Tanggal : 23 Maret 2007
Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/nelayan-bayah-lebak-di-tengah-himpitan-rentenir/
Serang (ANTARA News) - Langit pesisir Selatan Lebak, Banten, berangsur cerah setelah beberapa pekan cuaca buruk dan gelombang pasang menghempas kawasan itu.
Sabtu (24/3) pagi itu, nelayan berperahu ukuran kecil dan sedang satu persatu mulai merapat ke pantai.
Kedatangan para nelayan sepulang melaut di Pantai Bayah tampak disambut hangat oleh keluarga mereka di bibir pantai.
Pagi itu, wajah nelayan terlihat gembira, meski semalaman mereka berada di tengah laut mencari berbagai jenis ikan.
Mereka berhasil mendapatkan banyak ikan. Saat itu juga para nelayan sibuk menurunkan ikan-ikan hasil tangkapan di atas perahu kicang berukuran 1,5 X 10 meter untuk kemudian dimasukkan ke dalam keranjang.
Ikan-ikan itu lalu dibawa ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Bayah, salah satu sentra ikan tangkapan di Banten, untuk dilelang.
Namun di balik kebahagian yang terpancar dari wajah nelayan, tidak bisa ditutupi ada tersirat lesu, karena rentenir menunggu kedatangan mereka usai melelang ikannya.
Potret kehidupan nelayan kecil di pesisir selatan Kabupaten Lebak memang belum terlepas dari jerat rentenir, bahkan kian hari jerat itu dirasakan semakin melilit.
Utang ke rentenir telah membuat nelayan terjebak dalam kemiskinan terstruktur, sehingga kehidupan nelayan tak kunjung sejahtera. Lebih parah lagi, karena pemerintah daerah tak peduli.
Program-program bantuan pemerintah maupun Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang dikelola koperasi dinilai hanya slogan saja, sebab kenyataannya belum dinikmati para nelayan.
"Pulang melaut hanya cukup membeli beras sebanyak dua liter, karena tersangkut pinjaman rentenir dengan bunga yang ditetapkan mereka," kata Mulyadi (60), seorang nelayan TPI Bayah.
Memang, hari itu hasil lelang ikan mereka bisa mencapai Rp70.000, namun setelah dipotong hutang dan beli beras, pulang ke rumah uang tersisa tinggal Rp6.000.
Rentenir-rentenir itu mengeruk keuntungan besar, sebab sebelum bisa melunasi pinjaman pokok, nelayan harus membayar bunga yang telah ditentukan hingga tiga kali lipat, kata Mulyadi.
"Setiap kali melaut pendapatan kami dipotong 20 persen untuk pembayaran bunga rentenir. Bunga itu terus ditagih di lokasi TPI selama kami belum melunasinya," katanya.
Mulyadi bukan satu-satunya korban rentenir, hampir seluruh nelayan di Pantai Bayah terjebak pada jerat yang sama.
Nelayan sudah terbiasa dengan kehidupun seperti itu, sehingga bila tidak melaut, pihak yang dicari adalah rentenir untuk dapat berhutang dengan cepat dan mudah demi menyambung hidup keluarganya.
Dalam setahun nelayan TPI Bayah hanya enam bulan menangkap ikan, sehingga kebutuhan hidup tergantung rentenir dengan perjanjian pembayaran setelah melaut kembali.
Selama masa paceklik, nelayan umumnya menggantungkan kebutuhan keluarga ke rentenir, karena pinjaman melalui Bank atau PEMP harus ada jaminan.
Rasanya, rentenir merupakan bagian kehidupan nelayan yang tidak bisa dipisahkan, walaupun merugikan nelayan, ujarnya.
"Mungkin, satu-satunya lembaga ekonomi nelayan hanya rentenir. Hanya itu yang bisa menolong, meskipun bunganya membumbung tinggi," katanya.
Sahid (55), teman seprofesi Mulyadi, mengaku bahwa sejak puluhan tahun telah berutang ke rentenir, sejak saat masih bujangan hingga kini.
Bapak lima anaknya yang hanya berpendidikan SD itu, kini mengaku tak bisa lepas dari rentenir, apalagi sedari dulu kondisi ekonominya tak kunjung membaik, sehingga selalu "gali lubang tutup lubang".
"Saya tidak bisa menyekolahkan anak hingga ke jenjang pendidikan tinggi karena untuk makan saja kerepotan. Apalagi, akhir-akhir ini banyak liburnya karena musim angin barat," ujarnya.
Ia mengemukakan, sempat menganggur sebulan lalu, karena gelombang besar, sehingga terpaksa biaya kebutuhan keluarga ditanggung sementara oleh rentenir, dan baru membayar setelah melaut kembali.
"Hampir dua minggu saya menangkap ikan di pesisir selatan, namun baru bisa membayar bunga rentenir sebesar 10 persen per hari dari pinjaman total sebesar Rp1,5 juta," kata Sahid sambil mengutarakan pinjaman itu dirasakan membebani sehingga kehidupannya semakin terpuruk dan miskin.
Sementara itu, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Lebak, Hermawan mengatakan, kehidupan nelayan pesisir selatan sekitar 4.500 orang hingga kini memang jauh dari sejahtera, selain sebagian besar hasil tangkapan ikan terbatas, juga lembaga usaha yang ada seperti PEMP belum banyak membantu.
Untuk biaya hidup dan biaya modal usaha nelayan biasanya menggunakan jasa yang disebut "langgan" (renten). Dalam perjanjian langgan, rentenirlah yang menentukan bunga pendapatan per hari hingga nelayan melunasi pinjaman.
Nelayan Bayah dan kehidupannya dengan rentenir, yang notabene tidak mereka sukai sekaligus dibutuhkan saat paceklik, agaknya sulit untuk dipastikan sampai kapan akan terus berdampingan. (*)
Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/nelayan-bayah-lebak-di-tengah-himpitan-rentenir/
Serang (ANTARA News) - Langit pesisir Selatan Lebak, Banten, berangsur cerah setelah beberapa pekan cuaca buruk dan gelombang pasang menghempas kawasan itu.
Sabtu (24/3) pagi itu, nelayan berperahu ukuran kecil dan sedang satu persatu mulai merapat ke pantai.
Kedatangan para nelayan sepulang melaut di Pantai Bayah tampak disambut hangat oleh keluarga mereka di bibir pantai.
Pagi itu, wajah nelayan terlihat gembira, meski semalaman mereka berada di tengah laut mencari berbagai jenis ikan.
Mereka berhasil mendapatkan banyak ikan. Saat itu juga para nelayan sibuk menurunkan ikan-ikan hasil tangkapan di atas perahu kicang berukuran 1,5 X 10 meter untuk kemudian dimasukkan ke dalam keranjang.
Ikan-ikan itu lalu dibawa ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Bayah, salah satu sentra ikan tangkapan di Banten, untuk dilelang.
Namun di balik kebahagian yang terpancar dari wajah nelayan, tidak bisa ditutupi ada tersirat lesu, karena rentenir menunggu kedatangan mereka usai melelang ikannya.
Potret kehidupan nelayan kecil di pesisir selatan Kabupaten Lebak memang belum terlepas dari jerat rentenir, bahkan kian hari jerat itu dirasakan semakin melilit.
Utang ke rentenir telah membuat nelayan terjebak dalam kemiskinan terstruktur, sehingga kehidupan nelayan tak kunjung sejahtera. Lebih parah lagi, karena pemerintah daerah tak peduli.
Program-program bantuan pemerintah maupun Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang dikelola koperasi dinilai hanya slogan saja, sebab kenyataannya belum dinikmati para nelayan.
"Pulang melaut hanya cukup membeli beras sebanyak dua liter, karena tersangkut pinjaman rentenir dengan bunga yang ditetapkan mereka," kata Mulyadi (60), seorang nelayan TPI Bayah.
Memang, hari itu hasil lelang ikan mereka bisa mencapai Rp70.000, namun setelah dipotong hutang dan beli beras, pulang ke rumah uang tersisa tinggal Rp6.000.
Rentenir-rentenir itu mengeruk keuntungan besar, sebab sebelum bisa melunasi pinjaman pokok, nelayan harus membayar bunga yang telah ditentukan hingga tiga kali lipat, kata Mulyadi.
"Setiap kali melaut pendapatan kami dipotong 20 persen untuk pembayaran bunga rentenir. Bunga itu terus ditagih di lokasi TPI selama kami belum melunasinya," katanya.
Mulyadi bukan satu-satunya korban rentenir, hampir seluruh nelayan di Pantai Bayah terjebak pada jerat yang sama.
Nelayan sudah terbiasa dengan kehidupun seperti itu, sehingga bila tidak melaut, pihak yang dicari adalah rentenir untuk dapat berhutang dengan cepat dan mudah demi menyambung hidup keluarganya.
Dalam setahun nelayan TPI Bayah hanya enam bulan menangkap ikan, sehingga kebutuhan hidup tergantung rentenir dengan perjanjian pembayaran setelah melaut kembali.
Selama masa paceklik, nelayan umumnya menggantungkan kebutuhan keluarga ke rentenir, karena pinjaman melalui Bank atau PEMP harus ada jaminan.
Rasanya, rentenir merupakan bagian kehidupan nelayan yang tidak bisa dipisahkan, walaupun merugikan nelayan, ujarnya.
"Mungkin, satu-satunya lembaga ekonomi nelayan hanya rentenir. Hanya itu yang bisa menolong, meskipun bunganya membumbung tinggi," katanya.
Sahid (55), teman seprofesi Mulyadi, mengaku bahwa sejak puluhan tahun telah berutang ke rentenir, sejak saat masih bujangan hingga kini.
Bapak lima anaknya yang hanya berpendidikan SD itu, kini mengaku tak bisa lepas dari rentenir, apalagi sedari dulu kondisi ekonominya tak kunjung membaik, sehingga selalu "gali lubang tutup lubang".
"Saya tidak bisa menyekolahkan anak hingga ke jenjang pendidikan tinggi karena untuk makan saja kerepotan. Apalagi, akhir-akhir ini banyak liburnya karena musim angin barat," ujarnya.
Ia mengemukakan, sempat menganggur sebulan lalu, karena gelombang besar, sehingga terpaksa biaya kebutuhan keluarga ditanggung sementara oleh rentenir, dan baru membayar setelah melaut kembali.
"Hampir dua minggu saya menangkap ikan di pesisir selatan, namun baru bisa membayar bunga rentenir sebesar 10 persen per hari dari pinjaman total sebesar Rp1,5 juta," kata Sahid sambil mengutarakan pinjaman itu dirasakan membebani sehingga kehidupannya semakin terpuruk dan miskin.
Sementara itu, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Lebak, Hermawan mengatakan, kehidupan nelayan pesisir selatan sekitar 4.500 orang hingga kini memang jauh dari sejahtera, selain sebagian besar hasil tangkapan ikan terbatas, juga lembaga usaha yang ada seperti PEMP belum banyak membantu.
Untuk biaya hidup dan biaya modal usaha nelayan biasanya menggunakan jasa yang disebut "langgan" (renten). Dalam perjanjian langgan, rentenirlah yang menentukan bunga pendapatan per hari hingga nelayan melunasi pinjaman.
Nelayan Bayah dan kehidupannya dengan rentenir, yang notabene tidak mereka sukai sekaligus dibutuhkan saat paceklik, agaknya sulit untuk dipastikan sampai kapan akan terus berdampingan. (*)
0 komentar:
Posting Komentar