Tanggal : 28 Mei 2007
Sumber : http://rokanhilir.go.id/berita.php?go=beritalengkap&id=1767
MUNCULNYA gelombang pasang air laut secara alami yang terjadi di sejumlah daerah pesisir pantai di wilayah Sumatera Barat (Sumbar) dan sekitarnya, tampaknya benar-benar telah memberikan dampak bagi daerah lainnya. Salah satu diantaranya adalah daerah-daerah pesisir pantai yang ada di Kabupaten Rohil. Kendati gelombang pasang air laut di daerah pesisir pantai di wilayah Rohil tidak menimbulkan kerusakan pada bangunan-bangunan fisik, namun di sisi lainnya, keberadaannya justru bisa mengancam keselamatan para nelayan terutama tradisional.
Munculnya gelombang pasang air laut yang melanda di daerah pesisir pantai tersebut setidaknya telah menjadinya kondisi di perairan Rohil kurang menguntungkan bagi nelayan-nelayan. Dimana, angin yang bertiup melintasi di perairan Rohil tersebut cukup kencang yang gilirannya bisa menghasilkan gelombang air laut dengan ketinggian mencapai sekitar dua meter lebih. Mengingat fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki nelayan Rohil masih sangat terbatas terlebih tradisional, gilirannya memilih tidak turun ke laut untuk sementara waktu. ''Kondisi anginya kencang sekali. Angin itu datang secara tiba-tiba saja,'' kata Kho Peng (44) salah seorang nelayan Bagansiapi-api.
Mengingat kondisi perairan yang kurang menguntungkan, menyebabkan para nelayan yang berada di sejumlah daerah pesisir pantai seperti di Kecamatan Bangko, Sinaboi, Kubu dan Pasirlimau Kapas terpaksa menghentikan aktivitasnya untuk sementara waktu. Kendati demikian, ada sebagian nelayan-nelayan tradisional yang masih melakukan aktivitasnya. Hanya saja, sebagian besar aktivitasnya dipusatkan di sekitar pantai. ''Sekitar 4.000 nelayan di Rohil ini, tidak melaut lantaran kondisi alam yang kurang menguntungkan. Hanya saja, kondisi itu berlangsung sementara waktu saja. Artinya, kalau kondisi alam sudah stabil, aktivitas kembali normal,'' kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Rohil, Ir H Amrizal.
Selama tidak melaut lantaran kondisi alam di perairan yang kurang menguntungkan, tampaknya telah menjadikan kegiatan kehidupan nelayan sedikit mengalami perubahan yang cukup dratis. Karena, usaha yang dilakoni oleh nelayan terpusatkan di perairan, malah justru beralih ke darat. Kendati demikian, dalam upaya mempertahankan hidup, nelayan terpaksa harus kerja serabutan salah satu diantaranya adalah seperti buruh bongkar muat barang di dermaga pelabuhan serta kuli bangunan. ''Kalau kita tidak melaut, lantas apa yang akan kita dapatkan. Sementara, kebutuhan setiap hari harus dapat kita penuhi. Ya mau tak mau kerja apa saja. Yang penting bisa buat makan dan halal,'' kata Jamal (40) salah seorang nelayan Panipahan, Kecamatan Pasirlimau Kapas.
Kerja serabutan yang sedang dilakoni oleh nelayan tersebut, tampaknya sudah berlangsung lama yang dimulai setelah hasil tangkapan mengalami penurunan yang cukup dratis. Malahan, dana yang dikeluarkan untuk melaut tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan. ''Sebelum ada gelombang air laut, nelayan sudah banyak yang mengeluh. Dimana, hasil tangkapannya sudah menurun secara dratis. Sebagai contoh saja, untuk nelayan tradisional mengeluarkan dana antara Rp 500 ribu hingga satu juta. Hasil yang kita dapatkan ternyata tidak bisa menutupi modal yang kita keluarkan itu. Daripada menganggur, kan lebih baik kita kerja sambilan di pelabuhan. Minimal ya menjadi buruh yang penting kita ada penghasilan untuk memenuhi kebutuhan meskipun itu tidak tetap,'' kata Jamal.
Kondisi seperti itu, tampaknya tidak dinafikan oleh Camat Pasirlimau Kapas, Binhar Jamil. ''Dampak yang timbul akibat nelayan tidak melaut, yakni bisa menyurutkan roda perekonomian. Sebagaimana yang kita maklumi bersama, roda perekonomian di Kecamatan Pasirlimau Kapas, benar-benar menurun sekali lantaran kegiatan di laut tidak ada. Ya bagaimana lagi. Mau menangkap ikan, kondisi alam sudah tidak menguntungkan. Lagipula, hasil tangkapannya tidak bisa mengembalikan modalnya. Lantaran kebutuhan sehari-hari menjadi tuntutannya, ya nelayan terpaksa bekerja apa yang bisa dikerjakan di darat. Minimal ya yang sebagai buruh?kasar,'' kata Binhar Jamil.
Bekerja di darat yang bersifat serabutan, tampaknya menjadi alternatif pilihan yang terakhir. Dimana, untuk melakukan usaha di bidang pertanian tanaman pangan maupun palawija di sekitar perkarangan rumah maupun lahan yang tersedia, tampaknya tidak memungkinkan. Karena, kondisi air laut cukup tinggi ketimbang daratan yang ada di sejumlah daerah yang ada di Kecamatan Pasirlimau Kapas. ''Kalau di daerah lain, sektor pertanian tanaman pangan maupun lainnya sangat memungkinkan dikembangkan. Kalau di tempat kita khususnya Panipahan, daerahnya rendah. Air asin selalu masuk terutama pasang besar. Sehingga tidak cocok untuk ditanami,'' kata Binhar Jamil. (Sah)
Sumber : http://rokanhilir.go.id/berita.php?go=beritalengkap&id=1767
MUNCULNYA gelombang pasang air laut secara alami yang terjadi di sejumlah daerah pesisir pantai di wilayah Sumatera Barat (Sumbar) dan sekitarnya, tampaknya benar-benar telah memberikan dampak bagi daerah lainnya. Salah satu diantaranya adalah daerah-daerah pesisir pantai yang ada di Kabupaten Rohil. Kendati gelombang pasang air laut di daerah pesisir pantai di wilayah Rohil tidak menimbulkan kerusakan pada bangunan-bangunan fisik, namun di sisi lainnya, keberadaannya justru bisa mengancam keselamatan para nelayan terutama tradisional.
Munculnya gelombang pasang air laut yang melanda di daerah pesisir pantai tersebut setidaknya telah menjadinya kondisi di perairan Rohil kurang menguntungkan bagi nelayan-nelayan. Dimana, angin yang bertiup melintasi di perairan Rohil tersebut cukup kencang yang gilirannya bisa menghasilkan gelombang air laut dengan ketinggian mencapai sekitar dua meter lebih. Mengingat fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki nelayan Rohil masih sangat terbatas terlebih tradisional, gilirannya memilih tidak turun ke laut untuk sementara waktu. ''Kondisi anginya kencang sekali. Angin itu datang secara tiba-tiba saja,'' kata Kho Peng (44) salah seorang nelayan Bagansiapi-api.
Mengingat kondisi perairan yang kurang menguntungkan, menyebabkan para nelayan yang berada di sejumlah daerah pesisir pantai seperti di Kecamatan Bangko, Sinaboi, Kubu dan Pasirlimau Kapas terpaksa menghentikan aktivitasnya untuk sementara waktu. Kendati demikian, ada sebagian nelayan-nelayan tradisional yang masih melakukan aktivitasnya. Hanya saja, sebagian besar aktivitasnya dipusatkan di sekitar pantai. ''Sekitar 4.000 nelayan di Rohil ini, tidak melaut lantaran kondisi alam yang kurang menguntungkan. Hanya saja, kondisi itu berlangsung sementara waktu saja. Artinya, kalau kondisi alam sudah stabil, aktivitas kembali normal,'' kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Rohil, Ir H Amrizal.
Selama tidak melaut lantaran kondisi alam di perairan yang kurang menguntungkan, tampaknya telah menjadikan kegiatan kehidupan nelayan sedikit mengalami perubahan yang cukup dratis. Karena, usaha yang dilakoni oleh nelayan terpusatkan di perairan, malah justru beralih ke darat. Kendati demikian, dalam upaya mempertahankan hidup, nelayan terpaksa harus kerja serabutan salah satu diantaranya adalah seperti buruh bongkar muat barang di dermaga pelabuhan serta kuli bangunan. ''Kalau kita tidak melaut, lantas apa yang akan kita dapatkan. Sementara, kebutuhan setiap hari harus dapat kita penuhi. Ya mau tak mau kerja apa saja. Yang penting bisa buat makan dan halal,'' kata Jamal (40) salah seorang nelayan Panipahan, Kecamatan Pasirlimau Kapas.
Kerja serabutan yang sedang dilakoni oleh nelayan tersebut, tampaknya sudah berlangsung lama yang dimulai setelah hasil tangkapan mengalami penurunan yang cukup dratis. Malahan, dana yang dikeluarkan untuk melaut tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan. ''Sebelum ada gelombang air laut, nelayan sudah banyak yang mengeluh. Dimana, hasil tangkapannya sudah menurun secara dratis. Sebagai contoh saja, untuk nelayan tradisional mengeluarkan dana antara Rp 500 ribu hingga satu juta. Hasil yang kita dapatkan ternyata tidak bisa menutupi modal yang kita keluarkan itu. Daripada menganggur, kan lebih baik kita kerja sambilan di pelabuhan. Minimal ya menjadi buruh yang penting kita ada penghasilan untuk memenuhi kebutuhan meskipun itu tidak tetap,'' kata Jamal.
Kondisi seperti itu, tampaknya tidak dinafikan oleh Camat Pasirlimau Kapas, Binhar Jamil. ''Dampak yang timbul akibat nelayan tidak melaut, yakni bisa menyurutkan roda perekonomian. Sebagaimana yang kita maklumi bersama, roda perekonomian di Kecamatan Pasirlimau Kapas, benar-benar menurun sekali lantaran kegiatan di laut tidak ada. Ya bagaimana lagi. Mau menangkap ikan, kondisi alam sudah tidak menguntungkan. Lagipula, hasil tangkapannya tidak bisa mengembalikan modalnya. Lantaran kebutuhan sehari-hari menjadi tuntutannya, ya nelayan terpaksa bekerja apa yang bisa dikerjakan di darat. Minimal ya yang sebagai buruh?kasar,'' kata Binhar Jamil.
Bekerja di darat yang bersifat serabutan, tampaknya menjadi alternatif pilihan yang terakhir. Dimana, untuk melakukan usaha di bidang pertanian tanaman pangan maupun palawija di sekitar perkarangan rumah maupun lahan yang tersedia, tampaknya tidak memungkinkan. Karena, kondisi air laut cukup tinggi ketimbang daratan yang ada di sejumlah daerah yang ada di Kecamatan Pasirlimau Kapas. ''Kalau di daerah lain, sektor pertanian tanaman pangan maupun lainnya sangat memungkinkan dikembangkan. Kalau di tempat kita khususnya Panipahan, daerahnya rendah. Air asin selalu masuk terutama pasang besar. Sehingga tidak cocok untuk ditanami,'' kata Binhar Jamil. (Sah)
0 komentar:
Posting Komentar