Globalisasi dan Kemiskinan Nelayan

Tanggal : 15 Juni 2005
Sumber : http://www.mail-archive.com/ppiindia@yahoogroups.com/msg22089.html
Oleh : Muhamad Karim


Globalisasi yang melanda seantero dunia saat ini seolah-olah telah menjadi idiologi baru. Di forum-forum seminar, lokakarya, konvensi dan kongres suatu organisasi selalu menempatkan kata "globalisasi" dalam tema acara.


Seolah-olah jika tidak menempatkan kata ini, terkesan ketinggalan jaman. Premisnya, kalau tidak siap menghadapi globalisasi, maka kita akan tergilas
olehnya. Benar memang pernyataan itu. Akan tetapi, apakah kita seolah-olah pasrah saja dan tidak boleh melakukan langkah antisipatif bahkan perlawanan? Inilah yang mendasari mengapa menulis artikel ini. Mungkin orang akan bertanya apa keterkaitan globalisasi dengan kemiskinan nelayan ? Bagaimana proyek globalisasi beroperasi sehingga kemiskinan nelayan bertambah parah ?


Politik Globalisasi


Politik globalisasi tidak hanya diaktualisasikan dalam perekonomian dunia yang berbentuk perdagangan bebas dan investasi. Melainkan globalisasi telah melanda seluruh sendi-sendi penunjang kehidupan umat manusia, yaitu dari aspek sosial, ekologis dan sumberdaya alam. Dengan mengusung idiologi neo-liberalisme, globalisasi telah menimbulkan berbagai dampak negatif bagi pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, termasuk sektor kelautan dan perikanan. Hegemoni politik globalisasi dalam sektor kelautan dan perikanan telah menjadi "paradigma pemikiran" kalangan pengambil kebijakan di negara berkembang seperti Indonesia. Dengan perkataan lain, pemerintah dan kalangan legislatif di Indonesia secara tidak sadar telah mempraktekkan idiologi neo-liberalisme dalam kebijakan pembangunan.

Apabila kita mencermati, hegemoni globalisasi dalam sektor kelautan dan perikanan bergerak pada level global dan regional serta internal negara Pada level global dan regional, politik globalisasi membangun hegemoninya lewat intervensi perubahan hukum-hukum laut internasional, standarisasi dan labelisasi perdagangan produk hasil laut serta "dominasi dan penguasaan"melalui organisasi internasional maupun regional. Intervensi melalui hukum-hukum laut internasional diusung melalui isu lingkungan sehinggamelahirkan model pengelolaan laut secara global.

Alasannya, lautan memiliki keterkaitan ekologis yang membentuk sebuah kesatuan ekosistem, sehingga perlu pengelolaan bersama lintas negara. Standarisasi dan labelisasi perdagangan produk hasil diusung lewat isu lingkungan guna menciptakan produk pangan yang aman. Alasannya, negara-negara berkembang banyak mengalami pencemaran lingkungan dan bahkan isu terbaru yang dikembangkan yakni bio-terorism. Ditolaknya produk udang Indonesia beberapawaktu lalu merupakan contoh kongkrit implementasi politik globalisasi.

Dominasi dan penguasaan melalui organisasi internasional seperti Indian Ocean Tuna Comission (IOTC), yaitu sebuah organisasi regional yang mengelolan perikanan tuna di perairan Samudera Hindia. Parahnya, Indonesia sulit sekali menjadi anggota organisasi ini padahal perairannya berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan nelayan Indonesia kerap menangkap ikan diperairan itu.

Anehnya, Jepang yang sama sekali tidak menguasai perairan itu justru menjadi anggota dan memiliki pengaruh yang kuat terutama dalam pengaturan kuota penangkapan ikan dan jumlah kuota yang dimiliki setiap anggota. Melalui organisasi Convention for Conservation of Sourthern Bluefin Tuna (CCSBT), Jepang, bersama Australia dan Selandia Baru mengklaim penguasaan atas perikanan tuna sirip biru (blue fin tuna) di Samudera Hindia. Jepang berhak atas kuota 52 %, Australia 45 % dan Selandia Baru 3 %. Negara yang bukan anggota CCSBT apabila ketahuan menangkap ikan tuna di Samudera Hindia dianggap illegal fishing atau free rider, terkecuali mengikuti syarat-syarat tertentu.

Utang Luar Negeri

Hal lain yang juga menarik dari politik globalisasi adalah pemberian utang luar negeri yang dibungkus oleh isu pengelolaan sumberdaya kelautan seperti terumbu karang (coral reef), mangrove, dan kemiskinan. Kita mengenal program Coral reef Rehabilitation and Management Programe (COREMAP) untuk merehabilitasi terumbu karang, Program Kemitraan bahari (Sea grant), Program Co-fish dan Marine Coastal Resources and Management Programe (MCRMP) yang semuanya dibiayai utang luar negeri dari Bank Dunia (World Bank) maupun Asian Development Bank (ADB). Kedua organisasi ini merupakan lembaga keuangan internasional yang menopang politik globalisasi. Parahnya, hasil-hasil program ini tidak mampu mengangkat harkat dan martabat nelayan dari lingkaran setan kemiskinan.

Indonesia pun tetap mengalami ketergantungan keuangan pada organisasi-organisasi internasional itu. Dampaknya, adalah politik globalisasi bukan mengurangi kemiskinan nelayan, melainkan memperparah kemiskinan itu sendiri. Kalaupun ada yang mengatakan bahwa program-program itu mampu memperbaiki lingkungan, menaikan pendapatan nelayan dan produksi hasil perikanan, penulis masih sangksi. Buktinya, banyak program yang telah dijalankan hanya berlalu tanpa bekas sedikit pun dan tidak berkelanjutan (unsustainable) atau gagal sama sekali.

Sebagai perbandingan bahwa kegagalan program-program Bank Dunia di Afrika tahun fiskal 1998-1999 pernah diungkapkan Bruce Rich (2003) yakni proyek-proyek yang berkelanjutan hanya mencapai 34 %, yang berdampak pada pengembangan kelembagaan 26 % dan sektor lingkungan hidup mengalami penurunan dari 55 % menjadi 50 %. Jelas, bahwa politik globalisasi belum terbukti mensejahterakan di negara-negara berkembang dan menanggulangi kemiskinan.

Pada level internal negara, hegemoni politik globalisasi dalam bidang kelautan di Indonesia dilakukan melalui intervensi perundang-undangan. Undang-Undang Perikanan (UUP) No. 31 Tahun 2004 merupakan fakta yang terbantahkan. Beberapa yang dapat diungkap, umpamanya, (i) adanya klausal yang memperbolehkan kapal asing beroperasi di wilayah perairan Indonesia.


Lucunya, pemerintah malah membuat pernyataan bahwa tahun 2007 semua kapal asing dilarang beroperasi di perairan Indonesia. Bukankah hal ini bertentangan dengan UUP yang juga disepakati pemerintah dan DPR; (ii) dalam UU itu program pemberdayaan nelayan dimasukkan menjadi pasal-pasal tersendiri.


Bukankah hal ini secara "terselubung" merupakan upaya untuk mempertahankan pemerintah agar tetap mendapatkan utang luar negeri dari organisasi-organisasi keuangan internasional dengan dalih mengurangi kemiskinan nelayan? Penulis mencurigai bahwa beberapa pasal dalam UUP tersebut diintervensi oleh kepentingan-kepentingan negara maju dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Fenomenanya tidak berbeda jauh dengan UU Pengelolaan Sumberdaya Air yang diundangkan karena menjadi syarat pengucuran dana sebesar US$ 400 juta dari Bank Dunia.

Penyakit Kronis

Kita sebagai bangsa Indonesia tidak menyadari bahwa globalisasi sebenarnya sudah lama meramba sektor kelautan dan perikanan. Kalau mau jujur,sejak program modernisasi perikanan tahun 70-an dengan slogan "Revolusi Biru",globalisasi secara perlahan memasuki ranah perikanan Indonesia. Dampaknya sekitar 30 tahun kemudian, hampir seluruh wilayah perikanan Indonesia, terkecuali Samudera Hindia dan Pasifik, mengalami tangkap lebih (over fishing)akibat beroperasinya kapal-kapal perikanan modern baik dimiliki perusahaan domestik maupun asing. Bahkan kebanyakan kapal asing yang beroperasi di Indonesia bersifat ilegal. Dalam perikanan budidaya hal yang sama tidak jauh berbeda. Bentuknya lebih parah lagi karena hampir seluruh aktivitas perikanan budidaya tambak udang di Indonesia sejak "bom" udang tahun 80-an dikuasai oleh perusahaan multinasional.

Penguasaan ini tidak hanya berbentuk pesatnya kemajuan industri pertambakan udang. Akan tetapi, pemilik modal menguasai lahan yang dulunya milik petani tambak tradisional yang dibeli dengan harga murah. Dampaknya adalah selain memperparah kemiskinan nelayan karena pada akhirnya melahirkan kelas buruh nelayan (anak buah kapal dan buruh tambak), juga menciptakan kerusakan lingkungan yaitu kehancuran hutan mangrove hampir di seluruh pesisir pantai Indonesia. Inilah awal dampak globalisasi yang merasuk dalam dunia kelautan dan perikanan Indonesia.

Globalisasi dengan segala varian dan bentuknya telah menghancurkan sumberdaya kelautan dan perikanan serta menciptakan kemiskinan struktural di Indonesia. Kini sudah saat melakukan perubahan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan tanpa harus menggantungkan diri lagi pada lembaga-lembaga keuangan internasional. Janganlah kemiskinan nelayan dijadilan alat untuk mendapatkan utang luar negeri dengan dalih mengentaskan kemiskinan itu sendiri.

Terdapat banyak langkah dan upaya yang dapat dilakukan untuk menoptimalkan sumberdaya lokal untuk melahirkan kebijakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan serta pengentasan kemiskinan nelayan. Dengan demikian, kekuatan posisi tawar kita pada level global maupun regional akan semakin kuat, karena kita tidak mengantungkan diri pada kekuatan-kekuatan penggerak globalisasi.


Untuk mewujudkan hal itu prasyarat utamanya adalah pemerintah harus menegakan hukum, memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta membangun politik diplomasi kelautan yang intensif di level internasional. Sebab, penyakit kronis yang mengakibatkan politik globalisasi dengan mudah merasuki sektor kelautan dan perikanan, termasuk sektor pembangunan lainnya adalah kemiskinan, KKN, dan utang luar negeri. Apabila semua hal ini dapat secara perlahan-lahan disembuhkan, maka globalisasi tidak akan mudah menghegemoni kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan secara totalitas. Semoga !

0 komentar: