Tanggal : 7 September 2007
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan.php?dw.214
Sebagai satu-satunya kawasan konservasi penyu di Pulau Sumatera Pemkab Pesisir Selatan (Pessel), Sumbar, akan membuka objek wisata penyu bertelur untuk menarik wisatawan lokal maupun mancanegara, sekaligus sebagai upaya pelestarian hewan tersebut dari ancaman kepunahan. Pulau ini ditetapkan sebagai kawasan pusat konservasi melalui SK Bupati Pessel pada Maret 2006 dengan payung hukum UU No.31/2004 tentang perikanan. "Konsep wisata tersebut sedang susun dan diharapkan segera terealisasi menjadi objek baru yang menarik untuk dikunjungi wisatawan," ujar Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sumbar, Ir. Yosmeri di Painan, Pessel seperti yang dikutib dari Antara beberapa waktu yang lalu.
Sebenarnya bagaimanakah pengembangan yang paling baik bagi ekowisata penyu laut ini agar bisa memadukan kepentingan ekonomi dan ekologi? .Padahal ekowisata berbasis penyu dianggap menjadi piranti yang tepat sebagai sumber pendapatan alternatif berdasarkan Rencana Aksi Nasional Konservasi Penyu Laut pada tahun 2001 (RAN-2001).
Ekowisata berbasis penyu laut tepat diterapkan di Perairan Sumatera Barat, khsususnya di Pesisir Selatan. Selain akan membuat Pesisir Selatan menjadi destinasi wisata dengan keunikan tersendiri, ekowisata berbasis penyu juga akan berperan penting dalam melestarikan kekayaan hayati. Hal itu diungkapkan Kasubdin Penangkapan Dinas Perikanan Pesisir Selatan, Ir. Edwil ,di sela-sela kuliah Konservasi dan Rehabilitasi Habitat Perairan, Pesisir dan Kelautan Pascasarjana UBH, Sabtu (1/8-07) kemarin, mendukung gagasan Yosmeri yang sampai saat ini masih sebagai kepala Dinas Perikanan Pessel.
Menurutnya, perairan Indonesia dikaruniai enam spesies dari tujuh spesies penyu laut yang masih tersisa di bumi. Namun, seperti halnya di negara-negara lain, populasi yang ada di Indonesia juga tidak luput dari ancaman kepunahan. Peraturan pemerintah (PP) untuk melindungi keberadaan penyu laut ini pun agaknya tidak mempan untuk menurunkan dan mencegah terjadinya perdagangan penyu dan telurnya. Bahkan, karena tingginya perhatian internasional terhadap satwa yang masuk dalam Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) Apendix 1.
Dari kaca mata industri pariwisata, Perairan Sumbar khususnya Pesisir Selatan relatif masih perawan dan belum tersentuh eksploitasi mega proyek seperti yang dialami Bali. Dengan kekayaan yang cukup lestari, Pessel lebih gampang memulai dan mengembangkan ekowisata dibandingkan Bali. Ekowisata ini menjadi penting karena sejumlah pulau di daerah ini sebagai daerah peneluran dan penetasan penyu laut.
''Tiap upaya konservasi penyu laut berpeluang besar memperoleh perhatian dan dukungan dari dunia internasional. Exspose di tingkat global, tentunya akan sangat menguntungkan bagi industri pariwisata Sumatera Barat,'' kata Edwil seraya menambahkan, ekowisata berbasis penyu pun menjadi lahan subur sumber pendapatan alternatif masyarakat.
Pada dasarnya pengambilan penyu dan telurnya secara untuk diperdagangkan, sebaiknya jangan. Sebab, menurut Manajer Konservasi Penyu Laut World Wildlife for Nature (WWF) drh. IB Windia Adnyana, Ph.D., keunikan siklus hidup penyu laut sangat menjanjikan untuk dijadikan daya tarik pariwisata. ''Makin tingginya kesadaran masyarakat dunia terhadap lingkungan, kebutuhan untuk menikmati objek wisata yang ramah lingkungan makin besar,'' paparnya. Dikatakan Windia, aktivitas yang sifatnya konvensional seperti pengamatan aktivitas perkawinan saja sudah mampu menarik minat wisatawan. Apalagi, jika kemasannya memadai dan bernilai jual tinggi, tentu paket-paket wisata penyu laut ini akan makin diminati. Saat ini beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Filipina dan Australia sudah berhasil mengembangkan ekowisata penyu laut,(dari berbagai sumber).
Sejalan dengan RAN-2001, pengembangan ekowisata berbasis penyu sudah mulai dilakukan di beberapa daerah yang menjadi tempat pendaratan penyu, di antaranya di Taman Nasional Meru Betiri (TMNB), Kepulauan Derawan, Tanjung Benoa dan Serangan (Bali) serta Sukabumi. Namun, berdasarkan data dari berbagai sumber , belum ada satu daerah pun yang berhasil memadukan kegiatan pariwisata dan ekologi dengan memuaskan. Padahal, dengan melihat makin menurunnya populasi penyu yang ada di Indonesia, upaya tersebut sangat penting untuk dilakukan.
Rencana ekowisata berbasis penyu di Pesisir Selatan ini sebagai wisata penyu bertelur sejalan dengan ditetapkannya Pessel sebagai pusat konservasi penyu di wilayah Indonesia bagian Barat oleh pemerintah. Terkait penetapan itu, di Pulau Karebak Ketek Pessel kini telah dibangun berbagai fasilitas penangkaran penyu dan melestarikan pantai-pantai di pulau itu sebagai tempat penyu bertelur. Selain fasilitas penangkaran, juga telah dibangun dua unit rumah penginapan untuk wisatawan yang datang. Pembangunan kawasan konservasi dan dipadukan objek wisata tersebut didanai dengan dana APBN 2006 mencapai Rp1 miliar. Pulau Kerabak Ketek dengan luas sekitar empat hektar juga telah dibebaskan Pemkab Pessel dari pemilik ulayatnya dengan dana pembelian sebesar Rp200 juta pada tahun 2006.
Menurut Yosmeri rata-rata ada satu hingga tiga ekor induk penyu yang bertelur di pulau tersebut tiap malamnya. Angka ini relatif kecil mengingat satu ekor penyu betina bisa menghasilkan telur sekitar 100 butir. Meski dari segi populasi cenderung menurun, sektor pariwisatanya cukup menjanjikan. Kegiatan tersebut secara tidak langsung meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar.
Edwil juga menambahkan bahwa program penangkaran yang dilakukan di Pulau Karabak berjalan cukup baik. Terjadi peningkatan jumlah penyu betina yang mendarat, jumlah telur serta jumlah tukik yang berhasil ditetaskan dan dilepaskan ke laut. Diakuinya, selama ini Dinas Perikanan Pessel baru melakukan ekowisata secara terbatas, karena pada mulanya kegiatan penangkaran tersebut belum ada maksud untuk dikembangkan sebagai atraksi pariwisata. Namun, melihat tingginya potensi keuntungan ekonomi dari kegiatan wisata alam ini, DKP berencana akan meningkatkan kegiatan yang sifatnya pariwisata dengan tetap memperhatikan lingkungan.
Agaknya penanganan penyu laut sebagai ekowisata perlu dilakukan secara berkoordinasi, tidak mungkin membangun ekowisata di lokasi-lokasi peneluran, karena di beberapa pulau-pulau kecil lainnya di perairan Sumatera Barat juga terdapat lokasi tempat penyu bertelur. Sehingga pengembangan industri pariwisata yang memadukan ekonomi dan ekologi bisa tercapai. Dalam hal ini, pemerintah pusat pun mempunyai peran yang sangat sentral mengingat diperlukan peraturan-peraturan yang lebih tegas untuk mengurangi adanya perdagangan penyu secara ilegal. Jadi melalui pengembangan ekowisata berbasis penyu yang melibatkan semua stake holders keinginan untuk memanfaatkan penyu secara ekstraktif bisa dikurangi, bahkan dihentikan. Kegiatan ekowisata ini sekaligus juga memberikan dana bagi pengawasan dan pembudidayaan penyu laut tersebut.
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan.php?dw.214
Sebagai satu-satunya kawasan konservasi penyu di Pulau Sumatera Pemkab Pesisir Selatan (Pessel), Sumbar, akan membuka objek wisata penyu bertelur untuk menarik wisatawan lokal maupun mancanegara, sekaligus sebagai upaya pelestarian hewan tersebut dari ancaman kepunahan. Pulau ini ditetapkan sebagai kawasan pusat konservasi melalui SK Bupati Pessel pada Maret 2006 dengan payung hukum UU No.31/2004 tentang perikanan. "Konsep wisata tersebut sedang susun dan diharapkan segera terealisasi menjadi objek baru yang menarik untuk dikunjungi wisatawan," ujar Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sumbar, Ir. Yosmeri di Painan, Pessel seperti yang dikutib dari Antara beberapa waktu yang lalu.
Sebenarnya bagaimanakah pengembangan yang paling baik bagi ekowisata penyu laut ini agar bisa memadukan kepentingan ekonomi dan ekologi? .Padahal ekowisata berbasis penyu dianggap menjadi piranti yang tepat sebagai sumber pendapatan alternatif berdasarkan Rencana Aksi Nasional Konservasi Penyu Laut pada tahun 2001 (RAN-2001).
Ekowisata berbasis penyu laut tepat diterapkan di Perairan Sumatera Barat, khsususnya di Pesisir Selatan. Selain akan membuat Pesisir Selatan menjadi destinasi wisata dengan keunikan tersendiri, ekowisata berbasis penyu juga akan berperan penting dalam melestarikan kekayaan hayati. Hal itu diungkapkan Kasubdin Penangkapan Dinas Perikanan Pesisir Selatan, Ir. Edwil ,di sela-sela kuliah Konservasi dan Rehabilitasi Habitat Perairan, Pesisir dan Kelautan Pascasarjana UBH, Sabtu (1/8-07) kemarin, mendukung gagasan Yosmeri yang sampai saat ini masih sebagai kepala Dinas Perikanan Pessel.
Menurutnya, perairan Indonesia dikaruniai enam spesies dari tujuh spesies penyu laut yang masih tersisa di bumi. Namun, seperti halnya di negara-negara lain, populasi yang ada di Indonesia juga tidak luput dari ancaman kepunahan. Peraturan pemerintah (PP) untuk melindungi keberadaan penyu laut ini pun agaknya tidak mempan untuk menurunkan dan mencegah terjadinya perdagangan penyu dan telurnya. Bahkan, karena tingginya perhatian internasional terhadap satwa yang masuk dalam Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) Apendix 1.
Dari kaca mata industri pariwisata, Perairan Sumbar khususnya Pesisir Selatan relatif masih perawan dan belum tersentuh eksploitasi mega proyek seperti yang dialami Bali. Dengan kekayaan yang cukup lestari, Pessel lebih gampang memulai dan mengembangkan ekowisata dibandingkan Bali. Ekowisata ini menjadi penting karena sejumlah pulau di daerah ini sebagai daerah peneluran dan penetasan penyu laut.
''Tiap upaya konservasi penyu laut berpeluang besar memperoleh perhatian dan dukungan dari dunia internasional. Exspose di tingkat global, tentunya akan sangat menguntungkan bagi industri pariwisata Sumatera Barat,'' kata Edwil seraya menambahkan, ekowisata berbasis penyu pun menjadi lahan subur sumber pendapatan alternatif masyarakat.
Pada dasarnya pengambilan penyu dan telurnya secara untuk diperdagangkan, sebaiknya jangan. Sebab, menurut Manajer Konservasi Penyu Laut World Wildlife for Nature (WWF) drh. IB Windia Adnyana, Ph.D., keunikan siklus hidup penyu laut sangat menjanjikan untuk dijadikan daya tarik pariwisata. ''Makin tingginya kesadaran masyarakat dunia terhadap lingkungan, kebutuhan untuk menikmati objek wisata yang ramah lingkungan makin besar,'' paparnya. Dikatakan Windia, aktivitas yang sifatnya konvensional seperti pengamatan aktivitas perkawinan saja sudah mampu menarik minat wisatawan. Apalagi, jika kemasannya memadai dan bernilai jual tinggi, tentu paket-paket wisata penyu laut ini akan makin diminati. Saat ini beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Filipina dan Australia sudah berhasil mengembangkan ekowisata penyu laut,(dari berbagai sumber).
Sejalan dengan RAN-2001, pengembangan ekowisata berbasis penyu sudah mulai dilakukan di beberapa daerah yang menjadi tempat pendaratan penyu, di antaranya di Taman Nasional Meru Betiri (TMNB), Kepulauan Derawan, Tanjung Benoa dan Serangan (Bali) serta Sukabumi. Namun, berdasarkan data dari berbagai sumber , belum ada satu daerah pun yang berhasil memadukan kegiatan pariwisata dan ekologi dengan memuaskan. Padahal, dengan melihat makin menurunnya populasi penyu yang ada di Indonesia, upaya tersebut sangat penting untuk dilakukan.
Rencana ekowisata berbasis penyu di Pesisir Selatan ini sebagai wisata penyu bertelur sejalan dengan ditetapkannya Pessel sebagai pusat konservasi penyu di wilayah Indonesia bagian Barat oleh pemerintah. Terkait penetapan itu, di Pulau Karebak Ketek Pessel kini telah dibangun berbagai fasilitas penangkaran penyu dan melestarikan pantai-pantai di pulau itu sebagai tempat penyu bertelur. Selain fasilitas penangkaran, juga telah dibangun dua unit rumah penginapan untuk wisatawan yang datang. Pembangunan kawasan konservasi dan dipadukan objek wisata tersebut didanai dengan dana APBN 2006 mencapai Rp1 miliar. Pulau Kerabak Ketek dengan luas sekitar empat hektar juga telah dibebaskan Pemkab Pessel dari pemilik ulayatnya dengan dana pembelian sebesar Rp200 juta pada tahun 2006.
Menurut Yosmeri rata-rata ada satu hingga tiga ekor induk penyu yang bertelur di pulau tersebut tiap malamnya. Angka ini relatif kecil mengingat satu ekor penyu betina bisa menghasilkan telur sekitar 100 butir. Meski dari segi populasi cenderung menurun, sektor pariwisatanya cukup menjanjikan. Kegiatan tersebut secara tidak langsung meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar.
Edwil juga menambahkan bahwa program penangkaran yang dilakukan di Pulau Karabak berjalan cukup baik. Terjadi peningkatan jumlah penyu betina yang mendarat, jumlah telur serta jumlah tukik yang berhasil ditetaskan dan dilepaskan ke laut. Diakuinya, selama ini Dinas Perikanan Pessel baru melakukan ekowisata secara terbatas, karena pada mulanya kegiatan penangkaran tersebut belum ada maksud untuk dikembangkan sebagai atraksi pariwisata. Namun, melihat tingginya potensi keuntungan ekonomi dari kegiatan wisata alam ini, DKP berencana akan meningkatkan kegiatan yang sifatnya pariwisata dengan tetap memperhatikan lingkungan.
Agaknya penanganan penyu laut sebagai ekowisata perlu dilakukan secara berkoordinasi, tidak mungkin membangun ekowisata di lokasi-lokasi peneluran, karena di beberapa pulau-pulau kecil lainnya di perairan Sumatera Barat juga terdapat lokasi tempat penyu bertelur. Sehingga pengembangan industri pariwisata yang memadukan ekonomi dan ekologi bisa tercapai. Dalam hal ini, pemerintah pusat pun mempunyai peran yang sangat sentral mengingat diperlukan peraturan-peraturan yang lebih tegas untuk mengurangi adanya perdagangan penyu secara ilegal. Jadi melalui pengembangan ekowisata berbasis penyu yang melibatkan semua stake holders keinginan untuk memanfaatkan penyu secara ekstraktif bisa dikurangi, bahkan dihentikan. Kegiatan ekowisata ini sekaligus juga memberikan dana bagi pengawasan dan pembudidayaan penyu laut tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar