Menyiasati Buramnya Nasib Masyarakat Pesisir

Tanggal : 3 Mei 2007
Sumber : http://gp-ansor.org/?p=1957


Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pesisir adalah lagu lama yang tak dapat dielakkan disepanjang sejarah berdirinya republik Indonesia hingga bergulirnya era reformasi, rintihan pilu masyarakat pesisir tidak jua kunjung reda. Semestinya bangsa ini berbangga diri memiliki masyarakat yang rela mencurahkan hidup dan matinya untuk mengelola sumber daya kemaritiman. Mengingat pembangunan kemaritiman bagi bangsa ini merupakan mudal besar dan peluang lebar untuk menuju persaingan ekonomi global. Dengan memberdayakan masyarakat pesisir dari kemiskinan dan keterbelakangan adalah langkah yang sangat mendasar dalam tahap awal pembangunan kemaritiman.


Namun, pada kenyataannya langkah tersebut belum menunjukkan sinyal yang pasti. Kurangnya akses pendidikan dan kesehatan bagi masyarkat pesisir adalah suatu pertanda bahwa nasib mereka masih berada dalam ketidak jelasan, sehingga akibatnya sumber daya masyarakat (SDM) yang mereka miliki sangat minim dalam mengelola kekayaan laut yang melimpah. Bukannya mereka tidak memiliki usaha yang keras dan keinginan yang gigih dalam memajukan sosial-ekonominya. Tapi, karena keterbatasan pendidikan, informasi dan teknologi yang membuat mereka harus menerima apa adanya.


Dari sisnilah pentingnya perhatian berbagai pihak, baik itu konsultan pemberdayaan, aktivis LSM, peneliti, politisi, dan khususnya para penentu kebijakan untuk segera menguak nasib buram masyarakat pesisisir. Sebab, di akui atau pun tidak keterpurukan masyarakat pesisir kurang begitu diwacanakan atau dimunculkan kepermukaan, entah karena letak giografisnya yang terisolir, atau karena tertutup oleh permasalahan-permaalahan aktual yang bersifat sementara, sehingga berbagai pihak melupakan masyarakat yang terpinggirkan; masyarakat yang telah lama menahan sakit berkepanjangan.


Oleh sebab itulah Kusnadi dan kawan-kawan dalam buku ini melukiskan kepedihan mayarakat pesisir yang diombang-ambing keadaan bangsa yang tidak menentu, di mana pada kenyataannya mereka adalah korban dari kebusukan pikir para pemimpin, hingga masyarakat pesisir harus menderita dalam waktu yang berkepanjangan. Seperti dalam contoh yang diuraikan Kusnadi tentang masyarakat pesisir Paseban, kecamatan kencong, di mana masyarakatnya memiliki keinginan besar untuk terus mengembangkan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi wilayahnya, namun untuk mewujudkan keinginan tersebut terdapat berbagai hambatan besar yang dicipciptakan dari kesalahan sejarah. Jadi seperti masyarakat pesisir Paseban saat ini tidak berposisi sebagai penerima warisan, melainkan bagaimana mereka mencipta dan memberikan warisan untuk anak cucu mereka kelak, seperti pembuatan jalan raya, fasilitas ekonomi perikanan, fasilitas umum-sosial, dan seterusnya.


Realitas seperti ini tidak hanya terjadi di wilayah Paseban, tapi hal yang sama juga banyak terjadi dipelbagai wilayah pesisir lainnya. Kelemahan-kelemahan tersebut biasanya terletak pada terbatasnya sarana dan prasarana ekonomi, rendahnya kualitas SDM, teknologi penangkapan ikan yang terbatas kapasitasnya, akses mudal dan pasar produk ekonomi lokal yang terbatas, tidak adanya kelembagaan sosial-ekomi yang dapat membangun masyarakat dan belum adanya komitmen pembangunan kawasan pesisir secara terpadu (hal. 3).


Strategi


Berangkat dari berbagai kelemahan masyarak pesisir itulah, Kusnadi menekankan perlu adanya tujuan program pemberdayaan yang lebih menitik-beratkan pada upaya memperkuat kedudukan dan fungsi kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat pesisir untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan. Adapun ruang lingkupnya antara lain, (1) memitakan sumber daya pembangunan wilayah yang dapat dijadikan basis data perencanaan kebijakan pembanguanan dan investai ekonomi, (2) meningkatkan kemampuan manajemen organisasi dan kualitas wawasan para pengurusnya, (3) mengembangkan produk unggulan yang berbasis pada potensi sumber daya lokal, seperti terasi, VOC ( Virgin Coconut Oil) yang higienis dan benilai jual tinggi, (4) melaksanakan publikasi yang terencana dan tersturktur untuk masyarakat luas, khususnya para pemangku kepentingan (stakeholders), sebagai sarana menjalin kerjasama dengan institusi atau lembaga-lembaga lain dalam rangka menggalang potensi sumber daya kolektif dalam membangun masyarakat pesisir.


Adapun fungsi dan pentingnya kelembagaan sosial-ekonomi dalam pembangunan masyarakat pesisir adalah, sebagai wadah penampung harapan dan pengelola aspirasi kepentingan pebangunan warga; menggalang seluruh potensi sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat, sehingga kemampuan kolektif, sumber daya, dan akses masyarakat meningkat; memperkuat solidaritas dan kohesivitas, sehingga kemampuan gotong royong masyarakat meningkat; memperbesar nilai tawar (bergaining position) dan; menumbuhkan tanggung jawab kolektif masyarakat atas pembangunan yang direncanakan.


Dari sekelumit tentang strategi pemberdayaan masyarakat pesisir yang ditawarkan Kusnadi kiranya perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, khususnya pemerintah. Agar dalam menerapkan berbagai kebijakan, pemerintah terlebih dulu menggunakan pendengaran dengan sebaik-baiknya, bahwa disetiap bibir pantai (masyarakat pesisir) ada tangisan pilu yang tak bersuara, juga tidak ada yang menyuarakan. Akibat luka yang berkepanjangan, suara mereka hilang ditelan riuh-rendahnya gelobang bangsa yang tak berkesudahan. Sebab itulah buku ini akan menjadi penting bagi siapa yang berminat terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir, atau paling tidak memiliki rasa peduli terhadap nasib buram masyarakat nelayan yang hingga saat ini masih terkatung-katung dalam ketidak pastian. (IC)


0 komentar: