Benang Kusut Kemiskinan Nelayan

Tanggal : 01 Juni 2005
Sumber : http://www.mail-archive.com/proletar@yahoogroups.com/msg08676.html
Oleh : Muhamad Karim

Beberapa minggu terakhir media massa ibu kota termasuk koran ini memberitakan kasus kematian dan penangkapan nelayan Indonesia oleh aparat keamanan Australia. Pihak Australia menganggap mereka menangkap ikan di perairannya. Anehnya, pemerintah Indonesia tidak memiliki kepedulian sama sekali, sehingga seorang nelayan kita meninggal dunia. Kejadian ini semakin menguatkan tesis yang mengatakan bahwa penyebab kemiskinan nelayan adalah kemiskinan struktural. Dengan kata lain, bagaimana mungkin kita mengharapkanpemerintah untuk mengembangkan kebijakan pembangunan yang menghargai harkat dan martabat nelayan miskin.


Problem kemiskinan

Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya sebagian besar bersumber dari aktivitas menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya. Mereka umumnya hidup di kawasan pesisir pantai dan sangat dipengauhi kondisi alam terutama angin, gelombang, dan arus laut, sehingga aktivitas penangkapan ikan tidak berlangsung sepanjang tahun. Pada periode waktu tertentu nelayan melaut karena angin kencang, gelombang besar dan arus laut yang kuat.


Kondisi alam ini kerapkali disebut musim paceklik yaitu suatu musim dimana nelayan tidak beraktivitas sama sekali. Guna mencukupi kebutuhan hidupnya, mereka umumnya mengutang pada juragan yakni pemilik kapal dan alat tangkap.


Utang akan dibayar saat kondisi alam membaik dan hasil tangkapan ikan melimpah. Prasyaratnya adalah nelayan harus menjaul hasil tangkapannya pada juragan dengan harga ditentukan juragan. Dampaknya buruk dari hubungan nelayan dan juragan ini adalah pada saat musim ikan ternyata nelayan tidak memperoleh hasil yang memuaskan. Akibatnya, utang tidak mampu dilunasi dan menumpuk karena musim paceklik berikutnya nelayan kembali mengutang pada juragan.

Pola hubungan nelayan-juragan ini kerap disebut sebagai patron-client (patronase). Pola hubungan ini mengakibatkan kemiskinan struktural nelayan menjadi lestari. Penyebabnya adalah nelayan tidak memiliki mata pencaharian alternatif dan sumber keuangan untuk menutupi hidup saat musim paceklik. Kemiskinan struktural pada masyarakat nelayan juga disebabkan oleh pola bagi hasil antara buruh nelayan dan juragan yang tidak adil dan terkesan eksploitatif. Pola bagi hasil dalam perikanan tangkap ditentukan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan, misalnya gill net, purse seine atau pukat layang. Contohnya, pola bagi hasil dengan menggunakan alat tangkap gill net yaitu 50:50. Artinya, juragan mendapatkan bagian dan buruh nelayan bagian setelah dikurangi biaya operasional.

Anehnya, pola bagi hasil ini diberlakukan sampai umur ekonomis alat tangkap itu habis. Padahal dalam sistem investasi terdapat penyusutan alat. Pola bagi hasil dalam perikanan tangkap tidak pernah memperhitungkan penyusutan alat, sehingga sekalipun kemampuan dan kapasitas alat tangkap menurun, tetap saja juragan mendapatkan bagian 50 persen sejak alat itu dioperasikan. Problem pola bagi hasil inilah yang terlupakan oleh Raymond Firth ketika menyebutkan karakteristik penyebab kemiskinan nelayan yakni pendapatan nelayan yang bersifat harian (daily increment) dan sulit ditentukan jumlahnya; dari aspek pendidikan, komunitas nelayan dan anak-anak nelayan pada umumnya rendah; dari sifat produk yang dihasilkan nelayan pada umumnya berhubungan dengan ekonomi tukar menukar karena produk yang dihasilkan bukan makanan pokok; sektor perikanan yang menjadi mata pencaharian nelayan membutuhkan investasi besar dan cenderung beresiko tinggi dibandingkan sektor lainnya; dan kehidupan nelayan yang miskin diliputi oleh kerentanan, misalnya terbatasnya anggota keluarga yang terlibat secara langsung dalam kegiatan produksi dan ketergantungam mata pencaharian pada kegiatan menangkap ikan.

Kemiskinan struktural nelayan di Indonesia juga berkaitan dengan tindakan ekspolitasi sumberdaya ikan yang dilakukan oleh pemodal besar dan mendapat dukungan dari penguasa dan aparat keamanan. Salah satu penyebab mengapa nelayan NTT menangkap ikan sampai memasuki perairan Australia adalah ketidakmampuan mereka bersaing dengan armada penangkapan modern baik legal maupun ilegal yang beroperasi di perairan Arafuru. Padahal perairan ini dulunya menjadi tempat mereka menangkap ikan. Beroperasinya armada perikanan modern pada akhirnya memarjinalkan nelayan tradisional yang menggunakan motor tempel ataupun perahu bermotor. Problem seperti ini terjadi karena hak dasar nelayan untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya ikan tidak dilindugi dan dupenuhi oleh negara.

Negara lebih mengutamakan pengusaha perikanan modern. Selain itu, perkembangan kawasan pesisir sebagai daerah wisata maupun perikanan tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan nelayan. Hasil kajian penulis dengan menghitung indeks perkembangan wilayah tahun 2004 di Pelabuhanratu, Sukabumi, menggambarkan bahwa infrastruktur wilayah yang berkembang pesat tidak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Justru di kawasan inil malahan menjadi kantong-kantong kemiskinan yang dicirikan oleh banyaknya perumahan kumuh, tingginya angka pengangguran, tingginya jumlah penduduk yang bermukim di bantaran sungai, dan penduduk pra-sejahtera dan sejahtera I. Dengan perkataan lain, perkembangan infrastruktur wilayah seperti PPN Pelabuhanratu dan Koperasi Mina ternyata tidak mampu menanggulangi kemiskinan nelayan. Hal ini berarti terjadi proses pembangunan kawasan pesisir untuk daerah wisata yang mengorbankan masyarakat komunitas nelayan di kawasan itu. Semua uraian ini meninjukkan bahwa problem kemiskinan nelayan bagaikan benang kusut yang belum dapat diurai secara tuntas.

Paradigma baru

Hal lain yang perlu dikritisi berkaitan dengan kebijakan pemerintah adalah ketidakjelasan implementasi program-program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan nelayan, misalnya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program-program ini di hampir semua daerah mengalami kegagalan.


Kalaupun ada yang berhasil itu hanya di atas kertas semata yaitu dalam laporan akhir proyek. Pada kenyataannya berbeda seratus delapan puluh derajat di lapangan. Penyebabnya adalah cara berpikir pengambil kebijakan di negeri ini tentang kemiskinan masih menggunakan prinsip neoliberal yaitu kemiskinan merupakan persoalan individu yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan atau pilihan-pilihan individu berangkutan.

Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Oleh karenanya strategi yang harus diterapkan dalam penanggulangan kemiskikan adalah bersifat residual, sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok swadaya, atau lembaga keagamaan. Keterlibatan negara hanya sebagai ''penjaga malam'' yang baru ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya. Dalam program penanggulangan kemiskinan nelayan prinsip ini diterapkan dalam bentuk program bantuan alat tangkap, pelatihan manajemen keuangan dan bahkan intervensi kelembagaan yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) maupun Bappenas.

Hasil temuan penulis kurun waktu tahun 2002-2004 mengenai pemberdayaan nelayan di Deli Serdang, Asahan, Karawang, dan Sukabumi menunjukkan bahwa strategi ala neoliberalisme ini banyak diaplikasikan sehingga mengalami kegagalan pada tingkat implementasi. Dalam strategi ini bukan malahan meningkatkan kapasitas dan memperkuat organisasi nelayan itu sendiri.


Melainkan, program-program itu lebih banyak dijalankan dan dikuasai kelompok elite pada lingkaran kekuasaan pemerintahan desa, intitusi bakul dan juragan serta pengelola KUD Mina. Mereka bahkan menutup sama sekali akses informasi bagi masyarakat lain yang ingin mengetahui program yang dikembangkan. Jadi, jangan berharap program itu akan berhasil dan berkelanjutan serta memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan.


Persoalan kemiskinan termasuku komunitas nelayan ternyata tidak hanya mencakup dimensi ekonomi semata, tetapi lebih bersifat komperehensif dan terintegrasi yang mencakup kekuasaan politik, kelembagaan (hukum dan aturan main), kebijakan, budaya, dan lingkungan fisik termasuk kerusakan ekologis. Oleh karenanya memerlukan paradigma baru dalam dalam kebijakan mengurangi kemiskinan yaitu menganggap orang miskin sebagai manusia yang bermartabat.

Oleh karenanya, kebijakan yang dibutuhkan bukanlah kebijakan yang memihakmereka, tetapi bagaimana kebijakan itu mampu membangkitkan kepentingan hak-hakdasar orang miskin. Strategi yang dikembangkan adalah memastikan bahwa hak-hakdasar orang miskin harus diakui, misalnya hak untuk mengakses terhadap sumberdaya alam dan ekonomi; hak-hak dasar orang miskin tidak dapat diberikanatau dicabut; negara melaksanakan tanggungjawabnya dan kewajibannya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak nelayan miskin; dan wilayah strategi penanggulangan kemiskinan sangat ditentukan oleh konteks wilayah dan sektor yang menjadi mata pencaharian pokok masyarakat miskin, umpamanya nelayan.

Maksudnya, kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat tunggal seperti apa yang disarankan pemerintah pusat, akan tetapi tergantung pada kebutuhan dan kepentingan orang miskin serta kondisi lingkungan mereka menetap. Dengan perspektif ini kita mengharapkan pemerintah memiliki cara pandang baru dalam penanggulangan kemiskinan nelayan.

0 komentar: