Kekayaan Laut Nusa Tenggara Timur, Cuma Dinikmati Angka-angkanya

Tanggal : 29 Oktober 2005
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0510/29/Fokus/2161863.htm
Oleh PASCAL S BIN SAJU


Seorang nelayan mendayung sampannya di tengah laut tidak jauh dari dermaga feri Bolok, Kupang, Nusa Tenggara Timur, awal Oktober ini. Saat itu tim Lintas Timur-Barat Kompas sedang menanti datangnya feri dari Larantuka.


Sampan bagaikan garis kecil yang membayang hitam di tengah luasnya lautan dan cakrawala subuh itu. Dalam perjalanan pulang ke Kupang, tepatnya di Nunbaun Sabu atau Namosain, bertebaran ratusan perahu nelayan. Mereka sudah sejak malam harinya tidak melaut karena mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM), terutama solar serta biaya perawatan mesin. Umumnya perahu mereka menggunakan mesin berkapasitas lima PK.


Fakta yang terlihat itu, baik nelayan, sampan, perahu maupun laut, serta-merta merefleksi ulang kondisi kelautan dan perikanan di NTT. Meski luas wilayah lautnya lebih besar, yakni 199.526 kilometer persegi (76,3 persen), ternyata laut belum berdampak ekonomis bagi penduduknya, terutama bagi warga pesisir.


Penduduk pesisir, seperti diwakili antara lain oleh para nelayan di atas tadi memang masih mengandalkan pada usaha penangkapan secara tradisional. Apalagi usaha produktif sektor kelautan tidak didukung oleh modal yang memadai, seperti terpancar dalam komunitas nelayan Namosain tadi.


Potensi besar


Perairan Laut Sawu, Laut Flores, dan Laut Timor beserta selat-selat yang menjahit 566 pulau ke dalam satu gugus kepulauan NTT memiliki potensi besar. Bidang kelautan memiliki multisektor ekonomi meliputi perikanan, pariwisata, pertambangan laut, industri maritim, transportasi laut, bangunan dan jasa kelautan lainnya.


Subsektor perikanan pada provinsi kepulauan ini memiliki potensi perikanan tangkap yang cukup besar baik untuk jenis cakalang, kerapu, kakap putih, sardin, baronang maupun cumi-cumi. Namun, pemanfaatannya baru mencapai 26,56 persen dari potensi perikanan sekitar 365,1 metrik ton per tahun.


Budidaya perikanan, seperti mutiara dan rumput laut, sebenarnya dapat berkembang baik di sini. Namun, dari potensi alam yang tersedia sekitar 5.150 hektar, yang tergarap baru di bawah 10 persen, tepatnya 8,74 persen atau hanya tergarap pada areal seluas 450 hektar.


Belum lagi di bidang pariwisata bahari, seperti Pantai Nembrala di Rote, Komodo di Manggarai Barat, Taman Wisata Alam Laut 17 Pulau Riung di Ngada, serta Kalabahi di Alor. Usaha di bidang transportasi laut sebenarnya amat terbuka di sini, yang sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal baik di Flores, Timor maupun Sumba.


Dengan masih mengandalkan armada, teknologi penangkapan dan budidaya yang tradisional, seluruh kapasitas, kuantitas, dan kualitas produksi menjadi sangat rendah. Jangan heran jika mayoritas penduduk pesisir NTT, tidak bisa lebih sejahtera dari tahun-tahun sebelumnya, kecuali tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinannya.


Hampir pasti, penduduk di 644 desa dan kelurahan di NTT yang termasuk desa pesisir karena berbatasan langsung dengan laut, terjebak dalam kemiskinan permanen. Jumlah penduduk pesisir ini mencapai 1,2 juta jiwa atau setara 30 persen dari total penduduk NTT sekitar 4.110.929 jiwa (data Februari 2005).


Di Papela, Pulau Rote, dan pantai Tablolong di Kupang Barat, atau Wuring di Sikka dan Labuanbajo di Manggarai (Flores) misalnya, nelayan dan petani rumput laut terjerat utang kepada para tengkulak. Di perkampungan pesisir itu, para tengkulak memberlakukan bunga pinjaman antara 15 persen hingga 20 persen.


Ada banyak juga nelayan yang berjuang mengatasi kemiskinannya dengan menembus Laut Timor, atau Flores, tetapi tetap dengan armada dan teknologi penangkapan tradisional. Nelayan Rote selalu dilumpuhkan patroli Australia yang secara sepihak mengecap nelayan itu telah melakukan penangkapan ilegal di Laut Timor.


Sudah bertahun-tahun nelayan di Laut Timor bergulat sendiri, tanpa sebuah advokasi dan perlindungan hukum. Setiap hari tetap ada nelayan tradisional di perairan ini yang ditangkapi, di mana armada dan alat tangkapnya dimusnahkan.


Gemala atau getupa?


Seperti sudah diungkap tadi, dengan mengandalkan arma- da dan teknologi penang- kapan tradisional, sulit bagi nelayan untuk bernapas lega meski lautnya kaya. Fakta ini sungguh sangat ironis karena sejak 10 tahun lalu Pemerintah Provinsi NTT telah menggalakkan pro- gram gerakan masuk Laut (Gemala).


Artinya, dengan Gemala itu seharusnya telah terjadi perubahan yang signifikan pada wajah sektor kelautan dan perikanan pada provinsi dengan 566 pulau itu. Meski ada Gemala, sebenarnya kelautan dan perikanan masih diposisikan sebagai sektor pinggiran dalam pembangunan daerah, bahkan hingga di era otonomi daerah saat ini.


Tampaknya Gemala sebagai sebuah gerakan perlu dikoreksi dan dikaji ulang. Seharusnya yang dilakukan pertama sebelum bergulirnya Gemala adalah gerakan turun ke pantai (Getupa), sebuah gerakan mempersiapkan masyarakat yang lahannya telah kritis untuk mengenal karakter usaha di pesisir atau laut.


Gemala hanya mungkin efektif untuk keluarga nelayan. Jika yang dimaksud adalah dalam konteks pendekatan totalitas fungsi dan potensi laut, maka harus didahului dengan pembangunan jalan lingkar pantai. Tidak mudah mempersiapkan kondisi ini jika tidak sungguh-sungguh menggarap potensi kelautan dan perikanan tadi.


Memang pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan investasi. Tetapi menciptakan kondisi daerah agar investor tertarik ke wilayah itu amatlah penting. Pertumbuhan investasi di bidang kelautan tidak pernah terjadi sejak tahun 2001, kecuali sebelumnya, yakni tahun 2001 dan 2002, total investasi dalam negeri 15 buah.


Laut di NTT belum menjadi arus utama dalam kebijakan ekonomi, belum diolah, kecuali hanya dilihat sebagai ”peluang”. Dari waktu ke waktu para pengambil keputusan di provinsi ini hanya bangga menampilkan angka-angka potensi, entah sampai kapan akan dieksploitasi bagi kepentingan rakyat di seluruh kawasan.(BD/ANS/COK/YNS/DNU/ RIE/ISW/JL)

0 komentar: