Tanggal : April 2007
Sumber : http://pakolescenter.blogspot.com/2008/01/gurita-kemiskinan-di-ranah-pesisir.html
OLEH: HERNAWARDI
Kehidupan masyarakat pesisir atau nelayan tidak pernah lepas dari gurita kemiskinan. Demikian pula guratan nasib yang dijalani komunitas nelayan di Dusun Pengantap, Desa Sekotong Timur, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, NTB, 60 kilometer arah selatan jaraknya dari Mataram.
Kawasan pantai bagi warga Sekotong di daerah selatan PulauLombok ini menjadi satu-satunya andalan dalam menyambung hidup keluarganya. Meski hasil melaut tidak mampu mengangkat derajat kesejahteraan sehari-hari, namun mereka tetap melakoni profesi nelayan. Ketika musim melaut penuh dengan ancaman badai, mereka mencari pekerjaan serabutan untuk mengisi waktu. Warga Pengantap akan kembali ke pekerjaan semula sebagai nelayan.
Ketika Koran Pak Oles mencoba melakukan investigasi di rumah keluarga Masdi (45) sungguh membuat siapa saja yang melihatnya pasti terhenyak. Rumahnya seukuran pos ronda berdinding gedek, beratap daun rumbia memang tidak pantas untuk dihuni, apalagi menampung enam orang anak yang masih belia. Dalam kondisi seperti ini, sulit bagi Masdi berandai-andai untuk menata rumahnya yang hanya satu kamar saja.
Anak-anaknya yang sudah besar terpaksa tidur mengumpul di sebuah bangku panjang di halaman rumahnya yang hanya cukup untuk seukuran badan anak kecil. Bagaimana dengan makannya sehari-hari? Untuk soal urusan perut ini sangat mengkhawatirkan. Masdi dan kebanyakan warga lainnya di desanya mengalami kesulitan urusan dapur. Sekedar bisa beli beras saja untuk makan sehari dari hasil melaut sudah cukup. Soal lauk-pauk seadanya saja. “Ikan yang didapat bisa dijadikan lauk. Sementara untuk sayurnya bisa petik di ladang tetangga,” kata Masdi.
Beratnya tantangan hidup nelayan walaupun hanya untuk sekedar mendapatkan beras sekilo sehari, susahnya bukan main-main. Hal ini tidak mengherankan mengingat Masdi dan rekan-rekan nelayan lainnya mengadu nasib sebagai nelayan hanya untung-untungan. Selagi ikan banyak tertangkap, hasilnya ada yang lebih. Sebaliknya ketika musim ikan lagi sepi, hasilnyapun sepi. Ketika berhadapan dengan situasi seperti itu, para nelayan di sini hanya bisa mengurut dada dan menghela napas panjang. “Bila ikan banyak ditangkap, selain untuk biaya hidup sehari-hari, juga untuk membayar kredit sampan. Jika tak punya sampan, tidak ada harapan lain lagi untuk biaya hidup. Apalagi satu sampan lengkap dengan mesinnya bisa sampai Rp 5-6 juta harganya. Kami tak mampu beli kontan, terpaksa tawaran kredit kami terima, meski jatuhnya dua kali lipat. Jika kredit tak lancar, sampan diambil lalu dijual lagi ke orang lain,” tukas Masdi.
Sumber : http://pakolescenter.blogspot.com/2008/01/gurita-kemiskinan-di-ranah-pesisir.html
OLEH: HERNAWARDI
Kehidupan masyarakat pesisir atau nelayan tidak pernah lepas dari gurita kemiskinan. Demikian pula guratan nasib yang dijalani komunitas nelayan di Dusun Pengantap, Desa Sekotong Timur, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, NTB, 60 kilometer arah selatan jaraknya dari Mataram.
Kawasan pantai bagi warga Sekotong di daerah selatan Pulau
Ketika Koran Pak Oles mencoba melakukan investigasi di rumah keluarga Masdi (45) sungguh membuat siapa saja yang melihatnya pasti terhenyak. Rumahnya seukuran pos ronda berdinding gedek, beratap daun rumbia memang tidak pantas untuk dihuni, apalagi menampung enam orang anak yang masih belia. Dalam kondisi seperti ini, sulit bagi Masdi berandai-andai untuk menata rumahnya yang hanya satu kamar saja.
Anak-anaknya yang sudah besar terpaksa tidur mengumpul di sebuah bangku panjang di halaman rumahnya yang hanya cukup untuk seukuran badan anak kecil. Bagaimana dengan makannya sehari-hari? Untuk soal urusan perut ini sangat mengkhawatirkan. Masdi dan kebanyakan warga lainnya di desanya mengalami kesulitan urusan dapur. Sekedar bisa beli beras saja untuk makan sehari dari hasil melaut sudah cukup. Soal lauk-pauk seadanya saja. “Ikan yang didapat bisa dijadikan lauk. Sementara untuk sayurnya bisa petik di ladang tetangga,” kata Masdi.
Beratnya tantangan hidup nelayan walaupun hanya untuk sekedar mendapatkan beras sekilo sehari, susahnya bukan main-main. Hal ini tidak mengherankan mengingat Masdi dan rekan-rekan nelayan lainnya mengadu nasib sebagai nelayan hanya untung-untungan. Selagi ikan banyak tertangkap, hasilnya ada yang lebih. Sebaliknya ketika musim ikan lagi sepi, hasilnyapun sepi. Ketika berhadapan dengan situasi seperti itu, para nelayan di sini hanya bisa mengurut dada dan menghela napas panjang. “Bila ikan banyak ditangkap, selain untuk biaya hidup sehari-hari, juga untuk membayar kredit sampan. Jika tak punya sampan, tidak ada harapan lain lagi untuk biaya hidup. Apalagi satu sampan lengkap dengan mesinnya bisa sampai Rp 5-6 juta harganya. Kami tak mampu beli kontan, terpaksa tawaran kredit kami terima, meski jatuhnya dua kali lipat. Jika kredit tak lancar, sampan diambil lalu dijual lagi ke orang lain,” tukas Masdi.
0 komentar:
Posting Komentar