Nelayan Perempuan, Kaum Terpinggirkan

Tanggal : Edisi II No.2 April-Juni 2005
Sumber : http://www.kalyanamitra.or.id/kalyanamedia/2/2/fokus1.htm

Bukan lautan, hanya kolam susu Kayu dan jala cukup menghidupimu
Tiada topan, tiada badai kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
(Koes Plus dalam lagu ‘Kolam Susu’)


Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan nan maha luas. Indonesia memiliki pantai terpanjang di dunia. Garis pan-tainya mencapai lebih 81.000 km. Dari 67.439 desa di Indonesia, kurang lebih 9.261 desa digolongkan sebagai desa pesisir. Sebagian besar penduduknya miskin. Desa-desa pesisir merupakan kantong-kantong kemiskinan struktural yang potensial. Ke-sulitan mengatasi masalah kemiskinan di desa-desa pesisir telah menjadikan penduduk di kawasan ini harus menanggung beban kehidupan yang tidak dapat dipastikan kapan masa berakhirnya (Kus-nadi, Konflik Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan, LKiS, Yogyakarta, 2002).

Penggolongan sosial-ekonomi masyarakat nelayan dapat dilihat dari 3 sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan lain-nya), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam golongan nelayan pemilik alat-alat produksi dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi. Dalam kegiatannya, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa atau tenaganya dengan hak-hak yang sangat terbatas. Jumlah ne-layan buruh di desa nelayan sangatlah besar.


Dilihat dari segi tingkat modal usaha, struktur masyarakat nelayan terbagi menjadi golongan nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan besar menanamkan modal usahanya dalam jumlah besar, sedangkan nelayan kecil sebaliknya. Dipandang dari teknologi peralatan tangkapnya, masyarakat nela-yan terbagi menjadi nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan tekno-logi peralatan tangkap yang canggih sehingga ting-kat pendapatan dan kesejahteraan sosial ekonomi-nya jauh lebih tinggi. Nelayan modern ini jumlahnya relatif kecil dibandingkan nelayan tradisional.


Akan tetapi, posisi nelayan buruh, yang jumlahnya amat besar itu, baik yang bekerja dengan nelayan besar dan modern maupun dengan nelayan kecil dan tradisional, belum tentu terjamin tingkat kese-jahteraan hidupnya. Oleh karena sistem bagi hasil antara nelayan buruh dan nelayan pemilik amatlah timpang.


Akar Kemiskinan Nelayan


Tekanan sosial-ekonomi yang dihadapi rumah tangga nelayan buruh berakar pada berbagai faktor yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut terbagi menjadi faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah, misalnya perubahan musim-musim pe-nangkapan dan struktur sumber daya kelautan dan nangkapan dan struktur sumber daya kelautan dan desa. Faktor non alamiah terhubung dengan perso-alan keterbatasan daya jangkau teknologi penang-kapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada dan dampak negatif kebijakan modernisasi peri-kanan yang telah berlangsung sejak 25 tahun ter-akhir.


Perubahan musim-musim penangkapan ikan sa-ngatlah bervariasi. Di perairan Selat Madura, mu-sim ikan berlangsung antara Desember-Maret da-lam setiap tahunnya. Hanya empat bulan efektif. Dalam empat bulan ini kaum nelayan memperoleh hasil yang baik. Ketika memasuki bulan-bulan ke-marau, tingkat penghasilan nelayan akan berkurang bahkan mengalami masa paceklik. Musim paceklik ini akan berlangsung selama 8 bulan dan untuk menutupi kebutuhannya para nelayan harus mem-belanjakan simpanannya yang diperoleh selama 4 bulan musim melaut itu. Kesulitan pun kemudian menghantui hidup para nelayan buruh.


Dalam masa-masa paceklik biasanya istri dan anak-anak nelayan buruh harus berjuang keras mencari nafkah dengan melakukan segala pekerjaan yang memberikan penghasilan. Apa saja mereka lakukan untuk menjamin agar kehidupan rumah tangga mereka bertahan. Akan tetapi, upaya ini akan sa-ngat bergantung pada struktur sumber daya desa dimana para nelayan buruh hidup. Bila sumber daya desanya beragam, maka peluang kerja mereka akan terbuka lebar.


Selain bergantung pada musim dan sumber daya desa yang ada, para nelayan buruh juga bertumpu pada teknologi penangkapan dan metode penangkapan ikan. Kemampuan ja-ring dan pendeteksi-an perge-rakan ikan di laut a-mat sa-ngat ter-batas. Dengan demikian, pemanfaatan peralatan dan me-tode tangkap yang kurang dikembangkan menga-kibatkan jangkauan operasional mereka menjadi terbatas dan mengurangi tingkat penghasilannya.


Diversifikasi penangkapan tidak mudah dilakukan karena memerlukan tingkat keahlian tertentu yang didapat melalui proses yang panjang dan modal yang besar. Seorang nelayan pancing ikan tongkol, cakalang atau layang tidak bisa dengan segera mengubah kegiatannya menjadi nelayan udang, yang kedua-duanya memerlukan peralatan dan me-tode kerja yang berbeda sehingga membutuhkan proses belajar yang relatif lama.


Sistem bagi hasil pun mengakibatkan para nelayan buruh hidup semakin miskin. Biasanya bagian ter-besar tangkapan berada di tangan si pemilik pera-latan tangkap/perahu, sementara biaya opera-sional ditanggung bersama-sama oleh si nelayan buruh dan pemilik peralatan tangkap/perahu. Mi-salnya dalam suatu operasi penangkapan dihasilkan Rp 10 ribu, maka uang tersebut akan terlebih dulu dipotong untuk kepentingan biaya operasi, pembe-lian solar, pancing, dan senar mencapai Rp 2500. Sisanya Rp 7500 dibagi 3, yaitu si pemilik sampan dan juragan mendapat 2/3 bagian, sedangkan ne-layan buruhnya mendapat 1/3 bagian dari jumlah tersebut. Sistem bagi hasil ini bervariasi di tiap-tiap daerah.


Persoalan besar lainnya yang setiap hari dihadapi para nelayan buruh ialah monopoli jaringan pema-saran hasil tangkapan. Bila musim ikan berlang-sung, belum tentu pendapatan para nelayan me-ningkat dengan sendirinya, karena jaringan pema-saran dikuasai sepenuhnya oleh pedagang peranta-ra. Hubungan para nelayan dengan pedagang perantara biasanya cukup erat. Para nelayan selalu membutuhkan uang tunai yang biasanya selalu dise-diakan oleh pedagang perantara dengan sistem pinjam berbunga tinggi. Oleh karenanya, para nelayan kerap dirugikan dalam hubungan tersebut. Peranan pedagang perantara dalam proses produksi dan pemasaran hasil tangkapan nelayan telah menggantikan kedudukan dan peranan organisasi formal seperti KUD Mina. Teknologi pengawetan hasil tangkapan pun biasanya dikuasai oleh peda-gang perantara tersebut. Dengan demikian, turun naiknya harga ikan sangat bergantung pada kaum pedagang perantara ini.


Faktor lain pemicu laju kemiskinan nelayan buruh ialah kebijakan pemerintah berupa motorisasi pe-rahu dan peralatan tangkap modern, yang dikenal dengan nama “revolusi biru”. Kebijakan pemerin-tah ini telah mendorong timbulnya kegiatan tang-kap berlebih dan pengurasan sumber daya peri-kanan di perairan pantai maupun di perairan lepas pantai. Banyak kasus konflik nelayan terjadi akibat kebijakan pemerintah ini telah memicu persaingan yang tidak sehat dan cenderung meminggirkan kaum nelayan tradisional. Dampak negatif kebi-jakan itu sangat dirasakan oleh rumahtangga-rumahtangga nelayan buruh dan memperparah si-tuasi kemiskinan mereka secara umum.


Nelayan Perempuan, Apakah Diperhitungkan?


Dengan pahamnya kita akan lapisan-lapisan sosial ekonomi di kalangan nelayan, maka nelayan buruh menjadi lapisan terbesar. Tingkat kemiskinan me-reka pun relatif tinggi. Sulit bagi mereka untuk bisa menaikkan taraf hidupnya, karena berbagai faktor tersebut. Dengan kata lain, kemiskinan mereka dapat dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan pola konsumsi mereka.


Dengan definisi nelayan yang dibuat oleh peme-rintah selama ini jelas sekali menutup peran aktif perempuan dan anak-anak nelayan dalam proses produksi. Definisi yang ada itu tidak memadai da-lam merumuskan pengertian nelayan di Indonesia, karena menyingkirkan keterlibatan aktif perempu-annya padahal di beberapa daerah di Indonesia; nelayan perempuannya begitu berperan menentu-kan. Pemahaman yang bias gender itu dikekalkan oleh pemerintah/negara dalam masyarakat pesisir.


Dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar kehidup-an, persoalan mendasar yang selalu dihadapi oleh rumah tangga nelayan ialah bagaimana tiap orang yang ada di dalam rumah tangga berusaha maksi-mal dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Strategi adaptasi ini banyak diperankan oleh kalangan perempuan dan anak-anak nelayan. Ragam pekerjaan yang bisa dilakukan kalangan perempuan dan anak-anak nelayan untuk menda-patkan penghasilan, misalnya mengumpulkan kerang-kerangan, mengolah hasil ikan, mengum-pulkan nener, membersihkan perahu, dan lainnya. Ada pula perempu-an nelayan bekerja di perusaha-an udang beku, in-dustri ru-mah tang-ga pengo-lahan ikan, membuat jaring, pe-dagang ikan eceran, pe-dagang ikan perantara, beternak, berkebun dan seba-gainya. Se-mua ragam pekerjaan itu masih terkait dengan kegiatan perikanan.


Dalam rumah tangga nelayan miskin, kontribusi ekonomi perempuan yang bekerja sangat signi-fikan. Perempuan-perempuan yang terlibat dalam aktivitas mencari nafkah adalah pelaku aktif perubahan sosial-ekonomi masyarakat nelayan. Perempuan nelayan juga menopang mobilitas ver-tikal nelayan laki-laki. Keterlibatan nelayan perem-puan dalam perdagangan hasil tangkap terbuka lebar karena pembagian kerja secara geososial masyarakat nelayan.


Dalam kaitan itu, nelayan laki-laki bertanggung jawab terhadap urusan menangkap ikan di laut, sedangkan perempuan nelayan bertanggung jawab terhadap urusan domestik dan publik di darat. Kasus nelayan perempuan di Madura menunjukkan bagaimana pembagian kerja di masyarakat pesisir telah terpilah-pilah secara jelas antara pekerjaan-pekerjaan yang harus ditangani oleh perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, sistem gender masyarakat nelayan mengatur pembagian ragam pekerjaan antara laki-laki dan perempuan.


Masalahnya, negara dalam kebijakan-kebijakannya amat sangat jarang melibatkan perempuan nela-yan dalam membuat dan menentukan keputusan yang berkaitan dengan hajat hidup mereka sebagai warga masyarakat nelayan umumnya, sebagai pe-rempuan khususnya. Akhirnya, perempuan nelayan selamanya tidak pernah diperhitungkan kebera-daannya secara sengaja oleh negara/pemerintah dan dikekalkan oleh tradisi/budaya masyarakat yang tidak adil gender. (HG)


Sumber:
Kusnadi, M.A., Konflik Sosial Nelayan, LKiS, Yogyakarta, 2002
Kusnadi, M.A., Akar Kemiskinan Nelayan, LKiS, Yogyakarta, 200

0 komentar: