Tanggal : 3 September 2007
Sumber : http://www.waspada.co.id/Berita/Medan/Masyarakat-Pesisir-Alami-Kebodohan.html
Medan, Guru Besar Ekonomi USU Prof Bachtiar Hasan Miraza menegaskan, persoalan yang menyelimuti kehidupan masyarakat pesisir pantai bukan kemiskinan tetapi adalah kebodohan akibat tingkat pendidikan rendah.
Bachtiar mengungkapkan hal itu pada seminar "Pembangunan Masyarakat Pesisir di Sumut" di Gedung Bina Graha Jalan P. Diponegoro Medan, Sabtu (1/9).
Menurut Bachtiar, kebodohan masyarakat pesisir itu diperparah lagi dengan nyaris tidak adanya perhatian sungguh-sungguh pemerintah untuk melakukan pembinaan dan perbaikan.
Kebodohan itu merupakan pangkal utama dan akar masalah yang menyebabkan masyarakat pesisir menjadi miskin. Bukan sebaliknya kemiskinan yang menjadikan mereka bodoh. "Persoalan ini harus dipecahkan."
Bachtiar mengatakan, lebih memprihatinkan lagi, keberadaan dan eksistensi masyarakat pesisir di peralat oleh mayarakat kota untuk memenuhi kebutuhannya terhadap hasil laut.
Masyarakat pesisir dijadikan sebagai alat produksi. "Kita hanya selalu berbicara tentang produksi, tetapi tidak pernah mempersoalkan siapa yang memproduksi," kata Bachtiar yang juga Ketua Program Magister dan Doktor juga pakar Perencanaan Wilayah Pascasarjana USU.
Pendekatan Agromarinepolitan
Sementara itu, jumlah penduduk miskin di pesisir di timur dan barat Sumatera Utara (terdiri dari 16 daerah), ternyata jauh lebih besar dibanding dataran tinggi dan pegunungan yang meliputi 10 daerah. Kemiskinan di kawasan pesisir Sumut ini akibat tingkat pendidikan masyarakatnya masih kalah rendah dari pendidikan masyarakat di dataran tinggi.
Menurut Bachtiar, rencana membangun kawasan pesisir Sumut melalui program Agromarinepolitan, akan lebih berhasil bila dilakukan melalui pendekatan kebodohan atau pembangunan bidang pendidikan.
"Kalau pembangunan didorong melalui pendekatan kemiskinan (peningkatan infrastruktur) lebih dulu, maka efeknya akan membuat masyarakat menjadi manja dan konsumtif," tutur Bachtiar pada acara yang digelar Badan Perencana Pembangunan (Bappeda) Sumut itu.
Menjawab pertanyaan Kadis Perikanan Asahan, Syafaruddin Harahap tentang pengalamannya ketika menjadi camat di Medang Deras, melihat banyaknya tempat jualan makanan dan itu tetap laku. Selain itu, setiap musim buah Kota Medang Deras selalu banjir buah dan tetap habis.
Kondisi itu, kata putra kelahiran Sidempuan ini, membuktikan persoalan yang dihadapi nelayan bukan kemiskinan tetapi belum pandai mengelola pendapatan.
Sedang R Hamdan Harahap dalam makalanya Pembinaan Sosial Budaya dan Politik Masyarakat Pesisir Sumut menyebutkan, wilayah pesisir, laut, merupakan kawasan dengan produktivitas hayati tinggi.
Selain itu juga merupakan konsentrasi pusat kegiatan; pariwisata, poerbhubungan, perindustrian, permukimna, perikanan, peternakan dan keamanan. Apalagi 60 persesn penduduk dunia bermukim di wilayah pesisir berlaku rezim ekses terbuka.
Rentan terhadap kerusakan biofisika lingkunga konflik pengelolaan dan ketidak pastian hukum. Di samping mekanisme pengelolaan wilayah pesisir terpadu dengan pendekatan sosial budaya dan politik. Turut sebagai pembicara Kepala Bappedasu RE Nainggolan.
Sementara itu, sejumlah peserta seminar seperti Kepala Dinas Perikanan Kota Medan, Wahid Lubis menyarankan agar leading sector pembangunan kemasyarakatan pesisir Sumut ini berada di bawah Bappeda Sumut. Sehingga program yang dibuat untuk mengentaskan kemiskinan bisa disinergikan mulai dari provinsi hingga kabupaten/kota. Kepala Bappeda Sumut RE Nainggolan juga bertindak sebagai pembicara, dia juga sependapat dengan kondisi itu dan cara menanggulangi perlu pendekatan Agromarinepolitan
Seminar sehari ini dihadiri para Kadis Perikanan wilayah pesisir, instansi terkait, para mahasiswa S3, LSM, Kepala Bapeda Deliserdang Ir Irman Dj Oemar, MSi dibuka Sekdaprovsu diwakil Kadis Perikanan dan Kelautan Ir Yosep Sisyanto.
Sumber : http://www.waspada.co.id/Berita/Medan/Masyarakat-Pesisir-Alami-Kebodohan.html
Medan, Guru Besar Ekonomi USU Prof Bachtiar Hasan Miraza menegaskan, persoalan yang menyelimuti kehidupan masyarakat pesisir pantai bukan kemiskinan tetapi adalah kebodohan akibat tingkat pendidikan rendah.
Bachtiar mengungkapkan hal itu pada seminar "Pembangunan Masyarakat Pesisir di Sumut" di Gedung Bina Graha Jalan P. Diponegoro Medan, Sabtu (1/9).
Menurut Bachtiar, kebodohan masyarakat pesisir itu diperparah lagi dengan nyaris tidak adanya perhatian sungguh-sungguh pemerintah untuk melakukan pembinaan dan perbaikan.
Kebodohan itu merupakan pangkal utama dan akar masalah yang menyebabkan masyarakat pesisir menjadi miskin. Bukan sebaliknya kemiskinan yang menjadikan mereka bodoh. "Persoalan ini harus dipecahkan."
Bachtiar mengatakan, lebih memprihatinkan lagi, keberadaan dan eksistensi masyarakat pesisir di peralat oleh mayarakat kota untuk memenuhi kebutuhannya terhadap hasil laut.
Masyarakat pesisir dijadikan sebagai alat produksi. "Kita hanya selalu berbicara tentang produksi, tetapi tidak pernah mempersoalkan siapa yang memproduksi," kata Bachtiar yang juga Ketua Program Magister dan Doktor juga pakar Perencanaan Wilayah Pascasarjana USU.
Pendekatan Agromarinepolitan
Sementara itu, jumlah penduduk miskin di pesisir di timur dan barat Sumatera Utara (terdiri dari 16 daerah), ternyata jauh lebih besar dibanding dataran tinggi dan pegunungan yang meliputi 10 daerah. Kemiskinan di kawasan pesisir Sumut ini akibat tingkat pendidikan masyarakatnya masih kalah rendah dari pendidikan masyarakat di dataran tinggi.
Menurut Bachtiar, rencana membangun kawasan pesisir Sumut melalui program Agromarinepolitan, akan lebih berhasil bila dilakukan melalui pendekatan kebodohan atau pembangunan bidang pendidikan.
"Kalau pembangunan didorong melalui pendekatan kemiskinan (peningkatan infrastruktur) lebih dulu, maka efeknya akan membuat masyarakat menjadi manja dan konsumtif," tutur Bachtiar pada acara yang digelar Badan Perencana Pembangunan (Bappeda) Sumut itu.
Menjawab pertanyaan Kadis Perikanan Asahan, Syafaruddin Harahap tentang pengalamannya ketika menjadi camat di Medang Deras, melihat banyaknya tempat jualan makanan dan itu tetap laku. Selain itu, setiap musim buah Kota Medang Deras selalu banjir buah dan tetap habis.
Kondisi itu, kata putra kelahiran Sidempuan ini, membuktikan persoalan yang dihadapi nelayan bukan kemiskinan tetapi belum pandai mengelola pendapatan.
Sedang R Hamdan Harahap dalam makalanya Pembinaan Sosial Budaya dan Politik Masyarakat Pesisir Sumut menyebutkan, wilayah pesisir, laut, merupakan kawasan dengan produktivitas hayati tinggi.
Selain itu juga merupakan konsentrasi pusat kegiatan; pariwisata, poerbhubungan, perindustrian, permukimna, perikanan, peternakan dan keamanan. Apalagi 60 persesn penduduk dunia bermukim di wilayah pesisir berlaku rezim ekses terbuka.
Rentan terhadap kerusakan biofisika lingkunga konflik pengelolaan dan ketidak pastian hukum. Di samping mekanisme pengelolaan wilayah pesisir terpadu dengan pendekatan sosial budaya dan politik. Turut sebagai pembicara Kepala Bappedasu RE Nainggolan.
Sementara itu, sejumlah peserta seminar seperti Kepala Dinas Perikanan Kota Medan, Wahid Lubis menyarankan agar leading sector pembangunan kemasyarakatan pesisir Sumut ini berada di bawah Bappeda Sumut. Sehingga program yang dibuat untuk mengentaskan kemiskinan bisa disinergikan mulai dari provinsi hingga kabupaten/kota. Kepala Bappeda Sumut RE Nainggolan juga bertindak sebagai pembicara, dia juga sependapat dengan kondisi itu dan cara menanggulangi perlu pendekatan Agromarinepolitan
Seminar sehari ini dihadiri para Kadis Perikanan wilayah pesisir, instansi terkait, para mahasiswa S3, LSM, Kepala Bapeda Deliserdang Ir Irman Dj Oemar, MSi dibuka Sekdaprovsu diwakil Kadis Perikanan dan Kelautan Ir Yosep Sisyanto.
0 komentar:
Posting Komentar