Tanggal : 2 November 2007
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0711/02/opi01.html
Oleh : Muhamad Karim
Masyarakat pesisir secara geografis bermukim di wilayah pesisir, yakni daerah dimana masih dipengaruhi oleh dinamika lautan ke arah darat dan dinamika daratan ke arah lautan. Secara sosio-kultural, masyarakat pesisir sangat bergantung terhadap sumber-sumber ekonomi wilayah pesisir di lautan maupun daratan.
Di lautan mereka bergantung pada sumber daya kelautan seperti ikan, mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Sementara di daratan, mengandalkan sumber daya air, lahan untuk pertanian tanaman pangan, pertambakan, dan permukiman.
Dengan demikian, kedaulatan masyarakat pesisir adalah kedaulatan atas sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut. Sayangnya, kedaulatan itu kini tergerus oleh beberapa peraturan perundangan baik di daratan, perairan pesisir maupun perairan lepas pantai.
Terdapat empat peraturan perundangan yang berlaku di daratan maupun lautan yang menginjak kedaulatan masyarakat pesisir. Di daratan, pertama, UU No. 7 Tahun 2004 yang memprivatisasi sumber daya air di Indonesia.
Pasal-pasal dalam UU SDA memberi Hak Guna Air (HGA) untuk dikuasai pemodal asing (pasal 7, 8 dan 9). Bukankah UU ini menutup akses masyarakat pesisir (petani tambak) untuk mendapatkan “air” guna kegiatan pertambakan udang maupun ikan serta kebutuhan hidup sehari-hari? Tidak hanya itu, kegiatan pertanian di wilayah pesisir semacam persawahan pasang surut akan mengalami kesulitan air karena harus membeli dari pengusaha. Padahal sumber daya air merupakan barang publik yang harus dikuasai dan dilindungi oleh negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak (baca: Pasal 33 UUD 1945).
Kedua, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dimana Pasal 22 memberikan Hal Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) selama 80 tahun dan Hak Pakai 70 atas tanah kepada investor (domestik maupun asing) termasuk di wilayah pesisir. Padahal UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 saja hanya memberikan hak-hak semacam ini maksimal 30 tahun.
Akibatnya, lahan-lahan tambak produktif di wilayah pesisir Indonesia yang diperkirakan seluas 500.000 hektare akan dikuasai oleh pemilik modal (kapitalis). Bukankah hal ini merampas hak masyarakat pesisir untuk mengakses sumber daya tanah/lahan di wilayah pesisir?
Pasal Kontroversial
Di lautan, pertama, UU Perikanan No.31 Tahun 2004. Terdapat beberapa pasal kontroversial yang menutup akses masyarakat pesisir, yakni (i) Pasal 29 Ayat 2 yang memberi akses pihak asing menangkap ikan di perairan Indonesia; (ii) Pasal 36 tentang persyaratan kelengkapan pendaftaran kapal.
Pemberlakukan pasal ini telah memakan korban nelayan tradisional di Kabupaten Biak-Numfor yang ditangkap aparat tanpa alasan yang jelas, dan (ii) Pasal 37 tentang ketidakjelasan daerah dan jalur penangkapan ikan.
Ini berpotensi menimbulkan tindakan penyerobotan wilayah penangkapan perikanan pantai (artisanal) oleh kapal ikan asing maupun domestik yang modern. Gelagat konflik tak terhindarkan, bahkan sudah kejadian, antara nelayan Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan baru-baru ini.
Kedua, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Adanya Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22 tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) semakin ”mempergiat” pencabutan hak-hak masyarakat pesisir dalam mengakses sumber daya baik di permukaan laut, badan air maupun di bawah dasar laut.
Tidak ada lagi ruang bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan, petani ikan, pelaku UKMK kelautan dan buruh nelayan melakukan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir. Semua akses sumber daya kelautan praktis akan dikuasai pemilik modal. Hanya merekalah yang mampu memenuhi segala persyaratan yang diatur dalam UU itu. Masyarakat pesisir yang menjadi semakin miskin, hanya bisa menyaksikan eksploitasi dan degradasi sumber daya kelautan dan perikanan serta lingkungan pesisir yang tiada terkendali.
Diberlakukannya peraturan perundangan tersebut memberikan dampak terhadap perekonomian masyarakat pesisir yang dominan miskin. Dampaknya, pertama, akses masyarakat pesisir terhadap sumber daya ikan, air, lahan, hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan mineral di dasar lautan.
Sekalipun Pasal 61 UU Perikanan memberi kebebasan pada nelayan kecil dan Pasal 61 UU PWP3K mengakui hak-hak masyarakat adat, kearifan lokal, namun hal itu hanya ”retorika” semata. Sejatinya masyarakat miskin pesisir ini tidak mungkin dapat bersaing dengan pemilik modal besar.
”Judical Review”
Kedua, implementasi keempat UU ini berpotensi menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) antara pemilik modal dan pejabat berwenang dalam proses perizinan, pengendalian dan pengawasan baik di pusat maupun daerah. Bukan tidak mungkin, para pe-modal yang telah mengeksploitasi sumber daya ekonomi wilayah pesisir secara tidak bertanggung jawab akan dengan mudah menghindar dari hukuman akibat berkolusi dengan pejabat berwenang.
Ketiga, sumber daya ekonomi wilayah pesisir dapat diperjualbelikan dan dikuasai sekaligus dikontrol untuk bidang usaha tertentu, sehingga hanya segelintir pemilik modal yang mengelola dan memanfaatkannya. Sangat mustahil hal ini dapat dilakukan oleh masyarakat miskin di wilayah pesisir.
Keempat, terjadinya eksploitasi berlebihan. Siapa yang menjamin pemilik modal untuk mengontrol eksploitasi sumber daya ekonomi wilayah pesisir sementara sumber daya itu sudah kuasai dan kontrol penuh? Apalagi era otonomi daerah yang memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan pemilik modal baik asing maupun domestik.
Kelima, semakin meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran pada masyarakat pesisir akibat terbatasnya akses terhadap sumber-sumber ekonomi di wilayah ini. Berkembangnya aktivitas usaha ekonomi skala besar berbasiskan sumber daya ekonomi wilayah pesisir belum tentu akan menggunakan tenaga kerja lokal karena keterbatasan tingkat pendidikan dan kualitas SDM.
Kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi wilayah pesisir tidak bisa dirampas begitu saja dengan dalih pengaturan dan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan. Negara wajib melindungi dan mengakui kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut karena amanat konstitusi.
Pemerintah dan DPR wajib melakukan ”judical review” terhadap semua UU di atas karena sumber-sumber ekonomi yang diatur berupa barang publik (public goods) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bukan sebaliknya, mempertahankan semangat neo-liberalisme yang ditunggangi kepentingan asing pada semua peraturan perundangan tersebut. Apapun alasannya kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi di wilayah pesisir harus dipulihkan agar mereka tetap dapat memberdayakan diri dan meningkatkan kesejahteraannya.
Penulis adalah staf pengajar Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) TAZKIYA Bogor. Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Indonesia.
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0711/02/opi01.html
Oleh : Muhamad Karim
Masyarakat pesisir secara geografis bermukim di wilayah pesisir, yakni daerah dimana masih dipengaruhi oleh dinamika lautan ke arah darat dan dinamika daratan ke arah lautan. Secara sosio-kultural, masyarakat pesisir sangat bergantung terhadap sumber-sumber ekonomi wilayah pesisir di lautan maupun daratan.
Di lautan mereka bergantung pada sumber daya kelautan seperti ikan, mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Sementara di daratan, mengandalkan sumber daya air, lahan untuk pertanian tanaman pangan, pertambakan, dan permukiman.
Dengan demikian, kedaulatan masyarakat pesisir adalah kedaulatan atas sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut. Sayangnya, kedaulatan itu kini tergerus oleh beberapa peraturan perundangan baik di daratan, perairan pesisir maupun perairan lepas pantai.
Terdapat empat peraturan perundangan yang berlaku di daratan maupun lautan yang menginjak kedaulatan masyarakat pesisir. Di daratan, pertama, UU No. 7 Tahun 2004 yang memprivatisasi sumber daya air di Indonesia.
Pasal-pasal dalam UU SDA memberi Hak Guna Air (HGA) untuk dikuasai pemodal asing (pasal 7, 8 dan 9). Bukankah UU ini menutup akses masyarakat pesisir (petani tambak) untuk mendapatkan “air” guna kegiatan pertambakan udang maupun ikan serta kebutuhan hidup sehari-hari? Tidak hanya itu, kegiatan pertanian di wilayah pesisir semacam persawahan pasang surut akan mengalami kesulitan air karena harus membeli dari pengusaha. Padahal sumber daya air merupakan barang publik yang harus dikuasai dan dilindungi oleh negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak (baca: Pasal 33 UUD 1945).
Kedua, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dimana Pasal 22 memberikan Hal Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) selama 80 tahun dan Hak Pakai 70 atas tanah kepada investor (domestik maupun asing) termasuk di wilayah pesisir. Padahal UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 saja hanya memberikan hak-hak semacam ini maksimal 30 tahun.
Akibatnya, lahan-lahan tambak produktif di wilayah pesisir Indonesia yang diperkirakan seluas 500.000 hektare akan dikuasai oleh pemilik modal (kapitalis). Bukankah hal ini merampas hak masyarakat pesisir untuk mengakses sumber daya tanah/lahan di wilayah pesisir?
Pasal Kontroversial
Di lautan, pertama, UU Perikanan No.31 Tahun 2004. Terdapat beberapa pasal kontroversial yang menutup akses masyarakat pesisir, yakni (i) Pasal 29 Ayat 2 yang memberi akses pihak asing menangkap ikan di perairan Indonesia; (ii) Pasal 36 tentang persyaratan kelengkapan pendaftaran kapal.
Pemberlakukan pasal ini telah memakan korban nelayan tradisional di Kabupaten Biak-Numfor yang ditangkap aparat tanpa alasan yang jelas, dan (ii) Pasal 37 tentang ketidakjelasan daerah dan jalur penangkapan ikan.
Ini berpotensi menimbulkan tindakan penyerobotan wilayah penangkapan perikanan pantai (artisanal) oleh kapal ikan asing maupun domestik yang modern. Gelagat konflik tak terhindarkan, bahkan sudah kejadian, antara nelayan Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan baru-baru ini.
Kedua, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Adanya Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22 tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) semakin ”mempergiat” pencabutan hak-hak masyarakat pesisir dalam mengakses sumber daya baik di permukaan laut, badan air maupun di bawah dasar laut.
Tidak ada lagi ruang bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan, petani ikan, pelaku UKMK kelautan dan buruh nelayan melakukan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir. Semua akses sumber daya kelautan praktis akan dikuasai pemilik modal. Hanya merekalah yang mampu memenuhi segala persyaratan yang diatur dalam UU itu. Masyarakat pesisir yang menjadi semakin miskin, hanya bisa menyaksikan eksploitasi dan degradasi sumber daya kelautan dan perikanan serta lingkungan pesisir yang tiada terkendali.
Diberlakukannya peraturan perundangan tersebut memberikan dampak terhadap perekonomian masyarakat pesisir yang dominan miskin. Dampaknya, pertama, akses masyarakat pesisir terhadap sumber daya ikan, air, lahan, hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan mineral di dasar lautan.
Sekalipun Pasal 61 UU Perikanan memberi kebebasan pada nelayan kecil dan Pasal 61 UU PWP3K mengakui hak-hak masyarakat adat, kearifan lokal, namun hal itu hanya ”retorika” semata. Sejatinya masyarakat miskin pesisir ini tidak mungkin dapat bersaing dengan pemilik modal besar.
”Judical Review”
Kedua, implementasi keempat UU ini berpotensi menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) antara pemilik modal dan pejabat berwenang dalam proses perizinan, pengendalian dan pengawasan baik di pusat maupun daerah. Bukan tidak mungkin, para pe-modal yang telah mengeksploitasi sumber daya ekonomi wilayah pesisir secara tidak bertanggung jawab akan dengan mudah menghindar dari hukuman akibat berkolusi dengan pejabat berwenang.
Ketiga, sumber daya ekonomi wilayah pesisir dapat diperjualbelikan dan dikuasai sekaligus dikontrol untuk bidang usaha tertentu, sehingga hanya segelintir pemilik modal yang mengelola dan memanfaatkannya. Sangat mustahil hal ini dapat dilakukan oleh masyarakat miskin di wilayah pesisir.
Keempat, terjadinya eksploitasi berlebihan. Siapa yang menjamin pemilik modal untuk mengontrol eksploitasi sumber daya ekonomi wilayah pesisir sementara sumber daya itu sudah kuasai dan kontrol penuh? Apalagi era otonomi daerah yang memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan pemilik modal baik asing maupun domestik.
Kelima, semakin meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran pada masyarakat pesisir akibat terbatasnya akses terhadap sumber-sumber ekonomi di wilayah ini. Berkembangnya aktivitas usaha ekonomi skala besar berbasiskan sumber daya ekonomi wilayah pesisir belum tentu akan menggunakan tenaga kerja lokal karena keterbatasan tingkat pendidikan dan kualitas SDM.
Kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi wilayah pesisir tidak bisa dirampas begitu saja dengan dalih pengaturan dan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan. Negara wajib melindungi dan mengakui kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut karena amanat konstitusi.
Pemerintah dan DPR wajib melakukan ”judical review” terhadap semua UU di atas karena sumber-sumber ekonomi yang diatur berupa barang publik (public goods) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bukan sebaliknya, mempertahankan semangat neo-liberalisme yang ditunggangi kepentingan asing pada semua peraturan perundangan tersebut. Apapun alasannya kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi di wilayah pesisir harus dipulihkan agar mereka tetap dapat memberdayakan diri dan meningkatkan kesejahteraannya.
Penulis adalah staf pengajar Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) TAZKIYA Bogor. Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar