Tanggal : 21 November 2007 Sumber : http://www.suara-daerahonline.com/rubrik_daerah2.php?id=312 |
|
16/11/07 - Siaran Pers: Utama |
DKP SERTIPIKASI HAK ATAS TANAH NELAYAN
Meningkatkan Capacity Building Masyarakat Papua
Tanggal : 20 Nopember 2007
Sumber : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=314421&kat_id=443
Papua merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki kekayaan alam luar biasa, khususnya bahan tambang. Di pulau ini beroperasi sejumlah perusahaan tambang raksasa asing yang melakukan eksplorasi. Sayangnya, kekayaan alam tersebut belum berimbas pada kesejahteraan masyarakat di sana.
Yang bisa kita saksikan, kemiskinan dan keterbelakangan masih mengungkung masyarakat Papua. Menurut data BPS, tingkat kemiskinan di Papua mencapai lebih 40 persen. Jumlah ini lebih tinggi dari angka nasional yang mencapai 18 persen. Sangat ironis.
Melihat hal tersebut, berbagai pihak kini menaruh perhatian serius terhadap kondisi masyarakat di pulau ujung timur Indonesia itu. Sejumlah program pun diluncurkan untuk memberdayakan masyarakat Papua. Salah satu program yang sedang dilakukan saat ini adalah People Center Development Programme (PDP). Program ini dilaksanakan UNDP Indonesai bersama para mitra strategis, yaitu Pemda provinsi Papua dan Papua Barat, organisasi donor, serta organisasi masyarakat sipil seperti LSM.
Project Officer PDP, Alaysius Wiratmo, kepada Republika mengungkapkan, program ini dilakukan di enam Kabupaten Papua dan dua kabupaten di Papua Barat. Masing-masing kabupaten terdiri dari dua kecamatan atau distrik.
Mereka adalah Kecamatan Poom and Yapen Utara (Kabupaten Yapen); Pantai Timur dan Mamberamo Hulu (Kabupaten Sarmi); Kuala Kencana dan Mimika Timur Tengah (Kabupaten Mimika); Dekai dan Ninia (Kabupaten Yahukimo). Selain itu Tiom dan Bolakme (Kabupaten Jayawijaya); Kouh dan Mandobo (Kabupaten Boven Digoel); Waisay dan Teluk Manyalibit (Kabupaten Raja Ampat); serta Kokas dan Fak-fak Tengah (Kabupaten Fak-fak).
Tujuan utama program ini adalah peningkatan capacity building Pemda dan organisasi masyarakat sipil di Papua untuk pengentasan kemiskinan pada umumnya dan pencapaian Millenium Development Goals (MDG's). "PDP merupakan program yang berbasis masyarakat untuk pencapaian MDG's. Ada empat fokus utama yang dilakukan dalam program ini," ujarnya.
Menurut Wira, panggilan akrabnya, fokus utama tersebut adalah tentang kebijakan dan data-data pencapaian MDG's. Saat ini sudah mulai dilakukan sosialisasi tentang MDG's di Papua. Diharapkan Pemda dan organisasi masyarakat mengetahui tentang apa itu MDG's dan pencapaiannya.
Di sini juga ada data tentang kesehatan, seperti angka kematian ibu dan bayi, kasus malaria, dan kemiskinan. Data-data itu kini mulai diperbaharui. "Fokus kedua adalah menciptakan channel pelayanan kepada masyarakat yang berhubungan dengan pencapaian MDG's. Misalnya tentang perbaikan gizi dan air bersih. Di sini ada kerjasama yang erat antara Pemda di Papua dengan organisasi masyarakat seperti LSM," katanya menambahkan.
Fokus utama berikutnya, demikian jelas Wira, adalah monitoring dan evaluasi program-program untuk mencapai MDG's dan koordinasi diantara para pelaku pembangunan di Papua, para mitra, organisasi masyarakat, dan pemerintah pusat.
"Empat fokus utama itu tujuan akhirnya adalah meningkatkan capacity building Pemda dan organisasi masyarakat Papua untuk mengatasi kemiskinan dan mencapai poin-poin MDG's," terang Wira. Tahun 2007 ini, merupakan tahun pertama pelaksanaan program PDP di Papua. Diharapkan pada 2010 program ini bisa berakhir.
Pada tahun pertama ini, ujar Wira, ada beberapa kemajuan yang telah dicapai. Antara lain upgrade dan publikasi data sudah dilakukan. Sebanyak 12 organisasi kemasyarakatan juga sudah bergabung dalam program ini di berbagai bidang (kesehatan, pendidikan, dan sebagainya). Selain itu, kerangka kebijakan untuk monitoring dan evaluasi program juga sudah dikembangkan.
"Soal koordinasi juga sudah mulai dikembangkan.Misalnya lembaga terkait di sana sudah mulai satu atap sehingga memudahkan koordinasi. Juga koordinasi dalam hal pelaksanaan program untuk mengatasi kemiskinan antara Pemda Papua dengan pemerintah pusat," papar Wira.
Sampai saat ini, masih katanya, penerimaan dan animo masyarakat Papua terhadap program ini cukup bagus. Ini dibuktikan dengan keterlibatan mereka dalam pelaksanaan program.
"Tidak ada resistensi dari masyarakat. Tingkat penerimaan mereka juga cukup tinggi. Diharapkan setelah program selesai pada 2010, capacity building Pemda dan organisasi masyarakat di Papua bisa meningkat pesat. Sehingga angka kemiskinan bisa dikurangi dan MDG's bisa tercapai," kata Wira.
DKP DAN BPN KERJASAMA PENGEMBANGAN USAHA EKONOMI BAGI NELAYAN
Sumber : http://www.depkominfo.go.id/portal/index.php?act=detail&mod=berita&view=1&id=
BRT071115153601
Jakarta,(Kominfo-Newsroom) - Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengembangkan usaha-usaha ekonomi produktif bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir khsusunya di lima wilayah.
Melalui program sertifikasi tersebut diharapkan akses permodalan bagi nelayan akan lebih mudah.
“Sesuai hasil kerjasama dengan DKP, kami akan melakukan proses percepatan sertifikasi tanah bagi 1.500 nelayan dan masyarakat pesisir hingga akhir tahun, di lima propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung dan Nusa Tenggara Barat, “ kata Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto usai penandatanganan MoU naskah kesepakatan bersama antara DKP dengan BPN, di Gedung DKP Jakarta, Kamis (15/11).
Saat ini masih banyak aset nelayan yang mati karena tidak tersertifikasi, dan BPN bersama DKP akan melegalkan sertifikat itu, jadi mereka bisa mengembangkan usahanya. Pihaknya juga mengidentifikasi dan kemudian memproses percepatan penetapanya.
Nota Kesepahaman ini dasarnya adalah suatu pemikiran dimana berupaya pemerintah melakukan revitalisasi pertanian, perikanan, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurutnya, saat ini 37,09 persen penduduk Indonesia miskin, dan itu kurang lebih 16 kali penduduk Singapura, bahkan 66 persen dari penduduk miskin ini adalah penduduk pedesaan, termasuk didalamnya adalah nelayan, masyarakat pesisir, dan pembudidaya perikanan.
“Dari 66 persen penduduk miskin di pedesaan, ternyata 90 persen diantaranya bekerja tetapi tetap miskin. Mereka sudah bekerja begitu keras tetapi ternyata tetap miskin, yang paling menonjol disitu adalah karena ternyata mereka tidak mempunyai akses yang nyata terhadap sumber-sumber ekonomi, terhadap tanah, terhadap modal, terhadap teknologi, “ujarnya.
Sementara mengenai akses tanah yang juga mempunyai implikasi terhadap akses-akses yang lain ada dua kelompok yakni, kelompok pertama, sebenarnya punya tanah, tetapi aset mati, bukan aset hidup yang bisa dimanfaatkan, karena tidak ada kejelasan status hukumnya yang bisa dimungkinkan tanah-tanah ini yang bisa digulirkan di dalam konteks ekonomi, dan yang kedua, memang semakin besar masyarakat Indonesia yang tidak memiliki tanah.
Dalam kerangka itu, BPN atas persetujuan Presiden sudah melakukan dua hal besar, yaitu melakukan reformasi agraria yang akan segera dilaunching, dimana pemerintah akan mengalokasikan tanah yang begitu besar untuk kepentingan masyarakat sekaligus mendapat aset-aset masyarakat, sekaligus memberikan akses kepada masyarakat untuk kehidupan ekonomi dan politiknya.
Sekarang ini BPN fokus secara khusus menggunakan anggaran publik dari APBN maupun APBD untuk melakukan percepatan sertifikasi tanah masyarakat, terutama masyarakat miskin di pedesaan, pesisir, dan nelayan.
Dari periode sebelumnya, target yang dikembangkan oleh pemerintah sebesar 88.000 bidang tanah dan mulai tahun 2007 ini BPN plot menjadi 1,3 juta bidang tanah, sementara untuk tahun 2008 menjadi 1,52 juta di lima wilayah, yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat
“Kami harap jajaran BPN bisa bekerjasama dengan DKP, apakah masyarakat pesisir dan nelayan bisa ikut dalam program kami ini. Dan inii seharusnya banyak masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir yang seharusnya bisa masuk, “ kata Joyo.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengungkapkan, adalah sangat ironis bila di tengah melimpahnya sumber daya kelautan dan perikanan, tapi masih terdapat masyarakat yang tidak mampu memberdayakan dirinya untuk meraih kesejahteraan hidup yang baik.
“Kita berharap BPN segera mengeluarkan sertifikat, agar nelayan dapat punya akses untuk mendapatkan bantuan permodalan, “ kata Freddy.
Ini adalah langkah strategis yang bagus yang dapat di kerjakan bersama-sama dan dengan kerjasama bahu membahu ini bisa mengatasinya. “Masyarakat miskin kita di daerah terpencil belum tersentu dan terutama yang populasi terbesar di Jawa. Ini juga menjadi masalah tersendiri, pada saat kita ingin membantu di Banten mendirikan perumahan nelayan, pada saat di pelabuhan, itu tanah milik nelayan jadi masalah karena tidak ada sertifikat, “ ujar Freddy.
Oleh karena itu, DKP optimis hingga akhir tahun ini mampuh mensertifiaksi 1,3 juta tanah nelayan di lima provinsin tersebut, dengan harapan tanah permodalan bagi nelayan akan lebih mudah.
“Data DKP saat ini jumlah nelayan dan masyarakat pesisir di dalam negeri mencapai 10 juta orang. Saat ini, DKP tercatat baru mampu mensertifikasi sebanyak 3 juta sertifikat tanah milik nelayan dan masyarakat pesisir, “ jelasnya.
Ranperda Pembangunan Kawasan Pesisir Pantai Akhir 2007 Disahkan
Sumber : http://hariansib.com/2007/09/10/ranperda-pembangunan-kawasan-pesisir-pantai-akhir-2007-disahkan/
Medan (SIB)
Guna pemerataan pembangunan di Sumatera Utara, Pemprovsu saat ini fokus dengan pembangunan di kawasan pesisir. Bahkan Pemprovsu berkomitmen untuk membangun dan mengembangkan potensi kawasan pesisir dan pulau-pulau terluar di Sumut.
Untuk melakukan percepatan pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau terluar di Sumut, perlu dibuat Ranperda (Rancangan peraturan Daerah) sebagai payung hukum. Kini Ranperda tersebut telah digodok di Biro Hukum Setdaprovsu untuk selanjutnya dibahas di DPRD Sumut. Dan diharapkan tahun ini Perda mengenai wilayah pesisir pantai sudah disahkan.
“Pemprovsu sudah menyusun master plan Agromarinepolitan yang dituangkan dalam draft Ranperda tentang Pembangunan Kawasan Pesisir Pantai dan Pulau-pulau Terluar yang diharapkan akhir 2007 sudah disahkan menjadi Perda”, jelas Kepala Bappedasu Drs RE Nainggolan MM didampingi Kasubbid Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Sumut Ir Mulyadi Simatupang MSi kepada wartawan, akhir pekan lalu.
Menurutnya, penduduk miskin di pesisir di timur dan barat Sumatera Utara (terdiri dari 16 daerah), ternyata jauh lebih besar dibanding dataran tinggi yang meliputi 10 kabupaten/kota lainnya di Sumut. Kemiskinan di kawasan pesisir Sumut ini akibat tingkat pendidikan masyarakatnya masih kalah rendah dari pendidikan masyarakat yang berada di dataran tinggi.
Dijelaskan, Presiden RI memang sudah mengeluarkan UU RI Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Salah satu amanat dalam UU itu, kata Nainggolan adalah, kepada daerah diminta membuat dokumen rencana pengelolaan yang terdiri dari renstra dan rencana zonasi, rencana pengelolaan dan lainnya. Namun, khusus di wilayah Indonesia bagian barat UU ini belum diterapkan, sedangkan untuk Indonesia bagian Timur UU ini sudah berjalan.
Pada tanggal 29 Agustus hingga 1 September 2007 lalu, Pemerintah pusat melalui Bakosurtanal mengundang Pemprovsu untuk menggelar pameran di Jakarta Convention Centre yang dibuka oleh Menristek RI, Kusmayanto Kadiman. Pameran yang dilaksanakan Pemerintah Pusat ini hanya diikuti Sumut, Sulawesi Selatan dan Gorontalo dan perusahaan swasta lainnya. Selain itu, juga diundang peserta dari Thailand, Korea Selatan, Jepang dan Selandia Baru.
Dalam kesempatan itu, Pemprovsu memperkenalkan kegiatan dalam rangka sumber daya pesisir di Sumut seperti, program agromarine dan MCRMP (Marine and Coastal Resourses Management Project). Proyek MCRMP ini sebenarnya dilaksanakan di 15 provinsi di Indonesia dan 43 kabupaten/kota di Indonesia. Di Sumut, kegiatan MCRMP ini meliputi 3 kabupaten yakni, Asahan, Langkat dan Deliserdang sudah berjalan sejak tahun 2003 lalu.
Tujuan dari keseluruhan proyek MCRMP ini adalah untuk meningkatkan pengelolaan berkelanjutan sumber daya laut dan pesisir untuk melestarikan dan meningkatkan keanekaragaman hayati serta untuk melindungi lingkungan hidup dalam kerangka otonomi daerah. Sedangkan program agromarine tujuannya adalah lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir (16 daerah/kawasan pesisir) di Sumut yang sejak tahun 2006 lalu didah digalakkan.
Rencana membangun kawasan pesisir di Sumut sudah digalakkan melalui program agromarinepolitan, namun hanya sebatas bersifat instant, karena belum memiliki payung hukum. Diharapkan payung hukumnya akan disyahkan tahun ini, agar program pembangunan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Perlu Dukungan
Pada kesempatan itu Nainggolan menambahkan, selain mengutamakan pembenahan bidang pendidikan dan kesehatan, pemantapan rencana pembangunan kawasan pesisir Sumut melalui program agromarinepolitan juga perlu dukungan 16 kabupaten dan kota dimaksud.
Menurutnya, dukungan itu antara lain mempercepat pembuatan detail plan masing-masing wilayah kabupaten dan kota. Karena saat ini Pemprovsu sudah menyusun master plan agromarinepolitan yang dituangkan dalam draf Ranperda tentang Pembangunan Kawasan Pesisir Pantai dan Pulau-pulau Terluar yang diharapkan akhir 2007 sudah disahkan menjadi perda.
Karenanya, kata Nainggolan implementasi keberhasilan program agromarinepolitan yang menjadi tanggungjawab bersama 16 kabupaten dan kota, serta provinsi bisa memadukan antara perda-perda yang dimiliki daerah dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP). Karena tingkat pendidikan masyarakat pesisir rendah, maka pemanfaatan kekayaan SDA yang dimiliki menjadi tidak maksimal. “Sebagai contoh. Dari 140 juta penduduk Indonesia yang bermukim di wilayah pesisir, 80 persen di antaranya hidup dalam kemiskinan. Oleh sebab itu, membenahi pendidikan harus menjadi kata kunci dalam pembangunan kemasyarakatan Wilayah Pesisir Sumut,” tegasnya. (M3/m)
DKP dan Kemiskinan Nelayan
Tanggal : Rabu, 07 Nopember 2007
Sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/07/opi04.htm
SERING ada pertanyayaan menggelitik, bagaimana peran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sejak didirikan delapan tahun lalu oleh Presiden Abdurrahman Wahid? Sebab, jika dilihat sepintas, nasib nelayan kecil dan masyarakat pesisir tetap saja belum sejahtera. Bahkan sebagian besar masuk kategori miskin.
DKP yang resmi berdiri 26 Oktober 1999 memiliki misi, antara lain meningkatkan kesejahteraan nelayan, serta pembudi daya ikan dan masyarakat pesisir. Departemen baru itu juga akan meningkatkan peran sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.
Menyejahterakan nelayan dan memerdekaan masyarakat pesisir dari kemiskinan bukanlah semudah membalikkan tangan. Negeri ini sejak memproklamasikan kemerdekaan juga berupaya menyejahterakan rakyatnya. Toh, penduduk miskin jumlahnya masih saja naik-turun. Pada 1996 ada 22,5 juta orang, lalu naik menjadi 49,5 juta (1998). Hantaman krisis multidemensi yang dampaknya masih terasa, serta terjadinya bencana alam dan lainnya, menambah jumlah warga papa menjadi 36,1 juta orang (data BPS).
Dari warga yang masuk kategori miskin itu, di antaranya adalah nelayan dan kerabatnya yang berdiam di pesisir. Rasio mereka (nelayan dan keluarganya) bahkan ada yang menyebut mencapai 60% dari total penduduk miskin.
Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multidimensi, ditandai oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar mereka. Seperti kebutuhan sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi, dan permodalan, serta budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat nelayan semakin lemah.
Pada saat yang sama, kebijakan pemerintah belum seluruhnya menyentuh dan mampu memperbaiki kualitas hidup masyarakat pesisir, sebagai salah satu pemangku kepentingan di wilayah tersebut. Data pada Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) DKP menyebutkan latar belakang keterbatasan nelayan dan warga psisir, yakni tingkat pendidikannya rata-rata rendah. Bahkan sebagian tidak berpendidikan, sebagian besar waktunya dihabiskan di tengah laut, pada umumnya konsumtif, dan tidak mempunyai budaya menabung. Mereka sekadar hidup tanpa visi.
Program Khusus
Untuk mengentas kemiskinan, berbagai program telah dilakukan pemerintah. Misalnya Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil dan Nelayan (P4K), dan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program-program tersebut bersifat umum dengan sasaran masyarakat miskin secara keseluruhan, kecuali Program P4K, yang dalam pelaksanaannya juga sedikit sekali yang dapat menyentuh nelayan buruh.
Program yang agak khusus dalam rangka penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan DKP adalah Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program tersebut tidak hanya untuk nelayan, tapi juga masyarakat atau keluarga nelayan di pesisir.
Secara umum, berdasarkan evaluasi yang pernah dilakukan, pelaksanaan PEMP menunjukkan hasil cukup menggembirakan. Dilaporkan adanya peningkatan pendapatan nelayan peserta program. Selain itu terjadi penguatan kelembagaan nelayan. Lembada swadaya masyarakat (LSM) pemerhati pemberdayaan nelayan bermunculan. Di kalangan nelayan juga ada budaya hemat.
Dari warga yang masuk kategori miskin itu, di antaranya adalah nelayan dan kerabatnya yang berdiam di pesisir. Rasio mereka (nelayan dan keluarganya) bahkan ada yang menyebut mencapai 60% dari total penduduk miskin.
DKP telah mengeluarkan daftar Potensi Sumber Daya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB). Potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia sebesar 6,25 juta ton per tahun, terdiri atas 4,4 juta ton per tahun berasal dari perairan teritorial dan perairan wilayah, serta 1,85 juta ton per tahun dari perairan ZEEI. Namun demikian, karena manajemen perikanan menganut azas kehatian-hatian (precautionary approach), maka JTB ditetapkan sebesar 80% dari potensi tersebut.
Di lain pihak, jumlah nelayan Indonesia diperkirakan sekitar empat juta orang. Dengan berasumsi bahwa potensi ikan di perairan Indonesia sebesar 6,40 juta ton per tahun dan JTB sebesar 5,12 juta ton per tahun, maka produktivitas nelayan di Indonesia diperkirakan rata-rata sebesar 1,35 ton per orang per tahun atau ekuivalen 6,63 kg per orang per hari (lama melaut 200 hari dalam setahun).
Rendahnya produktivitas nelayan tersebut menyebabkan persaingan mendapatkan hasil tangkapan semakin lama semakin ketat, karena rezim pengelolaan sumber daya ikan bersifat terbuka (open access).
Dari berbagai pengamatan di sejumlah sentra nelayan dapat digambarkan secara umum, kemiskinan terjadi pada usaha perikanan rakyat. Hal itu biasanya berkait dengan adanya perbedaan upaya tangkap (effort), yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan teknologi penangkapan yang digunakan. Pada usaha perikanan rakyat, ukuran kapalnya lebih kecil dan teknologi penangkapan yang diterapkan sederhana.
Produktivitas yang rendah, juga mengakibatkan nilai produksi yang dihasilkan sedikit (jika diasumsikan bahwa harga adalah sama), sehingga pendapatan yang diterima nelayan juga rendah, baik melalui sistem bagi hasil maupun usaha yang dijalankan sendiri.
Nelayan pada umumnya tidak memiliki waktu untuk melakukan kegiatan atau usaha lain seperti pekerja di darat. Ironisnya, jika hasil tangkapan sedikit, terutama saat masa paceklik, nelayan tidak punya usaha lain.
Dalam kaitannya dengan mekanisme pasar, posisi tawar nelayan lemah. Untuk membeli kebutuhan peralatan dan perbekalan, mereka harus membeli dengan harga pasar. Dari sisi penjualan hasil tangkapan, harga jual ikan juga lebih banyak ditentukan oleh bakul. Nelayan juga dihadapkan pada kenyataan pahit saat pembagian keuntungan dengan pemilik unit penangkapan.
Sementara itu kelembagaan yang memperjuangkan nasib nelayan, banyak yang belum benar-benar menyentuh. Bentuk kelembagaan yang ada di pedesaan antara lain kelompok nelayan berdasarkan jenis alat tangkap, kelompok usaha bersama (KUB) berdasarkan kesamaan jenis usaha, koperasi unit desa (KUD) mina, dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).
Mempertimbangkan kenyataan bahwa sebagian besar armada perikanan berada di daerah padat penduduk, seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera, sehingga menyebabkan padat tangkap yang mengarah kepada over fishing, perlu dilakunan relokasi.
Dengan transmigrasi nelayan ke daerah perairan yang masih surplus, selain meningkatkan kesejahteraan, juga mengurangi konflik antarnelayan yang kerap terjadi.
DKP perlu lebih sering memberi bantuan dan bimbingan teknis. Dengan bantuan unit penangkapan, maka pendapatan mereka tidak lagi bergantung kepada bagi hasil yang diperoleh dari pemilik unit penangkapan, tapi juga langsung dari besarnya nilai penjualan hasil tangkapan yang diperolehnya.
Pemberian bantuan unit penangkapan juga harus disertai pendampingan manajemen. Itu mengingat selama ini nelayan terbiasa bertindak sebagai pelaksana atau operator saja. Segala kebutuhan yang harus dipersiapkan untuk dapat berangkat ke laut tidak pernah terpikirkan, karena biasanya disediakan oleh pemilik unit penangkapan.
Usaha Alternatif
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan adalah dengan mengembangkan usaha alternatif, misalnya di bidang budi daya dan pengolahan ikan. Dengan adanya usaha alternatif, diharapkan nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan, sehingga kebergantungan terhadap hasil tangkapan ikan dapat dikurangi, dan keinginan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya juga dapat ditekan.
Kembali kepada pertanyaan di awal tulisan ini. Sebenarnya DKP telah berbuat banyak. Bukan hanya kepada mereka yang melaut saja, tetapi masyarakat pesisir pun kini banyak yang lebih baik tingkat hidupnya. Di Lombok, misalnya, ada warga pesisir penghasil rumput laut untuk ekspor. Di daerah lain ada budi daya ikan tuna atau udang lobster.
Jika warga Karanganyar, Surakarta, berbisnis tanaman Anthorium, maka warga Sukabumi dan Subang, kini sedang gandrung kepada budi daya ikan nila. Mereka selain membesarkan juga mampu menjual untuk ekspor. Belum lagi industri dari hasil laut yang sedang digalakkan.
Melalui berbagai kebijakannya, DKP mampu meningkatkan hasil perikanan budi daya, perikanan tangkap, pengolahan dan pemasaran, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan, serta riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Begitu pula dalam pengembangan sumber daya manusia, karantina, pengawasan pembangunan dan tata pemerintahan yang baik, serta program penunjang lainnya untuk menunjang upaya pengurangan kemiskinan (pro-poor), penciptaan lapangan kerja (pro-job), mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth), dan mengembangkan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan (pro-business).
Dengan tata kelola kepemrintahan yang baik, ke depan menjadikan kelautan dan perikanan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi bukanlah hal mustahil. Laut Indonesia sangat luas, yaitu 5,8 juta km, dan di dalamnya terdapat 17.504 pulau dikelilingi garis pantai sepanjang 95.181 km. Di dalamnya memiliki kekayaan ekosistem yang sangat besar, sehingga menjadikan Indonesia sebagai megabiodiversity terbesar di dunia.(68)
- Wahyu Atmaji, wartawan Suara Merdeka di Jakarta.
Empat UU yang Menggerus Masyarakat Pesisir
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0711/02/opi01.html
Oleh : Muhamad Karim
Masyarakat pesisir secara geografis bermukim di wilayah pesisir, yakni daerah dimana masih dipengaruhi oleh dinamika lautan ke arah darat dan dinamika daratan ke arah lautan. Secara sosio-kultural, masyarakat pesisir sangat bergantung terhadap sumber-sumber ekonomi wilayah pesisir di lautan maupun daratan.
Di lautan mereka bergantung pada sumber daya kelautan seperti ikan, mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Sementara di daratan, mengandalkan sumber daya air, lahan untuk pertanian tanaman pangan, pertambakan, dan permukiman.
Dengan demikian, kedaulatan masyarakat pesisir adalah kedaulatan atas sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut. Sayangnya, kedaulatan itu kini tergerus oleh beberapa peraturan perundangan baik di daratan, perairan pesisir maupun perairan lepas pantai.
Terdapat empat peraturan perundangan yang berlaku di daratan maupun lautan yang menginjak kedaulatan masyarakat pesisir. Di daratan, pertama, UU No. 7 Tahun 2004 yang memprivatisasi sumber daya air di Indonesia.
Pasal-pasal dalam UU SDA memberi Hak Guna Air (HGA) untuk dikuasai pemodal asing (pasal 7, 8 dan 9). Bukankah UU ini menutup akses masyarakat pesisir (petani tambak) untuk mendapatkan “air” guna kegiatan pertambakan udang maupun ikan serta kebutuhan hidup sehari-hari? Tidak hanya itu, kegiatan pertanian di wilayah pesisir semacam persawahan pasang surut akan mengalami kesulitan air karena harus membeli dari pengusaha. Padahal sumber daya air merupakan barang publik yang harus dikuasai dan dilindungi oleh negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak (baca: Pasal 33 UUD 1945).
Kedua, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dimana Pasal 22 memberikan Hal Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) selama 80 tahun dan Hak Pakai 70 atas tanah kepada investor (domestik maupun asing) termasuk di wilayah pesisir. Padahal UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 saja hanya memberikan hak-hak semacam ini maksimal 30 tahun.
Akibatnya, lahan-lahan tambak produktif di wilayah pesisir Indonesia yang diperkirakan seluas 500.000 hektare akan dikuasai oleh pemilik modal (kapitalis). Bukankah hal ini merampas hak masyarakat pesisir untuk mengakses sumber daya tanah/lahan di wilayah pesisir?
Pasal Kontroversial
Di lautan, pertama, UU Perikanan No.31 Tahun 2004. Terdapat beberapa pasal kontroversial yang menutup akses masyarakat pesisir, yakni (i) Pasal 29 Ayat 2 yang memberi akses pihak asing menangkap ikan di perairan Indonesia; (ii) Pasal 36 tentang persyaratan kelengkapan pendaftaran kapal.
Pemberlakukan pasal ini telah memakan korban nelayan tradisional di Kabupaten Biak-Numfor yang ditangkap aparat tanpa alasan yang jelas, dan (ii) Pasal 37 tentang ketidakjelasan daerah dan jalur penangkapan ikan.
Ini berpotensi menimbulkan tindakan penyerobotan wilayah penangkapan perikanan pantai (artisanal) oleh kapal ikan asing maupun domestik yang modern. Gelagat konflik tak terhindarkan, bahkan sudah kejadian, antara nelayan Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan baru-baru ini.
Kedua, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Adanya Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22 tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) semakin ”mempergiat” pencabutan hak-hak masyarakat pesisir dalam mengakses sumber daya baik di permukaan laut, badan air maupun di bawah dasar laut.
Tidak ada lagi ruang bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan, petani ikan, pelaku UKMK kelautan dan buruh nelayan melakukan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir. Semua akses sumber daya kelautan praktis akan dikuasai pemilik modal. Hanya merekalah yang mampu memenuhi segala persyaratan yang diatur dalam UU itu. Masyarakat pesisir yang menjadi semakin miskin, hanya bisa menyaksikan eksploitasi dan degradasi sumber daya kelautan dan perikanan serta lingkungan pesisir yang tiada terkendali.
Diberlakukannya peraturan perundangan tersebut memberikan dampak terhadap perekonomian masyarakat pesisir yang dominan miskin. Dampaknya, pertama, akses masyarakat pesisir terhadap sumber daya ikan, air, lahan, hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan mineral di dasar lautan.
Sekalipun Pasal 61 UU Perikanan memberi kebebasan pada nelayan kecil dan Pasal 61 UU PWP3K mengakui hak-hak masyarakat adat, kearifan lokal, namun hal itu hanya ”retorika” semata. Sejatinya masyarakat miskin pesisir ini tidak mungkin dapat bersaing dengan pemilik modal besar.
”Judical Review”
Kedua, implementasi keempat UU ini berpotensi menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) antara pemilik modal dan pejabat berwenang dalam proses perizinan, pengendalian dan pengawasan baik di pusat maupun daerah. Bukan tidak mungkin, para pe-modal yang telah mengeksploitasi sumber daya ekonomi wilayah pesisir secara tidak bertanggung jawab akan dengan mudah menghindar dari hukuman akibat berkolusi dengan pejabat berwenang.
Ketiga, sumber daya ekonomi wilayah pesisir dapat diperjualbelikan dan dikuasai sekaligus dikontrol untuk bidang usaha tertentu, sehingga hanya segelintir pemilik modal yang mengelola dan memanfaatkannya. Sangat mustahil hal ini dapat dilakukan oleh masyarakat miskin di wilayah pesisir.
Keempat, terjadinya eksploitasi berlebihan. Siapa yang menjamin pemilik modal untuk mengontrol eksploitasi sumber daya ekonomi wilayah pesisir sementara sumber daya itu sudah kuasai dan kontrol penuh? Apalagi era otonomi daerah yang memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan pemilik modal baik asing maupun domestik.
Kelima, semakin meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran pada masyarakat pesisir akibat terbatasnya akses terhadap sumber-sumber ekonomi di wilayah ini. Berkembangnya aktivitas usaha ekonomi skala besar berbasiskan sumber daya ekonomi wilayah pesisir belum tentu akan menggunakan tenaga kerja lokal karena keterbatasan tingkat pendidikan dan kualitas SDM.
Kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi wilayah pesisir tidak bisa dirampas begitu saja dengan dalih pengaturan dan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan. Negara wajib melindungi dan mengakui kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut karena amanat konstitusi.
Pemerintah dan DPR wajib melakukan ”judical review” terhadap semua UU di atas karena sumber-sumber ekonomi yang diatur berupa barang publik (public goods) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bukan sebaliknya, mempertahankan semangat neo-liberalisme yang ditunggangi kepentingan asing pada semua peraturan perundangan tersebut. Apapun alasannya kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi di wilayah pesisir harus dipulihkan agar mereka tetap dapat memberdayakan diri dan meningkatkan kesejahteraannya.
Penulis adalah staf pengajar Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) TAZKIYA Bogor. Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Indonesia.
Carlos Dja’afara, Dokter di Pesisir Bengkayang
Sumber : http://nanangsyah.blogspot.com/2007/11/carlos-djaafara-dokter-di-pesisir.html
Pengalaman 15 tahun silam melalui liku-liku pengabdian di Puskesmas Wonggarasi, pedalaman Gorontalo, membuka mata hati Carlos Dja’afara untuk lebih memahami betapa sulitnya masyarakat miskin mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Dia terobsesi memberi pelayanan kesehatan yang memuaskan bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang miskin.
Langkah menuju mimpi itu mulai terbentang saat dokter kelahiran Gorontalo, 21 Maret 1958, ini menerima penugasan sebagai Kepala Puskesmas Sungai Raya di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, pada 1996. Kala itu di Sambas meledak kerusuhan etnis yang banyak merenggut korban jiwa. Awal bertugas, ia nyaris dibunuh saat akan mengevakuasi korban pembantaian.
Selang setahun, kerusuhan etnis mulai bergeser ke wilayah Sungai Duri, Kabupaten Sambas. Kebutuhan tenaga medis di daerah itu semakin mendesak sehingga Carlos kembali dipindahtugaskan mengepalai Puskesmas Sungai Duri. Saat kerusuhan menyurut, pelan-pelan ia membenahi puskesmas itu.
Puskesmas Sungai Duri—setelah pemekaran wilayah Kabupaten Sambas tahun 2003, termasuk Kabupaten Bengkayang—berkembang layaknya rumah sakit mini. Tahun 2004 puskesmas ini berubah status menjadi puskesmas perawatan. Di dalamnya antara lain terdapat pelayanan unit gawat darurat (UGD), rawat inap, poliklinik umum, poliklinik gigi, laboratorium, persalinan, konsultasi kesehatan ibu dan anak, serta obat-obatan.
Buah dari usaha itu, Puskesmas Sungai Duri meraih penghargaan sebagai puskesmas berprestasi hingga tingkat nasional dalam dua tahun terakhir. Bahkan, atas prestasi membenahi puskesmas dengan pelayanan prima, pada tahun 2006 ia meraih penghargaan sebagai dokter teladan tingkat nasional.
"Di puskesmas (Sungai Duri) semua orang dianggap sama, kami tak mengenal miskin atau kaya. Pelayanan kesehatan diberikan cepat dan mengutamakan kepuasan masyarakat, tanpa membebani mereka dengan biaya mahal. Kami cukup puas jika pelayanan kami memuaskan masyarakat," katanya.
Hanya dengan membayar karcis Rp 4.000 di loket pendaftaran, masyarakat bisa menikmati pemeriksaan kesehatan dari dokter puskesmas sekaligus mendapat obat. Biaya itu lebih murah dari harga satu kilogram beras IR 64 kualitas medium di Kalbar.
Sementara untuk beberapa pelayanan kesehatan, masyarakat membayar sesuai dengan Peraturan Daerah Bengkayang Nomor 1 Tahun 2001. Sebagai bentuk transparansi publik, ketentuan tentang biaya itu dipampang pada papan ukuran 1 x 2 meter di loket pendaftaran. Khusus untuk masyarakat miskin, puskesmas tak memungut biaya dari mereka karena sudah dibiayai pemerintah pusat lewat Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Askeskin).
Pelajaran dari Wonggarasi
Carlos paham masyarakat miskin mendambakan pelayanan kesehatan yang baik dan murah. Pemahaman ini mendarah daging sejak ia menjadi pegawai tidak tetap (PTT) di Puskesmas Wonggarasi di pedalaman Gorontalo. Tepatnya kini berada di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah.
Pernah suatu malam ia dimintai tolong memeriksa kesehatan salah satu warga di daerah yang cukup terpencil. Saat menuju ke rumah warga yang meminta tolong, sepeda motornya tak mampu lagi meneruskan perjalanan sebab akses jalan rusak parah. Sepeda motor itu dia titipkan ke rumah warga di sekitar, lalu dia melanjutkan perjalanan dibantu warga menggunakan gerobak sapi. Perjalanan tiga-empat kilometer dengan menggunakan gerobak sapi itu diterangi lampu petromaks.
Pengalaman lain dialaminya saat mengunjungi warga di permukiman transmigrasi. Saat itu hujan turun lebat dan jalan menjadi becek sehingga sepeda motornya terperosok tak bisa meneruskan perjalanan. Melalui handy-talkie yang selalu dia bawa, Carlos meminta pertolongan pekerja perkebunan di sekitar tempat itu.
"Tak lama berselang pekerja perkebunan datang membawa alat berat ’kepiting’, lalu sepeda motor saya dicapit dan dibawa melewati jalan yang becek," ceritanya mengenang.
Pernah suatu ketika ia terpaksa menyeberangi Sungai Wonggarasi yang lebarnya sekitar 8 meter dengan kedalaman sekitar 1 meter. Saat itu belum ada jembatan penyeberangan sehingga ia harus menunggu beberapa warga yang juga akan menyeberang. Dengan bantuan beberapa warga desa, Carlos memanggul sepeda motor dan masuk ke arus sungai yang cukup deras untuk menyeberang.
"Sampai di permukiman warga, saya memeriksa kesehatan mereka dengan baju dan celana basah kuyup. Sibuk memeriksa begitu banyak warga, tanpa terasa baju dan celana saya yang basah sudah mengering," ujarnya tertawa.
"Uniknya, atas pelayanan kesehatan itu warga membayar saya dengan sekarung mangga dan beberapa ekor ayam. Pemberian itu tetap saya bawa sebagai penghargaan terhadap mereka," tambahnya.
Pengalaman cukup mendebarkan dialaminya seminggu setelah ia dipindahtugaskan ke Kabupaten Sambas. Carlos bersama beberapa petugas medis yang akan mengevakuasi jenazah korban kerusuhan etnis sempat dicegat sekelompok massa bersenjata tajam yang mengira dia mata-mata yang akan melaporkan mereka kepada polisi. Setelah dijelaskan bahwa ia petugas kesehatan, kelompok massa itu bersedia melepasnya.
Begitu banyak pelajaran yang dipetik dari pengalaman hidup membuat Carlos tak mudah menyerah dalam memperjuangkan obsesi memberi pelayanan kesehatan yang murah, cepat, dan memuaskan. Itu dilakukannya, antara lain, dengan membangun etos kerja baru di kalangan pegawai puskesmas, merombak pola kerja yang lebih terukur, membangun bersama sistem penghargaan, serta melengkapi sarana prasarana puskesmas.
Carlos antara lain berusaha membuat pembagian kerja yang seimbang untuk semua pegawai dan ada standar prosedur operasi yang jelas pada setiap unit. Di sini juga diberlakukan sistem insentif setiap bulan dan tiga bulanan untuk memacu semangat kerja pegawai.
"Insentifnya tidak besar, tak sampai Rp 100.000 sebulan. Jangan dilihat nominal, tetapi semangatnya," ucapnya. Ia juga mengajak pegawai puskesmas ikut bertanggung jawab pada kebersihan lingkungan puskesmas. Ini upaya untuk menumbuhkan rasa turut memiliki.