Tanggal : 1 November 2007
Sumber : http://nanangsyah.blogspot.com/2007/11/carlos-djaafara-dokter-di-pesisir.html
Pengalaman 15 tahun silam melalui liku-liku pengabdian di Puskesmas Wonggarasi, pedalaman Gorontalo, membuka mata hati Carlos Dja’afara untuk lebih memahami betapa sulitnya masyarakat miskin mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Dia terobsesi memberi pelayanan kesehatan yang memuaskan bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang miskin.
Langkah menuju mimpi itu mulai terbentang saat dokter kelahiran Gorontalo, 21 Maret 1958, ini menerima penugasan sebagai Kepala Puskesmas Sungai Raya di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, pada 1996. Kala itu di Sambas meledak kerusuhan etnis yang banyak merenggut korban jiwa. Awal bertugas, ia nyaris dibunuh saat akan mengevakuasi korban pembantaian.
Selang setahun, kerusuhan etnis mulai bergeser ke wilayah Sungai Duri, Kabupaten Sambas. Kebutuhan tenaga medis di daerah itu semakin mendesak sehingga Carlos kembali dipindahtugaskan mengepalai Puskesmas Sungai Duri. Saat kerusuhan menyurut, pelan-pelan ia membenahi puskesmas itu.
Puskesmas Sungai Duri—setelah pemekaran wilayah Kabupaten Sambas tahun 2003, termasuk Kabupaten Bengkayang—berkembang layaknya rumah sakit mini. Tahun 2004 puskesmas ini berubah status menjadi puskesmas perawatan. Di dalamnya antara lain terdapat pelayanan unit gawat darurat (UGD), rawat inap, poliklinik umum, poliklinik gigi, laboratorium, persalinan, konsultasi kesehatan ibu dan anak, serta obat-obatan.
Buah dari usaha itu, Puskesmas Sungai Duri meraih penghargaan sebagai puskesmas berprestasi hingga tingkat nasional dalam dua tahun terakhir. Bahkan, atas prestasi membenahi puskesmas dengan pelayanan prima, pada tahun 2006 ia meraih penghargaan sebagai dokter teladan tingkat nasional.
"Di puskesmas (Sungai Duri) semua orang dianggap sama, kami tak mengenal miskin atau kaya. Pelayanan kesehatan diberikan cepat dan mengutamakan kepuasan masyarakat, tanpa membebani mereka dengan biaya mahal. Kami cukup puas jika pelayanan kami memuaskan masyarakat," katanya.
Hanya dengan membayar karcis Rp 4.000 di loket pendaftaran, masyarakat bisa menikmati pemeriksaan kesehatan dari dokter puskesmas sekaligus mendapat obat. Biaya itu lebih murah dari harga satu kilogram beras IR 64 kualitas medium di Kalbar.
Sementara untuk beberapa pelayanan kesehatan, masyarakat membayar sesuai dengan Peraturan Daerah Bengkayang Nomor 1 Tahun 2001. Sebagai bentuk transparansi publik, ketentuan tentang biaya itu dipampang pada papan ukuran 1 x 2 meter di loket pendaftaran. Khusus untuk masyarakat miskin, puskesmas tak memungut biaya dari mereka karena sudah dibiayai pemerintah pusat lewat Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Askeskin).
Pelajaran dari Wonggarasi
Carlos paham masyarakat miskin mendambakan pelayanan kesehatan yang baik dan murah. Pemahaman ini mendarah daging sejak ia menjadi pegawai tidak tetap (PTT) di Puskesmas Wonggarasi di pedalaman Gorontalo. Tepatnya kini berada di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah.
Pernah suatu malam ia dimintai tolong memeriksa kesehatan salah satu warga di daerah yang cukup terpencil. Saat menuju ke rumah warga yang meminta tolong, sepeda motornya tak mampu lagi meneruskan perjalanan sebab akses jalan rusak parah. Sepeda motor itu dia titipkan ke rumah warga di sekitar, lalu dia melanjutkan perjalanan dibantu warga menggunakan gerobak sapi. Perjalanan tiga-empat kilometer dengan menggunakan gerobak sapi itu diterangi lampu petromaks.
Pengalaman lain dialaminya saat mengunjungi warga di permukiman transmigrasi. Saat itu hujan turun lebat dan jalan menjadi becek sehingga sepeda motornya terperosok tak bisa meneruskan perjalanan. Melalui handy-talkie yang selalu dia bawa, Carlos meminta pertolongan pekerja perkebunan di sekitar tempat itu.
"Tak lama berselang pekerja perkebunan datang membawa alat berat ’kepiting’, lalu sepeda motor saya dicapit dan dibawa melewati jalan yang becek," ceritanya mengenang.
Pernah suatu ketika ia terpaksa menyeberangi Sungai Wonggarasi yang lebarnya sekitar 8 meter dengan kedalaman sekitar 1 meter. Saat itu belum ada jembatan penyeberangan sehingga ia harus menunggu beberapa warga yang juga akan menyeberang. Dengan bantuan beberapa warga desa, Carlos memanggul sepeda motor dan masuk ke arus sungai yang cukup deras untuk menyeberang.
"Sampai di permukiman warga, saya memeriksa kesehatan mereka dengan baju dan celana basah kuyup. Sibuk memeriksa begitu banyak warga, tanpa terasa baju dan celana saya yang basah sudah mengering," ujarnya tertawa.
"Uniknya, atas pelayanan kesehatan itu warga membayar saya dengan sekarung mangga dan beberapa ekor ayam. Pemberian itu tetap saya bawa sebagai penghargaan terhadap mereka," tambahnya.
Pengalaman cukup mendebarkan dialaminya seminggu setelah ia dipindahtugaskan ke Kabupaten Sambas. Carlos bersama beberapa petugas medis yang akan mengevakuasi jenazah korban kerusuhan etnis sempat dicegat sekelompok massa bersenjata tajam yang mengira dia mata-mata yang akan melaporkan mereka kepada polisi. Setelah dijelaskan bahwa ia petugas kesehatan, kelompok massa itu bersedia melepasnya.
Begitu banyak pelajaran yang dipetik dari pengalaman hidup membuat Carlos tak mudah menyerah dalam memperjuangkan obsesi memberi pelayanan kesehatan yang murah, cepat, dan memuaskan. Itu dilakukannya, antara lain, dengan membangun etos kerja baru di kalangan pegawai puskesmas, merombak pola kerja yang lebih terukur, membangun bersama sistem penghargaan, serta melengkapi sarana prasarana puskesmas.
Carlos antara lain berusaha membuat pembagian kerja yang seimbang untuk semua pegawai dan ada standar prosedur operasi yang jelas pada setiap unit. Di sini juga diberlakukan sistem insentif setiap bulan dan tiga bulanan untuk memacu semangat kerja pegawai.
"Insentifnya tidak besar, tak sampai Rp 100.000 sebulan. Jangan dilihat nominal, tetapi semangatnya," ucapnya. Ia juga mengajak pegawai puskesmas ikut bertanggung jawab pada kebersihan lingkungan puskesmas. Ini upaya untuk menumbuhkan rasa turut memiliki.
Sumber : http://nanangsyah.blogspot.com/2007/11/carlos-djaafara-dokter-di-pesisir.html
Pengalaman 15 tahun silam melalui liku-liku pengabdian di Puskesmas Wonggarasi, pedalaman Gorontalo, membuka mata hati Carlos Dja’afara untuk lebih memahami betapa sulitnya masyarakat miskin mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Dia terobsesi memberi pelayanan kesehatan yang memuaskan bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang miskin.
Langkah menuju mimpi itu mulai terbentang saat dokter kelahiran Gorontalo, 21 Maret 1958, ini menerima penugasan sebagai Kepala Puskesmas Sungai Raya di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, pada 1996. Kala itu di Sambas meledak kerusuhan etnis yang banyak merenggut korban jiwa. Awal bertugas, ia nyaris dibunuh saat akan mengevakuasi korban pembantaian.
Selang setahun, kerusuhan etnis mulai bergeser ke wilayah Sungai Duri, Kabupaten Sambas. Kebutuhan tenaga medis di daerah itu semakin mendesak sehingga Carlos kembali dipindahtugaskan mengepalai Puskesmas Sungai Duri. Saat kerusuhan menyurut, pelan-pelan ia membenahi puskesmas itu.
Puskesmas Sungai Duri—setelah pemekaran wilayah Kabupaten Sambas tahun 2003, termasuk Kabupaten Bengkayang—berkembang layaknya rumah sakit mini. Tahun 2004 puskesmas ini berubah status menjadi puskesmas perawatan. Di dalamnya antara lain terdapat pelayanan unit gawat darurat (UGD), rawat inap, poliklinik umum, poliklinik gigi, laboratorium, persalinan, konsultasi kesehatan ibu dan anak, serta obat-obatan.
Buah dari usaha itu, Puskesmas Sungai Duri meraih penghargaan sebagai puskesmas berprestasi hingga tingkat nasional dalam dua tahun terakhir. Bahkan, atas prestasi membenahi puskesmas dengan pelayanan prima, pada tahun 2006 ia meraih penghargaan sebagai dokter teladan tingkat nasional.
"Di puskesmas (Sungai Duri) semua orang dianggap sama, kami tak mengenal miskin atau kaya. Pelayanan kesehatan diberikan cepat dan mengutamakan kepuasan masyarakat, tanpa membebani mereka dengan biaya mahal. Kami cukup puas jika pelayanan kami memuaskan masyarakat," katanya.
Hanya dengan membayar karcis Rp 4.000 di loket pendaftaran, masyarakat bisa menikmati pemeriksaan kesehatan dari dokter puskesmas sekaligus mendapat obat. Biaya itu lebih murah dari harga satu kilogram beras IR 64 kualitas medium di Kalbar.
Sementara untuk beberapa pelayanan kesehatan, masyarakat membayar sesuai dengan Peraturan Daerah Bengkayang Nomor 1 Tahun 2001. Sebagai bentuk transparansi publik, ketentuan tentang biaya itu dipampang pada papan ukuran 1 x 2 meter di loket pendaftaran. Khusus untuk masyarakat miskin, puskesmas tak memungut biaya dari mereka karena sudah dibiayai pemerintah pusat lewat Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Askeskin).
Pelajaran dari Wonggarasi
Carlos paham masyarakat miskin mendambakan pelayanan kesehatan yang baik dan murah. Pemahaman ini mendarah daging sejak ia menjadi pegawai tidak tetap (PTT) di Puskesmas Wonggarasi di pedalaman Gorontalo. Tepatnya kini berada di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah.
Pernah suatu malam ia dimintai tolong memeriksa kesehatan salah satu warga di daerah yang cukup terpencil. Saat menuju ke rumah warga yang meminta tolong, sepeda motornya tak mampu lagi meneruskan perjalanan sebab akses jalan rusak parah. Sepeda motor itu dia titipkan ke rumah warga di sekitar, lalu dia melanjutkan perjalanan dibantu warga menggunakan gerobak sapi. Perjalanan tiga-empat kilometer dengan menggunakan gerobak sapi itu diterangi lampu petromaks.
Pengalaman lain dialaminya saat mengunjungi warga di permukiman transmigrasi. Saat itu hujan turun lebat dan jalan menjadi becek sehingga sepeda motornya terperosok tak bisa meneruskan perjalanan. Melalui handy-talkie yang selalu dia bawa, Carlos meminta pertolongan pekerja perkebunan di sekitar tempat itu.
"Tak lama berselang pekerja perkebunan datang membawa alat berat ’kepiting’, lalu sepeda motor saya dicapit dan dibawa melewati jalan yang becek," ceritanya mengenang.
Pernah suatu ketika ia terpaksa menyeberangi Sungai Wonggarasi yang lebarnya sekitar 8 meter dengan kedalaman sekitar 1 meter. Saat itu belum ada jembatan penyeberangan sehingga ia harus menunggu beberapa warga yang juga akan menyeberang. Dengan bantuan beberapa warga desa, Carlos memanggul sepeda motor dan masuk ke arus sungai yang cukup deras untuk menyeberang.
"Sampai di permukiman warga, saya memeriksa kesehatan mereka dengan baju dan celana basah kuyup. Sibuk memeriksa begitu banyak warga, tanpa terasa baju dan celana saya yang basah sudah mengering," ujarnya tertawa.
"Uniknya, atas pelayanan kesehatan itu warga membayar saya dengan sekarung mangga dan beberapa ekor ayam. Pemberian itu tetap saya bawa sebagai penghargaan terhadap mereka," tambahnya.
Pengalaman cukup mendebarkan dialaminya seminggu setelah ia dipindahtugaskan ke Kabupaten Sambas. Carlos bersama beberapa petugas medis yang akan mengevakuasi jenazah korban kerusuhan etnis sempat dicegat sekelompok massa bersenjata tajam yang mengira dia mata-mata yang akan melaporkan mereka kepada polisi. Setelah dijelaskan bahwa ia petugas kesehatan, kelompok massa itu bersedia melepasnya.
Begitu banyak pelajaran yang dipetik dari pengalaman hidup membuat Carlos tak mudah menyerah dalam memperjuangkan obsesi memberi pelayanan kesehatan yang murah, cepat, dan memuaskan. Itu dilakukannya, antara lain, dengan membangun etos kerja baru di kalangan pegawai puskesmas, merombak pola kerja yang lebih terukur, membangun bersama sistem penghargaan, serta melengkapi sarana prasarana puskesmas.
Carlos antara lain berusaha membuat pembagian kerja yang seimbang untuk semua pegawai dan ada standar prosedur operasi yang jelas pada setiap unit. Di sini juga diberlakukan sistem insentif setiap bulan dan tiga bulanan untuk memacu semangat kerja pegawai.
"Insentifnya tidak besar, tak sampai Rp 100.000 sebulan. Jangan dilihat nominal, tetapi semangatnya," ucapnya. Ia juga mengajak pegawai puskesmas ikut bertanggung jawab pada kebersihan lingkungan puskesmas. Ini upaya untuk menumbuhkan rasa turut memiliki.
0 komentar:
Posting Komentar