Tanggal : 25 Februari 2008
Sumber : http://www.hupelita.com/baca.php?id=12960
Oleh : Pomo Jatmiko
NAMPAKNYA perhatian pemerintah mulai tertuju pada pembangunan wilayah pesisir yang selama ini termarginalkan dari kebijakan nasional. Hal tersebut dicerminkan dengan adanya kepercayaan (trust) pihak pemodal atau perbankan untuk mau memberikan kredit pada masyarakat pesisir. Munculnya trust terhadap usaha masyarakat pesisir yang high risk tidak lepas dari getolnya peran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai lokomotif pembangunan perikanan dan kelautan.
Keberhasilan DKP dalam meyakinkan pihak pemodal atau perbankan terbukti dari kesiapan Bank Negara Indonesia (BNI) yang telah menyiapkan plafon kredit kepada nelayan sebesar 3 triliun. Namun demikian, apakah kabar ini akan menjadi angin segar bagi masyarakat nelayan untuk melepaskan diri kubangan kemiskinan? mengingat kebijakan kredit selama ini tidak pernah jelas dan bias kepentingan.
Oleh karena itu, demi tercapainya tujuan mulia dari kebijakan pemberian kredit tersebut, maka DKP harus menyiapkan guideline yang jelas, terencana dan terstruktur. Ada beberapa catatan penting yang harus digarisbawahi dalam pelaksanaan program-program ini nantinya, diantaranya yaitu: Pertama, perubahan paradigma kebijakan yang bersifat proyek an sich menjadi program yang multiyears. Hal ini dikarenakan para pelaku kebijakan menganggap bahwa kesuksesan dari suatu kegiatan hanya dilihat dari output yang dihasilkan dalam jangka waktu yang sangat pendek; dan Kedua, peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat (SDM) pesisir harus menjadi prioritas utama dari program yang akan dijalankan, mengingat minimnya investasi di sektor ini salah satu penyebabnya adalah sikap, perilaku dan kebiasaan masyarakat pesisir khususnya nelayan yang selalu menghambur-hamburkan uang ketika hasil tangkapan banyak.
Sementara itu, sebagai pakar kelembagaan sosial dan ekonomi-IPB, Abubakar Umbari menyebutkan ada 4 aspek penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pemberdayaan masyarakat tersebut, yaitu : (1) aspek ekonomi seperti pada penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan 2) aspek sosial seperti peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, agama, (3) aspek lingkungan yang mengarah pada pelestarian sumberdaya pesisir dan laut, dan (4) infrastuktur yang dibutuhkan untuk memperlancar mobilitas pelaksanaan ekonomi dan sosial. Akan tetapi, keempat aspek tersebut harus ditunjang oleh kelembagaan sosial ekonomi yang kuat dan dikembangkan secara seimbang agar kesejahteraan dapat ditingkatkan secara optimal.
Dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas SDM perikanan, menurut hemat saya perlu adanya fasilitas lembaga pendidikan yang mengakar dan mampu menyiapkan kader-kader penggerak pembangunan di kawasan pesisir dengan nafas spiritual dan menguasai teknik-teknik di dunia perikanan dan kelautan. Ini mengingat aspek sosial juga tak kalah penting dengan ketiga aspek lainnya. Dengan adanya penyiapan kader-kader penggerak diharapkan mampu mendorong akselerasi pembangunan kawasan perikanan dan kelautan yang sejahtera dan lestari.
Kenapa Pesantren
Akan menjadi pertanyaan kenapa bentuk lembaga pendidikan tersebut adalah pesantren. Wilayah pantai kita yang merupakan terpanjang kedua setelah Kanada mungkin hampir 70% dihuni oleh komunitas muslim. Selain itu juga karena Pesantren sejak abad ke tujuh Masehi telah mengisi lembaran sejarah Pendidikan di Indonesia. Selama lebih dari 12 abad Pesantren menjadi lembaga pendidikan yang utama di sebagian besar wilayah di Indonesia. Pesantren adalah lembaga penegak agama (Iqomatuddin) dan merupakan lembaga pendidikan yang khas di Indonesia.
Kehadiran pesantren di tengah suatu masyarakat pada dasarnya merupakan respons asli (genuin) atas kebutuhan masyarakat tersebut yang dengan sukarela menghidupi, bahkan kadang dengan fanatisme mempertahankannya. Tanpa alasan logika yang rumit pesantren dipercaya sebagai lembaga pengayom dan penuntun bagi masyarakat serta pembawa sekian harapan. Dari sini nampak begitu besar arti pesantren bagi masyarakat bila semua itu benar-benar bisa diwujudkan, atau dengan kata lain tidak kecil beban yang dipikul pesantren untuk bisa memenuhi misi dan perannya di tengah masyarakat pendukungnya.
Secara garis besar komponen-komponen yang terdapat dalam sebuah pesantren pada umumnya terdiri dari pondok (asrama santri), masjid, santri, kyai, serta pengajaran kitab-kitab klasik. Pada salah satu komponen Pesantren yakni santri, dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah santri yang datang dari tempat yang jauh sehingga ia tinggal dan menetap di pondok (asrama santri), sedangkan santri "kalong" adalah yang datang dari wilayah sekitar Pesantren sehingga mereka tidak memerlukan untuk tinggal di pondok, mereka bolak-balik dari rumahnya masing-masing.
Dalam kaitannya terhadap pembentukan kualitas SDM yang handal, tentu perubahan kurikulum di pesantren mutlak diperlukan, hal ini sejalan dengan cita-cita lulusan Pesantren yang diharapkan sebagai motor perubahan masyarakat. Maka idealnya pendidikan dalam Pesantren mengembangkan minat yang ada serta disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh pengembangan kurikulum di Pesantren bisa diklasifikasikan menjadi 2 kategori paket mata ajaran. Paket pertama yakni Paket Kepesantrenan yang meliputi: Aqidah, Akhlak, Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir, dan lain sebagainya.
Sedangkan paket kedua yakni Paket Ketrampilan disesuaikan dengan latar budaya dan kondisi sosial ekonomi setempat, namun demikian secara garis besar paket keterampilan ini dapat dijabarkan dalam beberapa kelompok seperti; Paket Pertanian, Paket Perikanan, Paket Kerajinan, pertukangan, bengkel dan yang lainnya, beberapa kurikulum contoh dapat dilihat seperti berikut ini; Teknologi Tepat Guna, Budidaya Perikanan, Manajemen Keuangan, Pengolahan Hasil Perikanan, dan lain sebagainya yang terkait dengan potensi sumberdaya khususnya sumberdaya perikanan dan kelautan.
Dalam pelaksanaan pendidikan yang mengacu pada pendekatan agama dan keterampilan tersebut, perlu adanya dukungan moral, tenaga dan materi guna kelancaran proses pendidikan itu sendiri. Dengan demikian kerjasama antara pesantren dan lembaga-lembaga lain perlu dijalin dengan baik. Mengingat bahwa dalam proses pendidikan tersebut santri diwajibkan membuat rencana usaha baik secara perorangan maupun kelompok untuk kemudian mengadakan kegiatan ekonomi sesuai dengan bidang minatnya. Sehingga ketika proses pendidikan selesai kader-kader langsung bisa diterjunkan kedalam masyarakat sebagai motivator penggerak pembangunan
Penutup
Kegiatan program-program pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari kegiatan pendampingan melalui tenaga-tenaga pendamping yang profesional di bidangnya yang tinggal di tengah-tengah masyarakat dan membantu mulai dari proses penyusunan rencana usaha, pelaksanaan dan tindak lanjut kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Fungsi motivator, administrator dan katalisator harus terus dilakukan oleh tenaga-tenaga ini.
Keberadaan Pesantren perikanan di tengah-tengah masyarakat mempunyai harapan besar terhadap 3 fungsi yang harus diemban tersebut. Sehingga pada saat nantinya cita-cita bersama ini yakni perubahan perilaku masyarakat yang mandiri dan kreatif sekaligus sebagai pelaku-pelaku pelestarian lingkungan akan terwujud. Amien.( Penulis adalah alumni Pesantren Pertanian Darul Fallah-Bogor dan Ketua Yayasan Bhakti Persada)