh penduduk Kabupaten Kupang. Biaya sosial ini juga terlihat dari semakin lunturnya pola patron-client antara para sonbay atau fetor dengan warga adatnya. Pola hubungan patron-client yang mengarah pada bentuk jaring pengaman sosial (traditionall social safety-net) cenderung semakin memudar.
5. Gambaran Kemiskinan
Selama periode 1996-1999, jumlah penduduk miskin (ukuran BPS) di Propinsi Nusa Tenggara Timur mengalami kenaikan yaitu 1.395.100 jiwa di tahun 1996 menjadi sebesar 1.779.000 jiwa atau 46,73% di tahun 1999. Persentase penduduk miskin di perdesaan relatif lebih besar dibandingkan dengan daerah perkotaannya. Pada tahun 1999, persentase penduduk miskin di perdesaan sebesar 49,39 % (1.632.700 jiwa). Ini jauh lebih besar dari perkotaan yang hanya sebesar 29,20 % (146.300 jiwa). Bila dilihat perkembangannya selama periode 1996-1999, jumlah absolut maupun relatif penduduk miskin di daerah perkotaan maupun perdesaan, cenderung mengalami peningkatan.
Dibandingkan dengan propinsi lain, pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin di propinsi Nusa Tenggara Timur menempati urutan ketiga setelah Maluku dan Irian Jaya. Pada tahun 1999 propinsi ini menempati urutan kedua setelah Irian Jaya. Gambaran tentang jumlah penduduk miskin di setiap kabuoaten dan kota dii Propinsi Nusa Tenggara Timur, mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu. Pada tahun 1996, jumlah penduduk miskin terbanyak terletak di Kabupaten Alor (34.58%), disusul Kabupaten Sikka (34.29%) dan Ende (33.21%). Tetapi pada tahun 1999 jumlah penduduk miskin terbanyak terletak di Kabupaten Timor Tengah Utara (64.4%), disusul Kabupaten Sikka (63.6%) dan Alor (54.9%).
6. Sejarah Program Penanggulangan Kemiskinan
Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki kepedulian yang cukup besar terhadap upaya penanggulangan kemiskinan. Hal ini dapat dimaklumi karena sejak berdirinya (1958), propinsi ini selalu bergulat dengan masalah kemiskinan. Kepedulian ini, terlihat sekali bila disimak sejarah kebijakan pembangunan yang diambil Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Bila dilihat sejarah program pembangunan di propinsi ini, terlihat banyak program-program pembangunannya yang mengandung upaya penanggulangan kemiskinan. Mulai dari Gerakan Penghijauan atau Komando Gerakan Makmur (KOGM) di era Gubernur W.J. Lalamentik (1958-1966), Program Swasembada pangan (beras) di era Gubernur El Tari (1966-1978), Operasi Nusa Makmur, Operasi Nusa Hijau dan Operasi Nusa Sehat di era Gubernur Ben Mboy (1978-1988), Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat dan Gerakan Membangun Desa (Gerbades) di era Gubernur Herman Fernandez hingga program-program pembangunan daerah yang berlandaskan pada filosofi ‘membangun dari apa yang ada dan dimiliki oleh Rakyat’ yang saat ini diacu oleh Gubenur Piet A. Tallo, secara implisit maupun ekspilit sarat dengan nuansa penanggulangan kemiskinan. Hal ini jelas menggambarkan kuatnya kepedulian Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur terhadap issu kemiskinan.
Bila dilihat lebih dalam sejarah program-program penanggulangan kemiskinan di propinsi ini, terlihat ada pergeseran yang silih berganti. Pada periode awal (1958-1978), terlihat inisiatif lokal cukup menonjol. Di tahun-tahun berikutnya, program-program yang merupakan inisiatif lokal ini cenderung tergeser dengan program-program yang berasal dari pemerintah pusat. Baru kemudian mulai tahun 2001, Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur merumuskan kembali program-program pembangunannya sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.
7. Strategi Pemberdayaan Penduduk Miskin
Dari hasil wawancara mendalam dan focus group dissusiion dengan berbagai responden (berdasarkan pengalaman empiris masing-masing), baik di aras propinsi hingga desa, ada beberapa hal tentang konsep penanggulangan kemiskinan yang dianggap sesuai dengan konteks konteks sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan fisik. Konsep ini dikatakan sebagai konsep teoritis karena baru merupakan hasil refleksi semua pihak terhadap pengalaman empirik mereka masing-masing dan belum teruji secara empirik.
Secara garis besar strategi tersebut adalah:
Memfokuskan upaya penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan pangan dan pendidikan serta dalam mengakses pelayanan kesehatan. Upaya meningkatkan keberdayaan ini dilakukan dengan memperkokoh usaha pertanian ladang, peternakan dan konservasi alam yang merupakan penyangga ketahanan pangan mereka.
Memfokuskan upaya penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan pangan dan pendidikan serta dalam mengakses pelayanan kesehatan. Upaya meningkatkan keberdayaan ini dilakukan dengan memperkokoh usaha pertanian ladang, peternakan dan konservasi alam yang merupakan penyangga ketahanan pangan mereka.
Memfokuskan pada upaya penciptaan lingkungan kebijakan yang kondusif bagi keluarga miskin untuk beralih dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Upaya ini dilakukan dengan mempermudah akses keluarga miskin ke sumber modal usaha, tehnologi dan informasi yang diperlukan. Penumbuhkembangan sektor-sektor non pertanian yang ‘dekat’ dengan keluarga miskin (kerajian rakyat, perdagangan kecil-sektor informal, dan lain-lain) diharapkan dapat menjadi penyangga pangan keempat setelah usaha tani/ladang, usaha peternakan dan stok pangan non budidaya di hutan.
Upaya peningkatan keberdayaan keluarga miskin ini dikaitkan dengan upaya pemberdayaan komunitasnya (masyarakat desa/kelurahan) agar mampu membantu warganya mengatasi masalah kemiskinan yang ada di lingkungannya. Untuk tujuan ini, falsafah yang diacu oleh setiap program pembangunan di propinsi ini adalah “membangun dari apa yang ada dan dimiliki oleh rakyat”, suatu filosofi yang secara implisit mengakui pentingnya memperhatikan konteks lokal.
Melakukan reposisi peran pihak-pihak ‘luar desa’ (pemerintah, LSM, kalangan dunia usaha, kalangan perguruan tinggi, dan lain-lain), dari semula sebagai agen pemberdayaan menjadi fasilitator pemberdayaan.
Upaya pemberdayaan keluarga miskin yang berbasis komunitas ini dilakukan dengan cara pemberian kewenangan luas kepada masyarakat desa/kelurahan dalam mengelola upaya penanggulangan kemiskinan yang ada di wilayahnya. Kewenangan tersebut meliputi :
Kewenangan untuk menentukan sendiri aktivitas penanggulangan kemiskinan yang akan dilaksanakan di desa/kelurahannya. Ini berarti peran perancangan kegiatan harus dipegang sepenuhnya oleh masyarakat desa/kelurahan (semacam master plan di desa). Pihak luar desa (pemerintah, LSM, kalangan usaha, dan lain-lain) dapat memberi kontribusinya dengan mengacu pada desain besar (grand design) yang dibuat oleh masyarakat desa/kelurahan itu sendiri (melalui kontrak sosial antara masyarakat desa/kelurahan dengan pihak luar desa/kelurahan).
Dengan pendekatan semacam ini maka :
Semua aktivitas penanggulangan kemiskinan di aras desa/kelurahan sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat desa/kelurahan dan sesuai dengan konteks setempat – kontektual (sesuai dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan fisiknya).
Semua aktivitas penanggulangan kemiskinan sepenuhnya mengacu pada pemanfaatan secara optimal sumberdaya setempat dan pemanfaatan secara bijak sumberdaya dari luar.
Semua aktivitas penanggulangan kemiskinan di aras desa/kelurahan sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat desa/kelurahan dan sesuai dengan konteks setempat – kontektual (sesuai dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan fisiknya).
Semua aktivitas penanggulangan kemiskinan sepenuhnya mengacu pada pemanfaatan secara optimal sumberdaya setempat dan pemanfaatan secara bijak sumberdaya dari luar.
Tidak ada lagi pihak luar desa yang membawa masing-masing bendera program penanggulangan kemiskinannya (ego sektoral), yang seringkali tumpang-tindih satu dengan lainnya dan acapkali tidak sesuai dengan konteks setempat (kebijakan satu pintu untuk setiap bantuan dari pihak luar desa/kelurahan) Masyarakat desa/kelurahan diberi peluang luas untuk melaksanakan sendiri aktivitas penanggulangan kemiskinan yang ada di wilayahnya. Pihak luar desa, dapat memberi kontribusi dalam tahap ini, terutama kontribusi terhadap hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh masyarakat desa/kelurahan (seperti: kahlian teknis tertentu, informasi-informasi terhadap peluang-peluang pasar yang ada di luar desa, tehnologi yang tersedia, dan lain-lainnya).
Masyarakat desa/kelurahan diberi pula peluang untuk menumbuhkan sendiri prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas terhadap setiap aktivitas penanggulangan kemiskinan yang mereka lakukan (menumbuhkan kontrol publik). Ini berarti bahwa orientasi pertanggungjawaban fokusnya harus dtujukan kepada keluarga miskin dan masyarakat desa/kelurahan (komunitasnya) dan tidak lagi semata-mata ditujukan ke pihak-pihak di aras atas desa.
Dengan ketiga kewenangan tersebut, maka masyarakat desa memiliki peluang belajar langsung sehingga proses pembelajaran yang dinamis dan partisipatif (aksi dan refleksi sebagai satu kesatuan proses yang dinamis yang melibatkan secara aktif para pemanfaatnya sebagai pelaku utamanya). Dasar pemikirannya adalah: Kondisi sosial, budaya dan ekonomi bukan merupakan kondisi yang statis tetapi merupakan kondisi yang dinamis dimana perubahan salah satunya dapat menimbulkan perubahan yang lain. Dengan demikian, setiap aktivitas penanggulangan kemiskinan diduga, sedikit banyak, akan merubah kondisi setempat. Masyarakat desa/kelurahan yang berdaya adalah masyarakat yang mampu beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungannya dan mampu memanfaatkan kondisi lingkungan yang baru tersebut untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Keberdayaan merupakan hasil dari proses belajar yang partisipatif dan kontinyu (penekanan pada porses bukan pada hasil). Pertama, tidak ada keberdayaan yang diperoleh tanpa melibatkan secara aktif orang yang akan diberdayakan. Kedua, suatu masyarakat yang berdaya menghadapi kondisi lingkungan tertentu dapat menjadi tidak berdaya kembali bila tidak siap menghadapi perubahan lingkungannya (lingkungan sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan fisiknya). Oleh sebab itu, keberdayaan harus pula dipahami sebagai bentuk keberdayaan menghadapi perubahan lingkungan dan keberdayaan memanfaatkan lingkungan yang baru tersebut untuk kesejahteraan hidupnya (dalam kaitannya dengan sustainbale livelihood).
Upaya pemberdayaan penduduk miskin yang berbasis komunitas menuntut adanya perubahan cara berpikir dan bertindak (reposisi peran) pihak luar desa. Disini harus dipahami bersama bahwa keluarga miskin tidaklah tinggal dalam ruang hampa. Mereka berinteraksi dengan lingkungannya (warga desa lainnya -komunitas desanya dan lingkungan fisiknya) dan berinteraksi pula dengan lingkungan luar desa. Oleh sebab itu, perubahan lingkungan luar desa dapat mempengaruhi pula kehidupan keluarga miskin. Dengan kata lain, perubahan paradigma yang menekankan pada peran luas masyarakat desa/kelurahan harus pula diikuti dengan perubahan paradigma berpikir dan bertindak semua pihak di aras atas desa yang terkait (stakeholders).
Fakta empiris yang dijumpai di Nusa Tenggara Timur adalah telah tumbuhnya political will dari para pembuat kebijakan pemerintah diatas propinsi hingga kabupaten/kota untuk merubah paradigma yang bersifat sentralistik ke arah desentralistik, termasuk yang memberi peluang bagi masyarakat desa/kelurahan untuk berperan lebih besar dalam pembangunan desa/kelurahannya masing-masing Political will ini secara legal formal terlihat (eksplisit) dalam setiap dokumen perencaan mereka (dokumen Pola Dasar Pembangunan, Propram Pembangunan Daerah dan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah) Hanya saja, fakta empirik menunjukkan bahwa masih terjadi pelencengan kebijakan (slippery policy) sehingga acapkali terjadi gap antara konsep yang baik (yang sudah mengacu pada paradigma yang menepatkan masyarakat desa/kelurahan sebagai subyek utama) dengan implementasi di lapang yang buruk (yang masih menggunakan paradigma lama dimana pemerintah masih didudukkan sebagai agen pembangunan dan masyarakat desa/kelurahan hanya sekedar obyek saja).
Hal di atas terlihat dari pelaksanaan Program UDKP Model (inisiatif Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur), Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (inisiatif Pemerintah Kota Kupang) dan Program Pemberdayaan Masyarakat (inisiatif Pemerintah Kabupaten Kupang).
Oleh sebab itu, pihak luar desa, terutama pemerintah, harus diberi kesempatan untuk belajar melaksanakan peran barunya sebagai fasilitator (hasil reposisi peran). Peluang belajar tersebut harus pula menjangkau semua aras, mulai dari para pembuat kebijakan di aras propinsi/kota/kabupaten hingga ke aparat pemerintah di aras kecamatan. Ini berarti sosialisasi terhadap peran baru pemerintah (sebagai fasilitator pembangunan) harus mencapai semua aras.
Hal yang tidak kalah penting, dalam upaya pemberdayaan penduduk miskin (terutama yang terkait dengan suistainable livelihood) yang berbasis komunitas adalah memberi penghargaan yang lebih besar pada lingkungan alam dan kearifan-kearifan lokal yang terbukti adaptif dengan lingkungan alamnya. Ini diberi stressing khusus karena pada dasarnya, masyarakat NTT telah memiliki pola nafkah tradisional (pola nafkah agro-pastoral) yang terbukti secara turun menurun adaptif terhadap konteks ekologi yang tergolong semi-arid (lahan kering). Secara tradisional ketahanan pangan mereka (food security) bersandar pada 3 penyanggah yaitu :1) Penyanggah pertama adalah usaha tani lading (jagung, ketela pohon dan kacang-kacangan), 2) Penyanggah kedua adalah ternak besar (sapi, kerbau dan kuda), 3) Penyanggah ketiga adalah tanaman pangan yang tersedia di hutan.
Oleh sebab itu, bila dilihat secara mendalam, dapat dikatakan semua aturan-aturan adat, dan lain-lain, sebenarnya mengarah pada upaya menjaga agar ketiga penyanggah tersebut tetap kokoh. Hanya saja input-input baru dari luar acapkali justru melemahkan aturan-aturan adat yang telah ada sebelumnya sehingga mengarah pada pengikisan ketiga penyanggah tersebut.
Fakta empirik juga menunjukkan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, beberapa input baru dari luar (mulai dari penerapan Undang-Undang Pokok Agraria yang mengakui kepemilikan lahan pribadi hingga introdusir mekanisme pasar – monetasi perdesaan) ternyata berindikasi justru merusak ketahanan pangan mereka.
Pentingnya ketiga penyangga tersebut sebenarnya telah disadari oleh Pemerintah Daerah, terutama di Jaman Gubernur Ben Mboy. Bahkan Gubernur Ben Mboy, memperkenalkan industri kerajinan rakyat sebagai penyanggah ke empat. Dengan harapan, bila terjadi panceklik, penduduk NTT masih bisa bersandar pada hasil kerajinannya yang dapat digunakan untuk membeli kebutuhan pangannya.
Hanya sayang, kesadaran-kesadaran seperti di atas selanjutnya menjadi agak terlupakan karena masuknya program-program pembangunan yang didesain dari pusat, yang cenderung tidak peka terhadap konteks lokal semacam itu. Saat ini, ada indikasi kesadaran di atas tumbuh kembali di kalangan pemerintah daerah. Ini terlihat dari falsafah yang dianut dalam berbagai dokumen perencanaan (Pola Dasar Pembangunan, Program Pembangunan Daerah, Rencana Strategi Pembangunan Daerah dan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah). Dalam dokumen-dokumen perencanaan tersebut dianut falsafah:
“Mulai membangun dari apa yang ada dan yang dimiliki ole rakyat” melalui pendekatan yang bertumpu pada nilai-nilai moral keagamaan (religius), sosio-kultural dan ekosistem.
Hanya sayangnya implementasikan acapkali tidak sesuai dengan semangat di atas. Hal ini mungkin karena aparat pemerintah masih memerlukan waktu untuk belajar menjalankan peran barunya sebagai fasilitator (bukan sebagai agen pembangunan).
IDBM Adiyoga – Staf Peneliti Pusat P3R - YAE Bogor
Erni Herawati – Staf Peneliti Pusat P3R - YAE Bogor
0 komentar:
Posting Komentar