Dilema Pembangunan Masyarakat Pesisir Laut Lombok Barat

Tanggal : 12 September 2007
Sumber : http://lombokbarat.go.id/index/articleview.php?go=3

Oleh : Pangkat Ali


Cobalah kita berjalan menelusuri perkampungan di pesisir pantai sebagian wilayah Lombok Barat (Lobar). Maka akan tampak oleh kita, seraut potret kehidupan masyarakat pesisir yang masih tergolong buram. Wajah buram tersebut identik dengan kemiskinan.


Potret kehidupan masyarakat di pesisir laut Lobar, masih tergolong buram. Barangkali itulah ungkapan kalimat yang tepat untuk menggambarkan rona kehidupan pembangunan masyarakat pesisir yang dilematik dan kontradiktif. Walaupun gambaran tersebut kurang mengenakkan dipendengaran, namun fakta yang kita hadapi umumnya memang demikian.


Dikatakan kontradiktif bahwa, mereka masyarakat pesisir itu, hidup miskin di tengah-tengah kekayaan sumber daya alam pesisir dan laut yang berlimpah ruah. Memang nampak menyedihkan dan dilematis tampaknya.


Sekarang timbul pertanyaan. Benarkan Lobar kaya dengan potensi sumber daya pesisir dan laut? Secara fisik, daerah ini memiliki potensi tersebut yang cukup besar. Karena luas lautnya mencapai 1.352,49 Km2, terbentang dari perairan laut Lobar bagian Utara hingga ke selatan di bangko-Bangko nan jauh di sana. Perairan tersebut dikelilingi oleh garis pantai yang cukup panjang yakni, 182,57 Km2 (data: Lombok Barat Dalam Angka Tahun 2003) Dan di dalamnya terdapat ekosistem terumbu karang yang banyak dan aduhai indahnya. Karena alasan keindahan inilah mungkin, ada pengamat menilai terumbu karang seperti ini hanya ada di dua tempat yakni, di Lobar dan laut Karibia.


Ekosistem penting lainnya yang terpendam adalah, padang panun atau air yang menutupi karang, rumput laut, pantai berpasir dan ekosistem lainnya. Selain itu juga, ada potensi lestari yang dimiliki. Tercatat cukup banyak. Sementara tingkat pemanfaatannya relatif masih rendah. Meskipun tidak dilampiri dengan data-data riil, namun knyataan di lapanganlah yang berkata jujur. Bahkan belum dimanfaatkan sama sekali.


Demikian pula halnya di perairan payau (tambak) untuk udang, bandeng dan komoditas lainnya. Selama ini pengembangannya belum ada terdengar muncul ke permukaan. Kecuali pengembangan budidaya mutiara di wilayah Kecamatan sekotong. Namun berangsur-angsur prosfek itu tenggelam seketika.


Dengan potensi kawasan pesisir dan laut Lobar yang begitu menggiurkan, ironisnya, masyarakat yang mendiami dan menaruh harapan hidup dari kemurnian rahmat Allah yang terpendam di kawasan pesisir dan laut itu, tetap saja tergolong warga Negara yang belum beruntung, alias miskin. Ada apa sebenarnya dengan manajemen pembangunan pesisir dan lautan di Lobar? Sehingga masyarakat pesisir belum dapat menikmati hasil pembangunan di wilayahnya secara maksimal?


Jujur saja kita akui bahwa, pembangunan yang telah dilaksanakan, belum mengacu pada perencanaan terpadu. Secara fisik memang sebagian kecil atau belum meratanya secara maksimal pelaksanaan proyek yang dialokasikan pada lingkungan masyarakat pesisir. Katakan saja seperti, proyek Pemugaran Perumahan dan Lingkungan secara Terpadu (P2LDT) yang dikhususkan untuk penanggulangan kemiskinan. Semuanya belum bisa tersentuh secara merata.


Tragisnya, kebanyakan program pengembangan tersebut tidak diskenariokan untuk pemberdayaan masyarakat pesisir itu sendiri. Karena, sosok pembangunan kelautan sebagai leading sector dalam wacana otonomi daerah, harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.


Selain itu, plaku pembangunan harus memiliki tolok ukur. Artinya, harus memberikan keuntungan secara signifikan terhadap semua pelaku usaha di dalamnya dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selanjutnya harus memberikan dampak ekonomi secara makro dalam peningkatan perolehan, serta dilaksanakan secara berkelanjutan. Tidak hanya secara ekonomi, tapi juga secara ekologis.


Yang jelas, dari dana yang cukup tersedia, baik dari APBD maupun APBN, para pelaku pembangunan, bisa mengaplikasi progam ke wilayah penduduk pesisir. Sehingga tidak terkesan adanya kecemburuan sosial yang harus membuka mata bagi para lembaga sosial masyarakat di Lobar ini.


Optimisme dalam melakukan scenario yang antara lain bisa melalui sosialisasi, sebagai salah satu strategi alternatif yang harus dilakukan. Karena tidak ada ajaran agama manapun melarang untuk selalu memperhatikan kaum yang lemah (dhuafa), sekaligus nasib lingkungan.


Hal tersebut adalah sebagai sebuah pilihan strategis yang merupakan keharusan. Karena ajaran agama manapun menganjurkan untuk selalu memperhatikan nasib kaun dhuafa dan lingkungan.


0 komentar: